Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

'Jalur Cepat' Menuju Surga

Bom bunuh diri adalah cara perlawanan Palestina yang paling memusingkan Israel. Para pelakunya mulai dididik sejak usia balita.

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABDEL Jawad dan Assad beserta seluruh keluarga di Tepi Barat dan di tanah perantauan dengan ini menyampaikan kesyahidan putra kami, Ahmen Hafez Sa'adat." Iklan ini, yang terpampang di sebuah koran lokal di Palestina pada 30 Maret silam, bukanlah cerita baru. Kematian karena melawan tentara Israel adalah kebanggaan yang kian lazim dipamerkan oleh keluarga yang kehilangan dengan rasa bangga dan bersyukur, ibarat kematian itu adalah berita perkawinan. Hafez Sa'adat, 22 tahun, terlibat baku tembak dengan Israel pada Maret silam. Anak muda itu rebah ke tanah sembari menuai empat nyawa serdadu Israel. Bagi keluarganya, dia mati syahid. Jalannya ke surga akan lempeng. Dan kematiannya layak diumumkan dengan rasa bahagia. Hafez Sa'adat hanya satu di antara ratusan, bahkan ribuan, anak muda Palestina yang urun nyawa dalam usia muda untuk apa yang mereka sebut "kemerdekaan Palestina". Pekan lalu, sebuah serangan bom bunuh diri mengguncang sebuah "kotak pemilu" di Israel Utara saat para anggota Partai Likud melakukan pemilihan ketuanya. Dua pekan sebelumnya, Nael Abu Hilail, 22 tahun, anggota kelompok militan Hamas dari Bethlehem, berharakiri dengan sebuah bom di bus kota. Hilail tewas bersama 11 orang Israel. Dan ada "bonus": 50 orang luka-luka. Peristiwa berdarah itu terjadi di kawasan Kiryat Menachem, Yerusalem. Maor Kimche, seorang pemuda tanggung yang menumpang bus tersebut ke sekolahnya, menuturkan kesaksiannya: sebuah suara ledakan tiba-tiba mengguntur di kupingnya, disusul gulungan asap hitam. Para penumpang bertumbangan ke lantai bus. "Pecahan kaca dan potongan tubuh manusia bertebaran di mana-mana," ujar Kimche, yang menderita luka di kakinya. Kelompok militan Hamas mengaku bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Bom bunuh diri bukanlah hal baru dalam perjuangan rakyat Palestina melawan Israel. Sembilan tahun lalu, pada 16 September 1993, Sahar Tamam Nabulis—juga berusia 22 tahun—memenuhi sebuah van Mitsubishi dengan kaleng-kaleng gas. Sebuah Al-Quran dia letakkan di kursi penumpang. Atas nama perjuangan Hamas, Nabulis lantas menyerudukkan mobilnya ke dua bus. Delapan warga Israel luka parah, sedangkan Nabulis tewas bersama seorang rekannya. Dibandingkan dengan bom-bom bunuh diri yang sekarang, hasil kerja Nabulis masih jauh dari profesional. Tapi bom bunuh diri ala Nabulis itu boleh jadi telah menginspirasi serial bom bunuh diri selanjutnya: lebih dari 105 serangan bom bunuh diri telah dilakukan oleh kelompok militan Palestina seperti Hamas, Islamic Jihad, dan Al-Aqsa Martyrs Brigade sejak kematian Tamam Nabulis. Sampai kini, serangan itu sudah meminta 339 korban nyawa. Jumlah korban dan frekuensi bom bunuh diri yang kian meningkat membuat pasukan Israel terus mengetatkan pengamanan. Serdadu-serdadu Yahudi menduduki hampir semua kota di Tepi Barat, menerapkan jam malam, menahan anggota kelompok militan, serta menghancurkan rumah keluarga pelaku bom bunuh diri. Ketatnya pengamanan pasukan Israel tersebut membuat kelompok militan berpikir keras untuk mencari strategi alternatif. Kerap kali "operasi"—istilah untuk serangan bom bunuh diri—mereka lakukan di tempat umum. Strategi lain adalah melakukan operasi pada bus-bus yang penuh penumpang. Tapi kian ketatnya pengamanan membuat kelompok Islamic Jihad beralih ke serangan bunuh diri dengan bom mobil. Akhir Oktober lalu, seorang pelaku meledakkan dirinya di sebuah mobil dengan 90 kilogram bahan peledak di dalamnya. Sebulan sebelum itu, polisi menemukan mobil dengan muatan 590 kilogram bahan peledak—jumlah terbesar yang pernah ditemukan pasukan Israel. Seorang anggota Islamic Jihad menjelaskan, "Kami menemukan cara (bunuh diri) dengan (bom) mobil. Bahan peledaknya bisa melukai banyak orang." Serangan-serangan bom bunuh diri harus diakui menjadi batu sandungan utama dalam perundingan damai Israel-Palestina. "Kami telah kehabisan akal bagaimana mengatasi hal ini," ujar Binyamin Ben-Eliezer, mantan Menteri Pertahanan Israel. Tak mengherankan jika Israel menerapkan tindakan hukuman yang gila-gilaan kepada pelakunya, antara lain hukuman kolektif terhadap keluarga dan lingkungan si operator bom. Mereka ditangkapi, diusir dari tempat tinggalnya, dan disiksa. Seperti lingkaran setan, sikap keras dari Israel tidak juga menyelesaikan masalah—bahkan mendatangkan reaksi yang lebih edan dari kelompok garis keras Palestina. "Perlawanan ini akan dilanjutkan hingga kami bisa membebaskan tanah kami," ujar Ismail Abu Shanab, seorang pemimpin Hamas. Hasil sebuah jajak pendapat pada Juni lalu menunjukkan bahwa 78 persen penduduk Gaza menyetujui bom bunuh diri. Banyak keluarga pelaku bom bunuh diri bangga dengan "kesyahidan" anak-anaknya. "Saya bersyukur kepada Tuhan ketika mendengar anak saya meninggal dalam operasi untuk kejayaan Tuhan dan tanah airnya," ujar Azmi, ayah Nael Abu Hilail. Bahkan terkadang rakyat Palestina merayakan bom bunuh diri dengan memasang iklan di koran layaknya pemberitahuan pernikahan—salah satu contohnya bisa dibaca pada awal tulisan ini. Pertanyaannya: mengapa banyak anak muda yang ikhlas menyerahkan nyawanya untuk "perjuangan Palestina?" Urusan merekrut operator bom bunuh diri memang bukan soal mudah. Sembilan tahun lalu, kelompok Hamas dan Islamic Jihad amat sulit menemukan relawan. Setelah calon-calon martir ditemukan, para komandan lapangan Hamas mengindoktrinasi mereka dengan intensif tentang agama, iman, dan ide mati syahid yang akan menjadi "jalan pintas" yang lempeng menuju surga. Mereka juga dilatih menggunakan senjata M-16 dan memasang bahan-bahan peledak di pinggangnya. Targetnya adalah membunuh sebanyak mungkin orang Israel. Dan mereka harus berjuang keras ketika mayoritas masyarakat Palestina masih menolak ide bom bunuh diri. Kegagalan perundingan damai pada tahun 2000 dan kekerasan pasukan Israel yang kian merajalela membuat gerakan intifadah kembali naik daun. Dan banyak pemuda yang melamar ke Hamas, Islamic Jihad, serta berbagai kelompok militan lain untuk menjadi relawan bom bunuh diri. "Kami tak perlu lagi berusaha keras seperti dulu," ujar Abdel Aziz Rantisi, pemimpin Hamas. Bahkan Fatah, kelompok garis keras Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pimpinan Presiden Yasser Arafat, mulai ikut terjun ke bisnis bom bunuh diri ini melalui kelompok Al-Aqsa Martyrs Brigade. Para calon martir dididik di kamp-kamp sederhana dan tersembunyi. Menurut Abu Mohammed, pemimpin militer Islamic Jihad, dia merekrut banyak anak untuk dilatih. Setiap tahun ada pelatihan menjadi operator bom bunuh diri bagi anak-anak berusia 12-15 tahun. Dasar ajarannya: membunuh itu baik, begitu pula kematian. Mohammed, 14 tahun, seorang remaja Palestina yang melamar menjadi martir, memberikan alasan sebagai berikut: "Saya ingin membebaskan Palestina dan menjadi bagian dari revolusi." Sementara itu, kelompok Fatah tidak ketinggalan. Mounir al-Makdah, mantan pemimpin militer Fatah di Libanon Selatan, melatih anak-anak sejak mereka baru bisa tegak berdiri. Jenis latihannya antara lain mengendalikan emosi dan mempelajari Al-Quran. Mereka mendapat janji bahwa kehidupan bahagia di surga akan menantikan semua calon martir. "Operator bom bunuh diri adalah senjata pamungkas kami yang tak akan pernah dimiliki Israel," ujar Mounir al-Makdah dengan bangga. Pada usia berapa seorang operator sudah siap dilepas ke lapangan? Minimal 15 tahun, tapi ini pun amat bergantung pada kesiapan fisik, mental, dan spiritual mereka. Para pendukung operasi bom bunuh diri sesungguhnya tak perlu repot-repot benar menanamkan kemampuan berperang kepada anak-anak Palestina. Sejak usia kanak-kanak, mereka sudah belajar "berperang" dengan melempari tentara Israel dengan batu. Dalam sebuah kunjungan ke Yerusalem beberapa waktu silam, TEMPO bercakap-cakap dengan seorang bocah berumur empat tahun yang berkali-kali melemparkan batu ke warga Israel dengan kebencian yang luar biasa. Ketika diberi tahu bahwa melempar batu ke orang lain bukan tindakan yang baik, si bocah kontan menjawab, "...kecuali untuk orang Yahudi." Bom bunuh diri bukan sekadar duri yang mengancam hubungan Israel-Palestina. Masih ada sisi lain yang lebih muram: duri itu menemukan pesemaian yang subur pada anak-anak dan remaja Palestina yang tumbuh dalam kekerasan dari hari ke hari. Purwani D. Prabandari (Jerusalem Post, The Guardian, The Palestine Chronicle)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus