Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian kawasan kebun karet dan sawit di wilayah Desa Bayat Hilir dan Pangkalan Bayat, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Palembang, itu kini telah rusak. Di jalan pertigaan simpang Bayat sepanjang 8 kilometer ada ratusan lahan terbuka. Dulu lahan itu bekas kilang minyak tradisional. Setiap lahan terbuka luasnya sekitar 100 meter persegi.
Ketika Tempo berkunjung ke lokasi pada 23 Agustus lalu, di beberapa lokasi masih tersisa drum-drum bekas penampung minyak mentah dan terpal rombeng sisa atap kilang. Seorang warga bercerita, dulu suasana sepanjang jalan penuh asap dari pembakaran tungku. Kini udaranya sudah kembali normal. Kendati letaknya di tengah hutan, di Desa Bayat Hilir mudah dijumpai mobil Toyota Fortuner dan Avanza berseliweran di jalan.
Bayat Hilir, Pangkalan Bayat, dan Simpang Bayat, tiga desa yang terletak di perbatasan Sumatera Selatan-Jambi, kembali menyita perhatian publik pada pertengahan Juli lalu. Di sana terdapat 544 tungku pengolahan minyak tradisional (sekitar 300 kilang). Pada 17 Agustus lalu, kilang-kilang itu dibongkar paksa oleh aparat keamanan gabungan TNI, polisi, Pertamina, dan satuan pengamanan lainnya.
Kepala Kepolisian Musi Banyuasin AKBP Iskandar F. Sutisna mengatakan selama Agustus 2013 telah dilakukan 23 penangkapan. Hasilnya, 24 orang menjadi tersangka karena melubangi pipa dan menyalurkan minyaknya ke truk ataupun ke kilang warga. "Kami juga menindak tempat penyulingan," ujarnya kepada Tempo. Dia menyatakan kilang rakyat sudah 100 persen dibongkar. Toh, sumber Tempo mengatakan, hingga 5 September lalu masih ada 11 kilang milik ketua rukun tetangga setempat yang belum dibongkar.
Menurut sumber itu, praktek kilang ilegal tidak benar-benar berhenti, tapi berpindah ke arah Sekayu dan Jambi. Ini terbukti dari hasil penangkapan saat Tempo berada di sana. Aparat kembali menemukan minyak mentah yang dibawa truk dari Bayat ke Jambi.
Sebelum muncul "demam minyak", warga bekerja sebagai pekebun karet dan sawit. Kepala Desa Bayat Hilir Mustamal menjelaskan, warga hanya mengantongi Rp 21-35 ribu sehari dari hasil penjualan getah karet 3-5 kilogram per hari. Dia menyatakan warganya mendapat pasokan minyak dari sumur tua peninggalan Belanda. "Kami telah berkoordinasi dengan pemerintah agar bisa legal melalui koperasi," katanya.
Mustamal mengaku telah mengantongi izin pembentukan koperasi dari Bupati Musi Banyuasin pada akhir 2010. Koperasi itulah yang menjadi pengepul minyak produksi warga. Bayat Hilir dihuni 381 keluarga dengan jumlah penduduk sekitar 2.000 jiwa. Di satu desa itu saja berdiri ratusan kilang. Praktek jual-beli minyak dari sumur tua dikatakan mendapat dukungan dari Peraturan Daerah Kabupaten Musi Banyuasin Nomor 26 Tahun 2007.
Ihwal peraturan itu, Manajer PT Pertamina EP Jambi Wiko Migantoro mengatakan warga salah tafsir. Dalam peraturan daerah yang diperkuat oleh Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2008 tercantum bahwa warga tidak bisa memperjualbelikan minyak mentah. Mereka harus setor ke kontraktor, yaitu Pertamina.
Bisnis kilang minyak ilegal memang basah. Seorang sumber Tempo menyebutkan satu drum minyak jadi dihargai Rp 750 ribu, dengan biaya produksi dan bahan baku separuhnya. Untuk pekerja ahli, setiap kali menyuling dapat bayaran Rp 400 ribu per hari. Untuk tapping bayarannya lebih besar. Seorang penjaga saja mendapat upah Rp 1 juta sekali tapping.
Juru bicara PT Pertamina (Persero), Ali Mundakir, menyatakan pencurian tidak bisa dibenarkan meskipun dengan alasan ekonomi. Dia membantah tudingan bahwa jaringan pipa di-tapping warga akibat Pertamina tidak melakukan corporate social responsibility (CSR) di wilayah Musi Banyuasin. "Saya tidak setuju kalau isu ini digiring sebagai isu CSR," katanya kepada Tempo, 28 Agustus lalu.
Pemangku adat Bayung Lencir, Moestafa Nasrullah, mengatakan, setelah pembongkaran, lembaga yang berkepentingan harus mencari solusi terbaik bagi semua pihak. "Jadi, kalau hendak dibersihkan dan ditertibkan, juga harus diarahkan ke mana sampai selesai," ujarnya kepada Tempo.
Setelah pembongkaran kilang kini memang muncul bermacam masalah. Misalnya, tingkat pencurian sepeda motor dan ternak sapi di sekitar lokasi meningkat drastis. Sumber Tempo mengungkapkan, selama Ramadan dan Lebaran lalu, kasus pencurian mencapai lebih dari 150.
Kepala Desa Simpang Bayat, Kamari, mengaku lega kini hidungnya tak lagi tersumbat ingus hitam akibat menghirup udara yang tercemar asap kilang. Rumah Kamari hanya berjarak ratusan meter dari lokasi kilang. Kamari adalah salah satu kepala desa yang menentang praktek kilang ilegal itu. "Semua warga kini menunggu keseriusan aparat mengungkap kasus ini," katanya kepada Tempo.
Praktek lancung itu telah memakan belasan korban jiwa dan puluhan lainnya luka-luka akibat kebakaran kilang pada 3 Oktober 2012. Sebelumnya, pada Agustus 2012 juga terjadi kebakaran yang lebih besar. Sumber Tempo mengatakan, setelah dua kebakaran besar itu, tidak ada oknum yang ditangkap atau ada pengusutan lebih lanjut. Penyelidikan berhenti karena polisi beralasan semua tersangka tewas terpanggang api.
Para penjarah minyak seolah-olah kebal hukum karena kabarnya memiliki beking orang kuat di kepolisian dan TNI. Iskandar membantah kabar adanya pembiaran. "Kalau ada aparat kami yang terbukti terlibat, akan kami tindak tegas," ujarnya. Dia mengakui ribuan orang yang ditangkap kepolisian masih sebatas tersangka penampung lokal di daerah Musi Banyuasin, belum menyentuh aktor utama.
Juru bicara Polda Sumatera Selatan, Ajun Komisaris Besar R. Djarod Padakova, mengatakan dalam sebulan terakhir masih ditemukan 21 kasus pencurian minyak. Dari angka itu, 12 kasus sudah masuk penyidikan dan 8 lainnya dalam penyelidikan. "Kami galakkan patroli dengan melibatkan 180 personel dan 10 pos tetap," ujarnya kepada Tempo. Dia memastikan akan melakukan penelusuran setiap informasi tentang indikasi keterlibatan personel kepolisian yang didapat dari masyarakat.
Kepala Penerangan Kodam II Sriwijaya Kolonel Infanteri Alfianto menjelaskan, selama 2013 pihaknya sudah menangkap enam personel TNI yang diduga menjadi penadah, pembeli, dan pelaku lapangan kegiatan pencurian minyak. "Tidak ada kompromi bagi prajurit yang terlibat," katanya kepada Tempo. Menurut dia, enam tentara tersebut, dua berpangkat perwira, dua bintara, dan dua lainnya tamtama. Mereka ada yang tertangkap dalam penggerebekan yang dilakukan oleh tim gabungan beberapa waktu lalu.
Indikasi keterlibatan orang dalam juga santer menimpa PT Elnusa sebagai perusahaan yang bertanggung jawab atas pipa dan aliran minyak. Tiga sumber Tempo membenarkan ada indikasi keterlibatan pegawai Elnusa. Sebab, saat penggantian pipa pada Juli lalu, baru diuji coba sudah bocor di 21 titik.
Seorang sumber Tempo lainnya mengatakan untuk mengebor pipa baja 8 inci itu dibutuhkan alat bor bermata berlian dengan keterampilan khusus. Kabarnya satu pegawai Elnusa dan tiga karyawan perusahaan kontraktornya dipecat.
Penangkapan tiga karyawan perusahaan kontraktor itu dilakukan polisi Musi Banyuasin pada 21 Oktober 2012. Sekretaris Perusahaan Elnusa Fajriyah Usman mengaku belum mendapat laporan ada indikasi pegawai Elnusa terlibat. Meski begitu, dia menjamin jajaran internal Elnusa kecil kemungkinan terlibat aksi pencurian. "Justru kami berusaha membantu aparat untuk menangkap pelakunya," ujarnya ketika dihubungi Tempo.
Ali Mundakir juga membantah ada pegawai Pertamina ikut terlibat. Pertamina, menurut dia, sangat tegas terhadap pencurian minyak. Namun dia membenarkan telah mendengar tahun lalu ada karyawan Elnusa yang dipecat gara-gara diduga terlibat pencurian minyak.
Ajun Komisaris Besar Polisi Iskandar mengatakan jalur pemasaran minyak ilegal asal Bayat mencapai Jambi, Palembang, Lampung, hingga Bangka Belitung. "Kalau Singapura, saya belum tahu pasti. Tapi Polda Palembang pernah menangkap minyak ilegal di laut," katanya.
Abdul Malik, Parliza Hendrawan (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo