PERTEMPURAN merebak di Sudan bagian selatan, dua pekan lalu. Ribuan tentara pemerintahan Jenderal Omar Bashir melancarkan serangan besar-besaran ke kawasan pemberontak yang bertahan di tepian Sungai Kit. Pesawat pengebom pemerintah Khartoum terus- menerus menjatuhkan bom di daerah yang dikuasai pemberontak di perbatasan dengan Uganda. Pertempuran terbesar diberitakan terjadi di sekitar Kota Nimule, yang menjadi lokasi markas utama kaum pembangkang bersenjata Sudan. Akibatnya, puluhan ribu pengungsi sipil pun berduyun-duyun menyeberang perbatasan. Menurut laporan PBB, 47.000 penghuni perkemahan pengungsi di Kota Ame mengungsi ke Uganda, akhir pekan lalu. Pasukan pemerintah tampaknya memang berupaya menutup jalur logistik kelompok Tentara Pembebasan Rakyat Sudan, yang dipimpin dan dibentuk oleh John Garang pada tahun 1982. Garang adalah seorang doktor ekonomi pertanian lulusan Universitas Negeri Iowa, Amerika Serikat, yang berasal dari Sudan selatan. Puak berkulit hitam, yang mendominasi tiga provinsi di selatan Sudan, umumnya beragama Nasrani atau animisme. Sejak Sudan merdeka, 1 Januari 1956, puak minoritas ini memendam kecurigaan kepada saudara sebangsanya di utara. Pasalnya, 12 provinsi di utara, termasuk Khartoum, dikuasai oleh puak Arab yang beragama Islam. Sekitar 70% penduduk Sudan memeluk agama Islam. Sejak awal, penduduk kawasan selatan khawatir bahwa hukum Islam akan diberlakukan kepada mereka. Maka, percikan perselisihan marak menjadi perang saudara, yang baru padam setelah Presiden Muhammad Gaafar Al-Nimeiry memberikan hak otonomi kepada tiga provinsi itu. Tapi damai tak berlangsung lama. Sebelas tahun kemudian, Nimeiry menyatakan hukum Islam berlaku di seluruh negeri, dan John Garang pun menyambutnya dengan pemberontakan. Dampaknya sungguh mengenaskan. Kementerian luar negeri AS memperkirakan 3,5 juta orang terpaksa meninggalkan kampung halamannya akibat perang saudara. Suatu jumlah yang besar, mengingat penduduk Sudan total hanya sekitar 28 juta. Dan pemberontakan ini sulit dipadamkan. Antara lain karena wilayah Sudan sangat luas, sekitar 25% luas daratan Indonesia. Walhasil, perang ini menyedot dana dan tenaga hingga kemajuan ekonomi pun tersendat. Pihak militer pun akhirnya mendepak Nimeiry pada tahun 1986. Letnan Jenderal Omar Hassan al-Bashir akhirnya ditahbiskan menjadi kepala negara. Ia berkoalisi dengan kelompok bekas Partai Front Islam Nasional. Partai yang diketuai oleh Hassan Al-Turabi ini beranggapan sosialisme ala Nimeiry telah gagal, dan solusinya adalah Islam. Walhasil, hukum syariat pun diterapkan dengan ketat. Satuan polisi sosial dibentuk untuk memastikan rakyat Sudan menjalankan syariat. Dan dalam konteks ini, memerangi pemberontakan Tentara Pembebasan Rakyat Sudan, yang sebagian nasrani, sebagian pemeluk animisme, dianggap jihad. Jihad atau bukan, yang paling menderita adalah rakyat biasa. Perang menyebabkan lahan pertanian telantar dan 7 juta penduduk terancam kelaparan. Khartoum pun membuka pintu bagi PBB untuk melakukan operasi kemanusiaan. Namun, setahun kemudian PBB terpaksa menghentikan kegiatan karena bahaya perang. Operasi kemanusiaan yang masih berjalan umumnya dilakukan melalui kawasan perbatasan Uganda, yang masih dikuasai Tentara Pembebasan. Celakanya, Tentara Pembebasan Rakyat Sudan pecah: satu di bawah John Garang dari suku Dinka, satu lagi di bawah Riak Marchar dari suku Nuer. Perpecahan berdasarkan garis suku ini membuat rakyat selatan pun makin sengsara. Organisasi Hak Asasi Manusia Internasional menuduh kedua pihak, militer Sudan dan Tentara Pembebasan, "melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia". Adalah perpecahan di kandang lawan dan musim kering yang akan berakhir dua bulan lagi, tampaknya, yang menjadi alasan Khartoum untuk mengadakan serangan besar-besaran dua pekan lalu. "Saya kira ini akan merupakan serangan mati-matian," kata David Evans, pengurus bantuan kemanusiaan Norwegia di Sudan. Sebenarnya, keadaan pemerintah Sudan pun cukup memprihatinkan. Mulai Agustus tahun lalu, Dana Moneter Internasional mencabut hak suara Sudan karena menunggak utang US$ 1,6 miliar. "Ini merupakan tunggakan terbesar dalam sejarah Dana Moneter," kata juru bicara organisasi moneter internasional itu. Bila tunggakan ini tak dibayar juga, bulan depan Dana Moneter Internasional akan mengadakan sidang istimewa untuk mengeluarkan Sudan dari keanggotaan. Bila itu terjadi, keadaan ekonomi negara yang pendapatan per kapitanya dua pertiga Indonesia ini -- sekitar US$ 350 -- akan semakin terancam. Selain itu, Amerika Serikat pun telah memasukkan Sudan dalam daftar negara "pendukung terorisme" bersama Iran, Libya, Irak, Suriah, Kuba, dan Korea Utara. Ini berarti AS tak akan memberikan bantuan kecuali bantuan kemanusiaan. Yang istimewa dalam serangan dari Khartoum kali ini, kedua pihak akan mati-matian memperebutkan jalur logistik dari perbatasan Uganda. Sebab, tanpa menguasai jalur itu, bantuan sulit diperoleh. Inilah, mungkin, yang akan mengobarkan perang besar.Bambang Harymurti (Washington, D.C.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini