Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOSOK guru tampaknya bukan lagi seperti tokoh yang pernah digambarkan oleh pelawak S. Bagio lewat film Sang Guru. Lugu, lurus, sederhana, dan agak takut-takut. Guru-guru zaman sekarang jauh lebih berani, vokal, dan tahu benar bagaimana memperjuangkan hak-hak mereka.
Lihat saja di jalanan. Pertengahan April lalu, misalnya, ribuan guru Jakarta melakukan unjuk rasa besar-besaran di Istana Negara dan Gedung MPR/DPR. Mereka menuntut kenaikan gaji minimum 100 persen dari gaji kotor mereka sekarang dan meminta agar tunjangan bagi guru TK hingga guru SLTA dan dosen di perguruan tinggi diberlakukan sama. Apabila hingga 24 April ini tuntutan mereka tak dipenuhi, mereka mengancam akan mogok mengajar.
Seperti tak mau kalah, sepekan berikutnya giliran guru-guru asal Jawa Barat dan Jawa Tengah yang berdemonstrasi di Senayan dan Istana Merdeka. Tuntutan mereka kurang lebih sama, meminta kenaikan gaji dan tunjangan. Di daerah lain seperti Bogor, Makassar, dan Nusatenggara Barat, demonstrasi para guru juga marak belakangan ini. Tak ketinggalan, para guru perguruan swasta pun ikut berdemonstrasi meminta subsidi pemerintah atas kecilnya gaji mereka.
Benarkah guru-guru itu sedemikian kekurangan gaji? Realitas aksi jalanan itu klop dengan jajak pendapat TEMPO. Mayoritas responden yang semuanya anggota Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyatakan masalah gaji dan tunjangan yang kecil adalah masalah paling berat yang mereka hadapi sebagai seorang guru.
Adapun soal anak didik yang nakal dan kurikulum yang berubah-ubah hanya menjadi keluhan responden berikutnya. Bahkan, masalah mengenai materi pelajaran, tanggung jawab sebagai guru, serta kurangnya sarana serta prasarana pendidikan hanya dipilih oleh sedikit responden sebagai masalah berat.
Dengan penghasilan tetap, sementara harga kebutuhan hidup terus melonjak, tentu saja berat hidup dalam situasi seperti itu. Karena itu, responden berpendapat gaji mereka harus naik 225 persen. Angka ini merupakan rata-rata kenaikan yang diinginkan responden dari sejumlah alternatif yang ditawarkan.
Mereka optimistis pemerintah akan mengabulkan keinginan tersebut. Soalnya, responden menganggap persoalan rendahnya gaji bukan semata karena pemerintah enggan menaikkan, tapi lebih karena perhatian pemerintah sekarang sedang tersedot ke bidang lain. Urusan lain yang dianggap lebih penting ketimbang nasib mereka sendiri, misalnya, adalah restrukturisasi perbankan, macetnya utang, penundaan pencairan dana dari IMF, dan lain-lain. ”Kalau kami ini apalah, cuma sebutir pasir di tengah lautan persoalan yang dihadapi Gus Dur,” kata Heri Pambudi, seorang guru sekolah menengah di Pasarminggu, Jakarta Selatan, sedikit puitis.
Hanya, optimisme para guru tadi harus berhadapan dengan anggaran negara. Menurut Wakil Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, Mohamad Ikhsan, pemerintah akan kesulitan menaikkan gaji guru karena tak punya uang. Menurut Ikhsan, seandainya gaji semua guru yang berjumlah 1,7 juta orang itu naik 100 persen saja, pemerintah mesti menyiapkan tambahan anggaran Rp 17 triliun sampai Rp 18 triliun (10 persen dari total APBN). Apalagi, tahun ini anggaran defisit lima persen. Tapi, repotnya, hanya 23 persen responden yang memahami kesulitan anggaran pemerintah ini.
Bisa saja gaji guru tetap dinaikkan, kata Ichsan, tapi risikonya pemerintah mesti mencabut pelbagai macam subsidi, misalnya bahan bakar. ”Apakah masyarakat siap? Selain itu, ada pos lain yang saat ini juga butuh anggaran, misalnya infrastruktur,” ujar Ikhsan. Karena itu, ia mengusulkan agar kenaikan gaji guru dilakukan secara bertahap. Tahun ini, misalnya, hanya naik 20 persen, tahun depan 30 persen, begitu seterusnya sampai 100 persen.
Wicaksono
Anda guru di tingkat apa? | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Taman Kanak-Kanak | 22%SD | 15% | SLTP | 26% | SLTA | 25% | | Masalah apa yang Anda rasakan paling berat sebagai guru? (multiple) | Gaji (pokok dan tunjangan) yang kecil/pas-pasan | 74% | Anak didik yang nakal | 36% | Kurikulum yang berubah-ubah | 23% | Penyiapan materi pelajaran | 14% | Beratnya tanggung jawab sebagai guru | 8% | Kurang dan mahalnya sarana serta prasarana | 5% | Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban | | Menurut Anda, apa penyebab gaji guru masih rendah? (multiple) | Pemerintah masih sibuk dengan masalah lain sehingga belum sempat memperhatikan nasib para guru | 73% | Pemerintah enggan menaikkan gaji guru | 38% | Masih banyak korupsi di tubuh pemerintah | 31% | Anggaran pemerintah tidak mencukupi | 23% | Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban | | Khusus dalam hal imbalan/gaji, apa yang Anda rasakan masih jadi ganjalan? (multiple) | Gaji pokok terlalu kecil | 85% | Tunjangan fungsional terlalu kecil | 64% | Kenaikan tunjangan yang tidak adil antara tunjangan struktural dan fungsional | 36% | Banyaknya potongan terhadap gaji | 30% | Sistem tunjangan struktural yang tidak adil (terlalu jauh antara guru yang mempunyai jabatan struktural dan yang tidak) | 29% | Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban | | Menurut Anda, apakah pemogokan merupakan satu-satunya cara untuk menyampaikan keluhan? | Ya | 50% | Tidak | 50% | | Bila tidak, mengapa Anda menjawab demikian? (multiple) | Merugikan kepentingan murid-murid | 61% | Masih ada alternatif lain | 56% | Mogok tidak menyelesaikan masalah | 39% | Tidak memberikan teladan yang pantas kepada murid | 38% | Mempermalukan nama guru | 26% | Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban | | Bila ya, mengapa Anda menjawab demikian? (multiple) | Tidak ada jalan lain | 80% | Cara yang paling efektif | 67% | Solider dengan guru yang lain | 18% | Guru juga berhak mogok | 18% | Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban | | |
---|
Metodologi jajak pendapat ini:
MONITOR juga ditayangkan dalam SEPUTAR INDONESIA setiap hari Minggu pukul 18.00 WIB
Independent Market Research
Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 5704974
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo