ANCAMAN serangan udara NATO ke Bosnia jelas sudah sangat terlambat. Tapi lumayanlah, daripada tak bertindak. Masalahnya, benarkah ancaman akan dilaksanakan seandainya pihak etnis Serbia tetap bandel. Ada yang menjawab tegas, NATO tak akan benar-benar mengebom persenjataan berat etnis Serbia. Pakta Pertahanan Atlantik Utara beranggotakan 16 negara itu akan menunggu sampai 10 hari berlalu, kemudian akan memaafkan perilaku etnis Serbia dengan segala alasan. Dan kemudian, pengepungan Sarajevo dan pembersihan etnis akan berlanjut. Itulah jawaban Perdana Menteri Datuk Mahathir Mohamad, ketika ditanya wartawan, pekan lalu. Mungkin perdana menteri Malaysia itu benar. Sejauh ini, mengapa sampai ancaman itu telat, karena Barat memang ogah- ogahan melakukan tindakan militer di Bosnia-Herzegovina. Itulah sebabnya kaum muslim di Bosnia selama ini hanya mendapat "pepesan kosong". Salah satu sebab malasnya Barat bertindak, mereka sangat menyadari bahwa serangan udara bakal meracuni hubungan mereka dengan Rusia yang cenderung pro Serbia. Rusia selalu mengemas dukungannya pada Serbia dengan ungkapan bahwa upaya diplomasi jauh lebih bermanfaat daripada penggunaan kekerasan. Hal yang juga diduga membuat Barat lamban, pihak yang harus dibela di Bosnia adalah kaum muslim. Menteri Luar Negeri Prancis, Alain Juppe, pernah mengungkapkan kekhawatirannya bila Bosnia dikuasai muslim, dan yang tumbuh kemudian adalah muslim radikal, dikhawatirkan akan mengganggu Eropa. Boleh jadi, kekhawatiran ini sangat berlebihan. Presiden Bosnia Alija Izet Begovic pernah menyatakan bahwa Islam di negerinya adalah Islam yang liberal, berpaham Hanafi. Lambannya tercapainya kesepakatan rencana serangan udara juga karena negara-negara Eropa Barat tak bersedia bertindak sendiri tanpa Amerika Serikat. Padahal, Amerika, dalam hal Bosnia, bersikap bahwa urusan di Balkan ini adalah tanggung jawab Eropa. Tapi, di balik pernyataan Amerika itu, masalahnya tak sesederhana yang terdengar. Sebagaimana dulu dalam masalah Israel-Palestina, Amerika cenderung berpihak pada Israel, ternyata karena lobi Yahudi di AS sangat kuat. Demikian pula dalam kasus Bosnia, konon lobi Serbia di Amerika memang kuat. Roy Gutman, wartawan yang baru menerima hadiah Pulitzer tahun 1993 untuk laporannya tentang pembantaian di Bosnia, menulis dalam bukunya A Witness to Genocide, bahwa ada mafia Serbia yang mempengaruhi kebijakan Amerika terhadap Bosnia. Tak tanggung-tanggung, salah satu anggota kelompok lobi Serbia ini adalah Lawrence Eagleburger, yang menjadi menteri luar negeri pada masa akhir pemerintahan Presiden George Bush. Anggota lain yang juga mempunyai posisi kuat adalah Brent Scowcroft, penasihat keamanan nasional yang mempunyai akses langsung ke presiden. Rata-rata anggota "mafia" ini pernah bertugas di Yugoslavia. Eagleburger adalah duta besar Amerika untuk Yugoslavia pada akhir 1970-an, dan ia adalah teman dekat Slobodan Milosevic, presiden Republik Serbia pendukung milisi Serbia, pencetus gagasan Serbia Raya, yang wilayahnya meliputi Bosnia. Scowcroft pernah menjadi atase militer di Beograd. Ketika Eagleburger mengakhiri tugasnya di Beograd, banyak kontrak bisnis dari pemerintah Yugoslavia mampir ke sebuah perusahaan konsultan, Henry Kissinger Associates, tempat Eagleburger menjadi presiden direktur, sedangkan Scowcroft adalah wakil presiden di sana. Selain mempengaruhi politik Gedung Putih, Eagleburger juga aktif menggalang opini dunia untuk menghindari kekerasan dalam menyelesaikan konflik Bosnia. Bahkan, dalam konferensi internasional tentang Bosnia di London tahun 1992, yang diadakan oleh Perdana Menteri Inggris John Major, Eagleburger menekankan betapa penting hubungan historis antara Amerika dan Serbia. Tentang soal konflik, ia hanya mengatakan bahwa permusuhan itu adalah warisan lama yang kompleks dan berbelit- belit. Tak sekali pun ia menyebut Republik Bosnia-Herzegovina yang mendapat pengakuan secara internasional dan sudah mempunyai duta besar di PBB. Sekarang, setelah tak lagi menjadi menteri luar negeri, Eagleburger masih menyuarakan ketidaksetujuannya atas serangan udara yang sedang direncanakan NATO. "Apa jadinya jika Serbia lalu menyerang pasukan PBB di Bosnia?" itulah alasan utama Eagleburger. Soal keselamatan pasukan PBB ini memang bukan cuma dalih. Saat ini ada sekitar 28.000 pasukan PBB yang hanya bersenjata ringan. Jelas, mereka bukan tandingan milisi Serbia, yang punya senjata berat. Selain itu, masih ada lagi ribuan pekerja sosial dari berbagai negara yang terlibat dalam penyaluran bantuan untuk kaum muslim yang terkepung. Ancaman buat orang yang mudah menjadi sasaran ini sungguh nyata. "Jika negara mereka mengebom kami, jelas orang-orang itu harus tinggal bersama kami di sini," kata salah seorang komandan milisi Serbia, Jenderal Milan Gvero. Menjelang akhir pekan lalu, dikabarkan milisi Serbia sudah mengendurkan kepungan terhadap Sarajevo. Seorang warga Sarajevo malah merasa, Jumat pekan lalu, seolah perang sudah berhenti. Masalahnya, seandainya pengeboman memang tak jadi dilaksanakan karena milisi Serbia mematuhi ultimatum, bagaimana pemecahan konflik etnis di Bosnia ini selanjutnya. Tanpa penyelesaian tuntas, ketika perhatian dunia pada Bosnia mengendur, dugaan Mahathir tampaknya bakal terjadi: pembersihan etnis kembali dilancarkan. Ide Serbia Raya adalah motor yang mudah membakar orang Serbia, tampaknya. Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini