TUJUAN Forrestal adalah Haifa, Israel, tapi Washington mendadak memerintahkan kapal induk ini melanjutkan patrolinya di Laut Tengah, tepatnya di utara perairan Libya. Perintah itu dikeluarkan Rabu pekan lalu, dua hari sesudah Gedung Putih mengancam akan "melumpuhkan teroris denan seala cara". Keesokan harinya, Kamis, dua kapal induk AS, John F. Kennedy dan America merapat ke pelabuhan Cadi, Spanyol, berikut sebuah kapal perusak, 2 fregat, dan sebuah kapal perbekalan. Armada VI itu tampaknya disiagakan untuk operasi penumpasan yang masih merupakan tanda tanya besar. Sekalipun begitu, dari manuver seperti ini bisa disimpulkan bahwa AS tidak mau setengah-setengah menghadapi teroris. Amerika juga mengirimkan 18 pesawat tempur ke Inggris, terdiri atas 12 F-111 dan 6 EF-111, dua tipe yang 15 April berselang digunakan untuk menggempur Libya. Semua persiapan ini mengarah pada satu kesimpulan: pola penyerbuan April sewaktu-waktu bisa berulang. Karena itu, pers meliput perkembangan ini dengan saksama. Sebegitu jauh belum terdengar letusan. Roket ataupun rudal juga belum ditembakkan. Juru bicara Gedung Putih Larry Speakes tidak pula memastikan adanya rencana pengeboman besar-besaran terhadap Libya. Ia hanya membenarkan, pemerintah AS memang siap untuk serangan besar semacam itu. Tapi seorang pejabat di Washington yang tidak mau disebut namanya menyatakan, memang ada rencana serangan, karena AS kali ini tidak akan membiarkan Qadhafi bertindak lebih dulu. Adalah Komandan Jenderal NATO, Bernard Rogers, yang terang-terangan menantang pemimpin Libya Muammar Qadhafi. "Kami sudah mempersiapkan bomber jarak jauh B-52. Qadhafi seharusnya tahu bahwa dialah sasaran bomber kami," ucapnya congkak. Rogers, yang ikut merancang serangan AS ke Libya April silam, menyatakan bahwa dia tidak bicara atas nama Presiden Ronald Reagan. Libya bukan tidak menyadari sikap angkara murka Amerika. Mayor Abdul Salaam Jalloud, Ahad baru lalu, bicara agak diplomatis, ketika menanggapi manuver Armada VI di Laut Tengah. Dia menantang Washington agar secara terinci membeberkan apa yang disebut sebagai rencana teror Libya. Dengan begitu, "Libya bisa menggagalkan serangan teroris dan menangkap calon-calon pelakunya." Singkatnya, Jalloud -- sebagai orang kedua di Libya sesudah Qadhafi -- menawarkan "kerja sama" pada Amerika, dalam upaya menghindari teror. Tapi ditegaskannya pula bahwa Libya tergabung dalam kubu sosialis dan tidak mungkin dibiarkan sendiri menghadapi NATO. Adapun Muammar Qadhafi sendiri sengaja menunggu tanggal 1 September, khusus untuk bicara keras kepada AS. Hari Ahad baru lalu itu merupakan ulang tahun revolusi 1969 yang diprakarsai Qadhafi. Hari-hari sebelumnya dibiarkannya lewat tanpa tudingan ke arah Reagan. Waktu itu dia hanya menyatakan "tidak" ketika ditanya "apakah merasa khawatir terhadap manuver AS di Laut Tengah." Kecuali itu, yang penting cuma pemunculannya secara tiba-tiba di tiga kota: Misurata, Blitin, dan Al-Khums, semua terletak di pantai Teluk Sidra, kawasan yang April silam dihajar bom Amerika. Berdiri di atas mobil Cadillac terbuka, Qadhafi melambai, menyambut sorak-sorai massa revolusioner. Di kiri kanan Cadillac menderu rombongan berkuda dan pasukan bermotor. Banyak diplomat mengatakan militansi komite revolusioner Libya sudah terbangkitkan kembali. "Hancurkan Amerika!", pekik mereka berkali-kali. Waktu itu dua tokoh gerilyawan Palestina, Abu Musa dari kelompok pembangkang Al-Fatah dan Ahmed Jibril, menyertai Qadhafi. Tapi persis pada HUT revolusi 1969 Ahad lalu itu, pemimpin Libya ini didampingi oleh Wapres I Soviet, Pyotr Demichev, yang sedang berkunjung ke Libya. Ia pun bicara lantang memperingatkan AS, "Uni Soviet dengan segala kekuatannya berada di belakang Libya." Ucapan Qadhafi itu diperkuat pernyataan resmi Moskow yang intinya menuduh AS telah mengambinghitamkan Libya dan berusaha mendiskreditkan negara ini sebagai sarang teroris. Menarik untuk dicatat bahwa surat kabar Amerika terkemuka The Washington Post berkesimpulan, "Amerika telah melancarkan perang urat saraf sebagai provokasi untuk menjebak Qadhafi." Maksudnya? Pemimpin Libya itu akan dijebak sedemikian rupa hingga tidak bisa mengendalikan diri dan akhirnya menjadi mangsa empuk bagi lawan-lawannya. Dengan kata lain, penggulingan Qadhafi adalah tujuan akhir provokasi Amerika. Larry Speakes membantah kemungkinan itu. "Tujuan kami semata-mata mencegah Qadhafi berbuat sesuatu (maksudnya teror), jadi bukan provokasi," katanya kepada wartawan. Apa pun tujuannya, AS telah berhasil dalam satu hal, yakni memperlemah posisi Qadhafi. Ia kehilangan sekutu moderat: Marokko. Raja Hassan II secara sepihak pekan lalu membatalkan perjanjian yang mempersatukan Libya dan Marokko. Kepada Qadhafi ditegaskannya bahwa hubungan kedua negara sudah sampai di ambang ketidakmungkinan. Alasannya: karena dalam satu pernyataan bersama, Qadhafi dan Presiden Syria Hafez Assad telah menuduhnya berkhianat, sebab ia, Hassan II, berunding dengan PM Israel Shimon Peres. Sampai laporan ini dibuat, Armada VItetap siaga penuh di Laut Tengah, sementara jet tempur dan bomber menunggu instruksi. Pada saat yang sama NATO mengadakan perang-perangan laut yang mengambil tempat dari Atlantik Utara sampai Laut Baltik. Uni Soviet tentulah memantau kegiatan ini, sementara Qadhafi -- sebagaimana biasa tetap dicurigai merancang teror baru. Seperti yang dikatakan seorang pengamat, "Bukan Qadhafi orangnya kalau ia tidak membalas agresi Amerika." Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini