Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Buldoser Melibas Buldoser

Ariel Sharon menundukkan Benyamin Netanyahu dalam perebutan kursi Ketua Partai Likud. Mengapa dua tokoh ini selalu bersilang jalan dalam urusan Palestina?

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kemenangan itu tanpa disertai peluk-cium, derai tawa, atau denting gelas sampanye. Ariel Sharon menyingkirkan semua itu. Alih-alih berhura-hura setelah berhasil merebut kursi Ketua Partai Likud pada pekan lalu, Sharon justru menyemburkan amarahnya dalam suara murung—sesaat setelah kemenangannya itu: "Lengan kita akan menjangkau siapa pun yang telah menebarkan serangan teror. Tak seorang pun akan diampuni." Unggul 15 persen dari saingan beratnya dalam Likud, Benyamin Netanyahu, Sharon tetap merasa masygul. Acara pemilihan ketua Partai Likud pada 28 November silam diiringi dua peristiwa berdarah yang merenggut sejumah nyawa warga Israel. Pertama, pengeboman di Mombassa, Kenya, yang melayangkan nyawa sejumlah turis Israel. Kedua, penembakan di tempat pemilihan di Israel Utara yang minta korban beberapa jiwa. Ironis, bahwa kemenangan Sharon diiringi oleh mengalirnya darah. Likud—dan Sharon, terutama—selama ini populer karena dianggap mampu mengatasi kekerasan, terutama yang datang dari Palestina. Kini bahkan pendukungnya sendiri mulai meragukan bahwa Sharon mampu menyelimuti Israel dengan "perdamaian dan keamanan", seperti yang dia janjikan dalam kampanye pemilu setahun silam. Toh, popularitasnya belum rontok. Dia menang lagi di Likud. Dan para pengamat meramal, Sharon juga akan lolos ke kursi Perdana Menteri Israel pada pemilu Januari 2003. Siapakah Ariel Sharon? Lahir di Kfar Malal, 74 tahun silam, dia seolah ditakdirkan menjadi serdadu. Saat masih bocah 14 tahun, Sharon sudah bergabung dengan Haganah, sebuah kelompok militer bawah tanah yang memerangi Arab dan berjasa mendirikan negara Israel pada tahun 1948. Dia pernah terlibat dalam semua perang besar dengan Israel: penyerangan ke Jalur Gaza, Yordania, krisis Terusan Suez, Perang Enam Hari Arab-Israel, dan Perang Yom Kippur tahun 1973, ketika pasukannya berhasil mengalahkan tentara Mesir. Israel menguasai Yerusalem Timur, Jalur Gaza, dan Tepi Barat. Dia juga mendirikan satuan pasukan khusus 101 yang terkenal dengan operasi pembalasannya. Setelah seperempat abad mengabdi dalam militer, dia pensiun dengan pangkat letnan jenderal. Sharon mengawali karier politiknya sebagai anggota parlemen Israel Knesset. Dua kali ia menjabat menteri—pertanian dan pertahanan—dan sekali sebagai kepala komite kementerian pemukiman kembali kaum Yahudi. Ketika menjabat menteri pertahanan, tanpa memberikan penjelasan yang rinci kepada Perdana Menteri Menachem Begin, ia menyerbu Beirut pada 1982. Penyerbuan itu membuat basis Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Lebanon, yang dipakai menyerang Israel selama itu, rata dengan tanah. Tetapi Sharon juga menuai noda yang akan selalu dikenang orang: dia adalah otak pembantaian ratusan pengungsi Palestina di kamp Sabra dan Shatila oleh milisi Kristen dukungan Israel. Setahun berikutnya dia dipanggil ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan pembantaian tersebut. Tapi karier Sharon tidak melorot karena tuduhan menjadi dalang pembunuhan massal itu. Dia kembali ke panggung politik dengan menumpang Likud—partai politik berhaluan kanan. Garis politiknya amat jelas dan bisa menjelaskan kenapa bintang Sharon tetap bersinar: keamanan Israel adalah segala-galanya. Dia memang ultranasionalis. Sharon akan melakukan cara apa saja asal negerinya aman dari musuh-musuhnya, terutama Palestina dan para tetangga Arabnya. Kebenciannya kepada pemimpin Palestina merasuk sampai ke tulang sumsum. Di matanya, Yasser Arafat adalah teroris yang selalu mengancam Israel. Orang masih ingat ketika pertemuan tingkat tinggi Palestina-Israel digelar di Wye River, Maryland, Amerika Serikat tahun 1998. Sharon menolak menyalami Arafat. Sedangkan Perdana Menteri Benyamin Netanyahu melakukannya sembari tersenyum di depan Presiden Amerika Bill Clinton dan ratusan wartawan. Politiknya dia jalankan, antara lain, lewat pencaplokan tanah Palestina sembari menafikan hak-hak mereka. Pada awal 1990, dia membangun perumahan Yahudi terbesar di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Toh, Sharon memiliki sisi yang paradoksal dalam hubungannya dengan Palestina. Perseteruan berdarah yang panjang membuat Sharon akhirnya mengambil "jalur yang bijak": dia mendukung pendirian negara Palestina yang damai, tanpa kekerasan. Ketika Netanyahu kalah dalam pemilu tahun 1999, Sharon ganti memimpin Likud. Dan bulan Februari 2002, dia mengalahkan Ehud Barak dan tampil sebagai Perdana Menteri Israel ke-11. Di kalangan partainya, Sharon terkenal pintar, pemberani, dan pengatur strategi yang ulung. Tapi, bagi orang Palestina, dia tak lebih dari si penggila perang. "Dia adalah maniak perang, seorang penjajah," kata Menteri Otorita Palestina, Ziad Abu Zayyad. Sebuah situs berita internet melukiskan pribadinya sebagai kombinasi dari ahli taktik perang, politikus kotor, dan senjata pembunuh yang siap meledak di mana saja—Buldoser adalah julukannya. Sang Buldoser akan bertarung melawan jawara Partai Buruh awal tahun depan. Tapi Netanyahu bersumpah akan tetap membayangi Sharon kendati dia sudah kalah di Likud. Siapakah Netanyahu, yang tak pernah sudi mengalah kepada "Paman Sharon"—sesama tokoh dalam Partai Likud? Pria yang terlempar dari kursi PM Israel tiga tahun silam itu lahir pada 21 Oktober 1949 di Tel Aviv. Bibi—nama panggilannya—dibesarkan dalam keluarga kaya. Seperti Sharon, kariernya juga moncer. Ayahnya, Professor Benzion Netanyahu, adalah diplomat sekaligus sejarawan terhormat. Bibi menghabiskan masa sekolah lanjutan atasnya di Amerika Serikat dan kembali ke Israel pada 1967 untuk menjalani wajib militer dan keluar dengan pangkat kapten. Perang Yom Kippur pernah dicicipinya. Keluar dari tentara ia masuk Harvard University dan Massachusetts Insitute of Technology (MIT). Keahliannya dalam bidang manajemen dimanfaatkannya dengan bekerja di Boston Consulting Group, sebuah konsultan kelas dunia. Kakaknya Jonathan terbunuh saat pembebasan sandera di Bandara Entebbe, Uganda. Diilhami keberanian saudaranya, Bibi mendirikan Institut Jonathan, yang mengkaji masalah terorisme. Lewat institut itu pula perkenalannya dengan dunia politik internasional dimulai. Usai mengadakan konferensi internasional melawan terorisme, George Schultz, yang kala itu menjabat Menteri Luar Negeri Amerika, mengangkatnya sebagai tangan kanan dalam menilai kebijakan internasional Amerika menyangkut terorisme. Kariernya naik menjadi Duta Besar Israel untuk PBB selama empat tahun. Ketika kembali ke Israel, ia terpilih masuk Knesset dan menjadi Deputi Menteri Luar Negeri. Setelah menjabat Ketua Likud, ia meraih kursi perdana menteri. Muda, cerdas, energetik, dan kosmopolit, Bibi adalah pemimpin Israel pertama dari generasi kedua. Dialah yang pertama menggagas pemilihan perdana menteri secara langsung—ide yang dipakai sampai sekarang. Sikapnya terhadap Palestina mengalami transformasi yang menarik: mula-mula dia bersikap moderat dalam soal pemukiman Yahudi di tanah-tanah Palestina, posisi Arafat, perdamaian, dan pendirian negara Palestina. Bibi bahkan meneken perjanjian perdamaian Wye River. Tapi, setelah menjadi penguasa, sikapnya berubah. Dia menolak pendirian negara Palestina karena begitu banyaknya korban bom bunuh diri di pihak Israel. Dia juga menyatakan, Arafat harus dideportasi dari Palestina. Tak mengherankan jika sebuah ulasan di situs internet BBC.com menyebutnya sebagai politikus yang oportunis dan pragmatis. Pidato-pidato politiknya bukan dilandasi oleh ideologi yang kukuh, tetapi oleh kondisi dan kebutuhan yang tengah berlangsung. Karena itu, bagi Bibi, pertumbuhan ekonomi Israel adalah faktor penting yang membutuhkan prioritas. Dia bisa memotong semua pos pengeluaran untuk mendorong perekonomian Israel. Tetapi, ketika ancaman keamanan meningkat, dia dianggap tak bisa memimpin. Ehud Barak menyingkirkannya pada 1999. Kekalahan di Likud kembali terulang pada pekan lalu ketika anggota Likud memilih Sharon. Seperti halnya Sharon, Bibi juga tak lepas dari noda hitam dalam perjalanan kariernya. Dia dan istrinya dituduh menguasai dan mencuri ratusan cenderamata milik negara. Kasus itu memang dihentikan penyidikannya. Tidak seperti Sharon, Bibi tak pernah ke pengadilan karena kasus ini. Namun noda itu telah telanjur melekat. Toh, cacat itu tak membuat Sharon mengecilkan arti Netanyahu. Bulan November lalu Sharon memilih Bibi sebagai menteri luar negeri—jabatan yang dianggap cocok karena pergaulan internasionalnya. Kursi menteri luar negeri tidak membuat Bibi surut dalam membuka perlawanan terbuka terhadap bosnya itu. Kalah di Likud tak membuatnya jera. Dia kembali menantang Sharon dalam pemilihan umum pada Januari 2003 untuk membuktikan siapa yang lebih dipercaya Bani Israel untuk menjadi pemimpin. Di televisi, Bibi sesumbar bahwa jika menang dia akan mengusir Arafat dan PLO dari Palestina sehingga tak ada lagi teror terhadap Israel. Dalam format yang berbeda, Bibi dan Sharon sesungguhnya punya sikap politik serupa: sama-sama ingin menyeruduk musuh-musuhnya. Alhasil, perdamaian tampaknya masih akan lama turun ke atas dua seteru lama itu: Palestina dan Israel. I G.G. Maha Adi (Who2.com, Netanyahu.com, The Economist)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus