DEPARTEMEN Pertahanan dan Keamanan akhirnya memastikan membeli pesawat tempur F-16 Fighting Falcon buatan General Dynamics, Amerika Serikat. Setelah berbulan-bulan tampak seolah bimbang dalam memilih: F-16 atau Mirage 2000 bikinan Avions Marcel Dassault/Breguet Aviation (AMD-BA) dari Prancis. Keputusan itu dinyatakan sendiri oleh Pangab Jenderal TNI L.B. Moerdani selepas acara pertemuan Presiden dengan para peserta Rapim ABRI 1986, Sabtu pekan lalu. Pada hari yang sama, Sekjen Departemen Hankam, Yogi Supardi, menandatangani pernyataan pembelian LOA (Letter of Offer and Acceptance) dan menyerahkannya pada Atase Pertahanan AS untuk Indonesia, Kolonel William. Keputusan penting itu tidak disampaikan langsung pada General Dynamics karena "Walau kita mengetahui pabrik pembuatan, setiap pembelian senjata harus melalui prosedur G to G, atau Government to Government," kata seorang perwira tinggi TNI di lingkungan Hankam, hari Minggu lalu. Sudah sejak awal, pihak ABRI tampaknya condong membeli F-16. Perwira tinggi yang tak mau disebutkan namanya itu mengemukakan alasan yang beberapa kali diutarakan Jenderal Moerdani. "Negara-negara ASEAN yang lain sudah menggunakan F-16, dengan begitu kita tidak punya kesulitan menggalang kekuatan bersama," katanya. Sebelumnya sering terdengar AMD-BA mengunggul-unggulkan produknya Mirage 2000, sebagai lebih mutakhir, dibandingkan F-16. Sumber TEMPO di Hankam itu mengutarakan, semua F-16 keluaran 1981 ke atas telah mengalami modifikasi dalam struktur dan qiring system-nya. Dengan modifikasi ini, F-16 yang akan tampil pada jajaran TNI-AU awal 1989 memiliki beberapa kemampuan tambahan. Di antaranya penyerbuan malam, ketepatan menyerang sasaran, dan pencegatan dalam perang udara. Beberapa media massa dan kantor berita asing menilai keputusan pembelian 12 F-16 bernilai US$ 337 juta sebagai kemenangan suara ABRI dalam pembelian senjata. Dengan asumsi sebelumnya telah terjadi semacam perbedaan pendapat antara ABRI dan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang cenderung memilih Mirage 2000. IPTN dikabarkan tergiur offset yang ditawarkan AMD-BA sekitar 30%. Dalam arti IPTN ikut membuat bagian-bagian Mirage senilai 30% dari kontrak total pembelian. NAMUN, spekulasi itu ternyata tidak benar. Penandatanganan LOA yang dilakukan Sabtu pekan lalu sebenarnya kelanjutan persetujuan yang dicapai IPTN dan General Dynamics seminggu sebelumnya di Bandung. Ketika itu dibicarakan minutes agreement yang berisi perincian offset, di antaranya General Dynamics adalah pihak yang menyediakan gambar dan bahan baku, juga komponen-komponen apa saja yang akan dibuat di IPTN. Dengan kata lain, IPTN juga telah memutuskan membeli F-16. Mengapa? Yang utama karena General Dynamics menyetujui nilai offset yang disodorkan IPTN: 35%. Di samping itu, menurut Sutadi Suparlan, Direktur Produksi IPTN, bila kerja sama antara IPTN dan General Dynamics berlangsung baik, IPTN akan maju selangkah lagi, "IPTN akan mendapat pengakuan dalam kategori Milspec, atau Military Specification," ujar Sutadi. Artinya, diakui mampu membuat komponen pesawat tempur. Keuntungannya menurut Sutadi lagi, wibawa General Dynamics yang cukup tinggi. "Kalau GD saja sudah percaya, tidak sulit menembus yang lain, dan IPTN akan mencoba menjadi subkontraktor perusahaan lainnya seperti Northrop, Lockheed, dan McDonnel-Douglas," katanya. Harapan ke sana mungkin saja ada. Sebelum pembicaraan mengenai offset dilakukan, Juli lalu, sebuah tim General Dynamics yang terdiri dari 20 peneliti melakukan survei data basis di IPTN. Seluruh data teknis kemampuan peralatan dan tenaga ahli IPTN diamati dengan cermat. Kesimpulannya, offset bisa dibicarakan. Jim Supangkat, Laporan James R. Lapian & Ahmed Soeriawidjaja (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini