Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Membidik Haifa, Menekan Saudi

Amerika menuduh keluarga Kerajaan Saudi membiayai teroris. Badan-badan amal Islam juga terancam?

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada kawan abadi, tak ada seteru kekal. Hubungan Amerika Serikat dengan kawan karibnya di Timur Tengah, Arab Saudi, berubah tegang pekan-pekan ini. Para politisi Amerika di Kongres berlomba-lomba mengecam Saudi dan mendesak pemerintahan George W. Bush bersikap tegas. Sebuah kelompok dalam Dewan Kemanan Nasional, menurut koran The Washington Post, bahkan meminta Gedung Putih memberi tenggat 90 hari kepada Saudi untuk "menyidik dan menindak organisasi-organisasi Islam yang membiayai terorisme". Kecaman dari Kongres itu datang bertubi-tubi setelah awal pekan lalu Newsweek menurunkan berita menggemparkan. Mengutip sumber intelijen di Biro Penyidik Federal (FBI), majalah itu membeberkan penyidikan terhadap aliran dana puluhan ribu dolar dari Putri Haifa, istri Duta Besar Saudi untuk Amerika, Pangeran Bandar bin Sultan, kepada teroris yang terlibat dalam tragedi 11 September 2001. Uang sang Putri, menurut majalah itu, ditransfer ke rekening Usamah Basnan dan Umar al-Bayoumi pada tahun 2000. Kedua orang itu, menurut FBI, berteman dekat dengan Khalid Almidhar dan Nawaf Alhazmi, dua dari 19 orang yang diduga membajak pesawat dan menabrakkannya ke gedung World Trade Center dan Pentagon. Saudi memang rawan menjadi pusat tuduhan, mengingat 15 dari 19 orang yang diduga melakukan serangan bunuh diri fenomenal itu berasal dari Saudi. Tapi benarkah keluarga Kerajaan Saudi membiayai teroris Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin? Dalam siaran persnya, Putri Haifa menyebut tuduhan itu sangat keterlaluan dan sama sekali tidak bertanggung jawab. "Ayah saya, Raja Faisal, meninggal karena dibunuh teroris, begitu juga dengan beberapa anggota keluarga saya," katanya. "Jadi, tidak alasan bagi saya untuk mendukung terorisme." Raja Faisal tewas terbunuh pada 1975. Pangeran Turki Al-Faisal, adik Haifa dan bekas kepala badan intelijen Saudi, mengatakan tak mungkin kakak perempuannya secara sengaja memberikan uang kepada teroris. "Kakak saya yakin bahwa uang itu dia berikan kepada seseorang yang tengah sakit dan membutuhkan pengobatan," katanya. Para pejabat Saudi memang membenarkan sumbangan Putri dikirim ke rekening keluarga Usamah Basnan. Sang Putri memberikan dana US$ 2.000 setiap bulan sejak 1999, setelah Basnan mengeluh kesulitan. Melalui suratnya setahun sebelumnya, Basnan menyatakan kesulitan keuangan membiayai empat anak dan istrinya, Majida Ibrahim Ahmad, yang menderita tiroid, sementara mengandung anak kelima. Tapi sumber-sumber di FBI mengatakan ada aliran uang dari rekening Majida kepada Manal Bajadir, istri Umar al-Bayoumi. Menurut FBI, Al-Bayoumilah yang pada tahun 2000, ketika belajar di San Diego, California, menyambut kedatangan dua calon teroris, mencarikan apartemen, dan bahkan membayari sewa apartemen mereka selama dua bulan. Basnan, yang dideportasi dari Amerika pada Mei 2002 karena tuduhan pemalsuan visa, memang mengaku sering bertemu Al-Bayoumi di Masjid San Diego. Tapi dia mengatakan mustahil memberikan uang pemberian Putri Haifa kepada Al-Bayoumi. "Kami memiliki banyak utang, lebih besar dari pemberian Putri Haifa," katanya kepada Asharq al-Awsat, koran berbahasa Arab yang terbit di London, pekan lalu. "Jadi, mana mungkin kami memberikan uang itu kepada orang lain?" Anehnya, bahkan para penyidik FBI tak bisa membuktikan Al-Bayoumi bersalah. Al-Bayoumi meninggalkan San Diego pada pertengahan 2001 dan pindah ke Inggris untuk mengambil Ph.D. di Aston University. Atas permintaan FBI pada September 2002, Scotland Yard menahan Al-Bayoumi dengan tuduhan pelanggaran imigrasi. Kedua badan rahasia itu belakangan memeriksa keterlibatan Al-Bayoumi dalam jaringan Al-Qaidah. Namun, penyidikan itu sendiri menyimpulkan Al-Bayoumi bersih serta membebaskannya dari tahanan. Para pejabat Saudi menyatakan heran bahwa kini lagi-lagi nama Al-Bayoumi dikaitkan dengan para teroris dan keluarga Kerajaan sekaligus. Adel al-Jubeir, pejabat urusan luar negeri Kerajaan Saudi, mengatakan tudingan terhadap keluarga Saudi itu menggelikan. "Al Qaidah membenci Kerajaan Saudi sama seperti mereka membenci Amerika," katanya. "Mereka dinyatakan sebagai musuh kerajaan." Pekan lalu koran-koran Saudi seperti Al-Wathan membawakan pandangan resmi kerajaan dan menuduh "lingkaran lobi Zionis di Amerika Serikat melakukan fitnah terhadap Saudi". Tak semua politisi Amerika memang mendukung serangan terhadap Saudi. Menteri Luar Negeri Colin Powell mengatakan, "sulit membayangkan Pangeran Bandar maupun istrinya akan mendukung kegiatan teroris". Istri Powell, Alma, mengaku kenal baik dengan Putri Haifa. Gedung Putih sendiri mengambil sikap hati-hati. Juru bicara Gedung Putih Ari Fleischer mengatakan, Presiden Bush menilai Saudi sebagai "partner yang baik" dalam perang melawan teror. "Meski begitu, Presiden Bush berharap Saudi bisa berbuat lebih banyak," katanya. Lebih banyak? Di bawah tekanan Kongres dan Pentagon, Gedung Putih tampaknya akan terus menekan Saudi. Pertengahan tahun ini, sebuah badan penasihat Pentagon menyarankan agar Gedung Putih memberi ultimatum kepada Saudi "supaya segera menghentikan dukungan kepada para teroris". Target utama kelompok anti-Saudi itu tak hanya para keluarga Kerajaan tapi juga badan-badan amal Islam di kawasan Teluk. Badan amal Islam di seluruh dunia terus disorot setelah serangan 11 September. Amerika tampaknya percaya betul pada Rohan Gunaratna, penulis buku kontroversial Inside Al-Qaeda, yang menyebut seperlima badan amal dan lembaga swadaya Islam telah disusupi Al-Qaidah. Sejak September 2001, pemerintah Amerika membuat daftar tak kurang dari 240 penyandang dana dan badan amal Islam yang mereka tuding membiayai kegiatan teror. Masuk dalam "daftar hitam" itu antara lain Rabithah Alam Islami dan Yayasan Al-Haramain, yang banyak memberikan sumbangan kepada lembaga Islam di Indonesia. Amerika juga membekukan aset senilai US$ 113 juta milik jaringan Al-Qaidah. Charles Schumer, senator Partai Republik dari New York, bahkan menyarankan agar pemerintah Amerika menyita US$ 3,1 miliar aset milik badan amal Islam di seluruh dunia untuk diberikan kepada para korban tragedi 11 September. Dinas Rahasia Amerika, CIA, belum lama ini juga mengeluarkan daftar 12 bank di seluruh dunia yang dimiliki pengusaha-pengusaha Saudi. Langkah Amerika itu diperkirakan akan menggarami luka hubungan kedua negara. Dalam wawancara dengan koran Inggris The Times, Pangeran Walid bin Talal mengingatkan bahwa para investor Saudi kini bersiap menarik investasinya dari Amerika. Walid, yang memiliki saham miliaran dolar di Citigroup Inc. itu, mengatakan hubungan Amerika-Saudi memasuki "tahap kritis", meski pemimpin kedua negara menyatakan hubungan mereka masih sangat kuat. Saudi memang menghadapi situasi dilematis. Bukan rahasia lagi, di masa lalu Kerajaan Saudi banyak membiayai jihad di Afganistan atas bujukan Amerika. Tapi zaman telah berubah. Kini Amerika mengejar-ngejar para pejuang mujahidin dari berbagai penjuru dunia itu sebagai teroris. Di Saudi sendiri kini diperkirakan ada 20 ribu veteran mujahidin Afganistan, sebagian di antaranya bersimpati kepada Usamah bin Ladin. Baru bulan lalu, untuk yang pertama kalinya pemerintah Saudi mengakui telah memenjarakan sekitar 100 warga Saudi dengan tuduhan terlibat terorisme. Saudi memang kesulitan secara terbuka membela Amerika dalam perang melawan teror tanpa mengguncang stabilitas dalam negerinya. Tapi suara mayoritas politisi Amerika sekarang menunjukkan mereka tak terlalu peduli lagi terhadap dilema yang dihadapi Saudi, negeri yang lama menjadi sekutu Amerika paling setia di Timur Tengah. Di bawah permukaan tampaknya memang sedang terjadi pergeseran besar hubungan Amerika-Saudi. Sebuah studi Pentagon yang dilakukan Rand Corporation belum lama ini menyarankan agar Washington bersikap lebih keras kepada Saudi. Dan meskipun mengatakan Saudi sebagai teman, Amerika kini tengah mempertimbangkan kembali hubungan kedua negeri. Pada Perang teluk 1991, Saudi menyediakan pangkalan militernya untuk kehadiran 500 ribu pasukan Amerika. Tapi kini Saudi tampak enggan membantu Amerika untuk menggulingkan Saddam Hussein. Amerika memindahkan pasukannya ke Kuwait dan Qatar. Pemerintah Bush juga berupaya mencari pasokan minyak dari Amerika Latin dan Afrika, untuk mengurangi ketergantungannya pada minyak Saudi. Sebuah lembaga think tank pro-Israel di Pentagon memang belum lama ini mengeluarkan rekomendasi agar Amerika mengubah strateginya secara mendasar di Timur Tengah dengan melakukan "regime change" di beberapa negara. Tak hanya Saddam yang harus digulingkan, tapi Saudi juga perlu dikebiri untuk memberikan kesempatan kepada dinasti Hashemi—keturunan Nabi Muhammad yang secara tradisional berkuasa di Irak dan Yordania—memimpin kawasan itu. Dinasti Hashemi diramalkan akan bersikap lebih ramah terhadap Israel dan bersedia menyerap Palestina ke dalam wilayahnya. Itukah skenario baru yang tengah menemukan wujudnya di Timur Tengah? Entahlah. Yang pasti, memang tak ada kawan atau lawan abadi dalam politik. Bina Bektiati (Newsweek, Arab News, Washington Post, AFP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus