Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Saksi membelot pembela keluar sidang

Pembela Mutiari walk out dari ruang sidang karena permintaannya menghadirkan kembali para saksi ditolak hakim. saksi membelot setelah bebas dari "siksaan" di tahanan polisi.

19 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSIDANGAN Nyonya Mutiari Senin pekan lalu di Pengadilan Negeri Sidoarjo, Jawa Timur, mirip sebuah pertunjukan drama. Adegan perdebatan antara pembela, jaksa, dan hakim berlangsung seru. Tercapai klimaks, tatkala I Wayan Titib Sulaksana dan Richard Wahjoedi -- pembela terdakwa Mutiari -- menyatakan walk out dan meninggalkan ruang sidang. Suasana menjadi gaduh. "Langkah walk out terpaksa kami lakukan karena pengadilan tidak fair lagi," kata Richard Wahjoedi. Aksi itu dilakukan karena permintaan pembela untuk memeriksa ulang lima saksi "pembelot" ditolak mentah-mentah oleh ketua majelis hakim Bernard Djohan Simatupang (Beny). "Pemeriksaan ulang itu amat penting karena para saksi kunci tersebut sudah mencabut pengakuannya dalam sidang terdahulu," kata Wayan Titib. Para saksi itu -- Soewono, Soeprapto, Widayat, Bambang Wuryantoro, dan A.S. Prayogi -- yang pernah mengatakan bahwa mereka terlibat dalam rangkaian kegiatan pembunuhan Marsinah, berbalik mengaku tak tahu-menahu. Mereka juga membantah bahwa bersama Mutiari -- seperti dituduhkan jaksa -- ikut rapat merencanakan pembunuhan Marsinah di ruang kerja Direktur PT Catur Putra Surya Porong, Yudi Astono. Para saksi tersebut mengaku dipaksa mengakui skenario dari penyidik bahwa mereka ikut membunuh Marsinah. Ngototnya pembela Mutiari cukup beralasan mengingat kesaksian yang dicabut itu amat menen-tukan nasib terdakwa. Pembela pun yakin apa yang dikemukakan para saksi benar karena masing- masing memiliki alibi yang kuat saat terjadi pembunuhan Marsinah pada 8 Mei 1993. Dan permintaan itu, disebutnya, ada dasarnya. Wayan Titib merujuk pasal 182 ayat 2 KUHAP yang memberi wewenang pada hakim, jika ada alasan tertentu dapat memeriksa kembali sebuah perkara atas permintaan jaksa, terdakwa, atau penasihat hukum. Mutiari, oleh Jaksa Buchari, dituduh ikut terlibat rencana pembunuhan Marsinah, melalui sebuah rapat di ruangan Yudi Astono pada 5 Mei 1993. Selama pertemuan Mutiari tak bicara, tetapi sikap diamnya itu justru dinilai oleh jaksa sebagai ungkapan sikap yang menyetujui perintah atasannya untuk membunuh Marsinah. "Dengan mendiamkan saja rencana pembunuhan tersebut, berarti terdakwa secara moral telah membantu dalam pengertian memberikan kesempatan terjadinya pembunuhan atas diri Marsinah," ujar Buchari. Atas kesalahannya itu, jaksa menuntut hukuman penjara dua tahun. Sidang Senin pekan lalu itu adalah pembacaan pledoi. Dengan sesenggukan menahan tangis, Mutiari dalam pledoinya menegaskan kembali bahwa ia tak tahu-menahu tentang adanya rapat untuk membicarakan rencana pembunuhan Marsinah. "Seandainya majelis hakim dan jaksa berkenan mencari tahu mengapa para saksi berani menjelaskan keadaan yang tidak pernah mereka alami, majelis hakim dan jaksa akan tahu betapa pedih dan kejam perlakuan petugas terhadap mereka, betapa tidak dihargai hak asasi mereka, dan ini menunjukkan suatu fakta bahwa ambisi kekuasaan lebih tinggi nilainya daripada hukum dan kebenaran," kata Mutiari, yang sarjana hukum itu. Sampai di situ pembacaan terhenti. Kembali Mutiari menyeka air matanya. Apa yang dituduhkan Jaksa, kata Mutiari, adalah bohong dan tidak benar. "Namun, sayang, saya hanyalah manusia biasa dan rakyat biasa yang tidak mempunyai kepandaian dan kebebasan untuk mengelak dari tuduhan Jaksa yang memang sudah profesional, dididik dan digaji untuk menuduh dan menuntut." Kali ini tangis Mutiari semakin keras. Ruangan sidang mendadak hening. Menurut Mutiari, pada 5 Mei 1993, ia memang berada di ruang Yudi Astono, tapi bukan untuk rapat, melainkan sedang menyiapkan uang pesangon karyawan yang dipecat. Sementara itu, pembela Mutiari, I Wayan Titib Sulaksana dan Richard Wahjoedi, juga menegaskan bahwa Mutiari sama sekali tak bersalah, dan minta agar dibebaskan. Pendapatnya ini didukung oleh keterangan saksi yang mencabut pengakuan sebelumnya lewat pernyataan tertulis. Mereka dengan lantang meminta majelis hakim melakukan pemeriksaan ulang terhadap lima saksi yang telah mencabut keterangannya secara tertulis itu. Para saksi ini ketika diadili sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Surabaya juga mencabut pengakuan itu. Hakim ternyata menolak. "Kami tak mengabulkan permintaan Anda," kata Hakim Benny. Jaksa Buchari menimpali, "Persidangan sudah selesai. Saudara penasihat hukum sudah diberi kesempatan seluas-luasnya untuk membela terdakwa." Richard, yang mukanya memerah, menyahut dengan emosional, "Kalau permohonan ini tak dikabulkan, kami protes dengan keluar dari persidangan." Karena tak juga dikabulkan, tanpa bilang apa- apa, dua pengacara yang juga bekas dosen Mutiari di Fakultas Hukum Universitas Airlangga itu bergegas ke luar sidang. Keributan pun terjadi di ruang sidang. Pengunjung berteriak- teriak, ada yang pro pembela ada pula yang mencacinya. Puluh-an polisi segera masuk ke dalam ruang sidang. Mendadak, di tengah keributan itu, seorang lelaki muda maju, berdiri tepat di belakang kursi terdakwa. "Maaf, Pak Hakim, saya Hari Sarwono, suami Mutiari. Karena pembela istri saya mengundurkan diri, saya mohon agar bisa mendampingi istri saya," teriak Hari Sarwono sambil mengacungkan tangan. Namun, usaha Hari sia-sia. Segera ia -- atas perintah hakim -- diseret polisi ke luar sidang. Mengapa permintaan pembela ditolak? Hakim Benny menyebut permintaan pembela tak beralasan. Sebab, pada dasarnya, hakim hanya mempergunakan kesaksian dalam sidang sebagai barang bukti, bukan yang di luar. "Jadi, bukan kesaksian dalam berita acara pemeriksaan yang dianggap sah, melainkan kesaksian di dalam sidang yang dilakukan di bawah sumpah itu," katanya. Memang, para saksi mencabut kesaksian mereka di luar sidang. Justru karena itu pembela ingin menampilkan kembali para saksi. Tentang dasar hukum pasal 182 ayat 2 KUHAP seperti disebutkan pembela itu, menurut Benny, pengertiannya hakim tidak harus memeriksa kembali saksi. Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa persidangan dapat dibuka kembali untuk menampung data sebagai bahan musyawarah. "Jadi, bukan memeriksa kembali," katanya. Ia juga membantah keras anggapan persidangan Marsinah merupakan sebuah paket yang direkayasa sehingga hakim memihak jaksa. "Tidak ada pemihakan. Apa yang benar menurut hukum harus disuarakan!" tutur Ketua Pengadilan Negeri Sidoarjo, yang pernah mengadili kasus tragedi Tanjungpriok itu. Jaksa Buchari mendukung sikap hakim yang menolak memeriksa kembali para saksi pembelot. "Kapan mau selesai perkara ini kalau pembela mengajukan lagi para saksi?" kata Jaksa. Menurut dia, upaya walk out dan deraian air mata dalam pembacaan pledoi itu tak lebih adalah trik pembela Mutiari. "Sudah biasa dalam pembacaan pledoi terdakwa dan pembela menangis. Itu kan hanya air mata buaya saja," ujar Buchari. Persidangan kasus Marsinah memang kian menarik. Menurut sejumlah pengacara yang mendampingi para terdakwa, keterangan para saksi tampak seperti diatur. Tampak sekali mereka harus menghafal apa yang sudah dituangkan dalam BAP. Saking hafalnya, mereka serempak bilang tahu warna baju Mutiari ketika hadir dalam sebuah rapat -- yang oleh polisi disebut sebagai rapat untuk membicarakan rencana pembunuhan terhadap Marsinah. Tapi ketika ditanya pengacara, apa warna baju yang dikenakan para saksi sendiri, mereka bingung. Saksi mulai "membelot" ketika mereka dipindah dari tahanan polisi ke Rumah Tahanan Negara Medaeng, Surabaya. Mula-mula yang membelot adalah A.S. Prayogi. Mereka mengaku mengalami penekanan dan penyiksaan dalam tahanan polisi, sehingga ia ikut saja apa yang dimaui penyidik. Kemudian disusul saksi-saksi lainnya. Soal penyiksaan juga dilaporkan Trimoelja, pengacara terdakwa utama Yudi Susanto, bos Marsinah, kepada Komisi Nasional Hak- Hak Asasi Manusia di Jakarta. Menurut Trimoelja, kliennya mengalami siksaan di luar batas peri kemanusiaan. Dalam laporan itu disebutkan, saat pertama kliennya ditahan, pemeriksaan dilakukan sambil menyetrum penis Yudi. "Ia juga diperintahkan menjilati lantai," kata Trimoelya. Bukan hanya itu. Kliennya juga diperlakukan seperti kambing yang disuruh mencabuti rumput dengan gigi. Benar tidaknya penyiksaan ini, mudah-mudahan terungkap dalam sidang.Aries Margono, Jalil Hakim dan Widjajanto (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum