Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angka

Guruku Malang, Guruku Demo

Mayoritas responden menunjuk kecilnya gaji sebagai masalah terberat para guru. Pemerintah mestinya menaikkannya hingga 200 persen.

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOSOK guru tampaknya bukan lagi seperti tokoh yang pernah digambarkan oleh pelawak S. Bagio lewat film Sang Guru. Lugu, lurus, sederhana, dan agak takut-takut. Guru-guru zaman sekarang jauh lebih berani, vokal, dan tahu benar bagaimana memperjuangkan hak-hak mereka.

Lihat saja di jalanan. Pertengahan April lalu, misalnya, ribuan guru Jakarta melakukan unjuk rasa besar-besaran di Istana Negara dan Gedung MPR/DPR. Mereka menuntut kenaikan gaji minimum 100 persen dari gaji kotor mereka sekarang dan meminta agar tunjangan bagi guru TK hingga guru SLTA dan dosen di perguruan tinggi diberlakukan sama. Apabila hingga 24 April ini tuntutan mereka tak dipenuhi, mereka mengancam akan mogok mengajar.

Seperti tak mau kalah, sepekan berikutnya giliran guru-guru asal Jawa Barat dan Jawa Tengah yang berdemonstrasi di Senayan dan Istana Merdeka. Tuntutan mereka kurang lebih sama, meminta kenaikan gaji dan tunjangan. Di daerah lain seperti Bogor, Makassar, dan Nusatenggara Barat, demonstrasi para guru juga marak belakangan ini. Tak ketinggalan, para guru perguruan swasta pun ikut berdemonstrasi meminta subsidi pemerintah atas kecilnya gaji mereka.

Benarkah guru-guru itu sedemikian kekurangan gaji? Realitas aksi jalanan itu klop dengan jajak pendapat TEMPO. Mayoritas responden yang semuanya anggota Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyatakan masalah gaji dan tunjangan yang kecil adalah masalah paling berat yang mereka hadapi sebagai seorang guru.

Adapun soal anak didik yang nakal dan kurikulum yang berubah-ubah hanya menjadi keluhan responden berikutnya. Bahkan, masalah mengenai materi pelajaran, tanggung jawab sebagai guru, serta kurangnya sarana serta prasarana pendidikan hanya dipilih oleh sedikit responden sebagai masalah berat.

Dengan penghasilan tetap, sementara harga kebutuhan hidup terus melonjak, tentu saja berat hidup dalam situasi seperti itu. Karena itu, responden berpendapat gaji mereka harus naik 225 persen. Angka ini merupakan rata-rata kenaikan yang diinginkan responden dari sejumlah alternatif yang ditawarkan.

Mereka optimistis pemerintah akan mengabulkan keinginan tersebut. Soalnya, responden menganggap persoalan rendahnya gaji bukan semata karena pemerintah enggan menaikkan, tapi lebih karena perhatian pemerintah sekarang sedang tersedot ke bidang lain. Urusan lain yang dianggap lebih penting ketimbang nasib mereka sendiri, misalnya, adalah restrukturisasi perbankan, macetnya utang, penundaan pencairan dana dari IMF, dan lain-lain. ”Kalau kami ini apalah, cuma sebutir pasir di tengah lautan persoalan yang dihadapi Gus Dur,” kata Heri Pambudi, seorang guru sekolah menengah di Pasarminggu, Jakarta Selatan, sedikit puitis.

Hanya, optimisme para guru tadi harus berhadapan dengan anggaran negara. Menurut Wakil Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, Mohamad Ikhsan, pemerintah akan kesulitan menaikkan gaji guru karena tak punya uang. Menurut Ikhsan, seandainya gaji semua guru yang berjumlah 1,7 juta orang itu naik 100 persen saja, pemerintah mesti menyiapkan tambahan anggaran Rp 17 triliun sampai Rp 18 triliun (10 persen dari total APBN). Apalagi, tahun ini anggaran defisit lima persen. Tapi, repotnya, hanya 23 persen responden yang memahami kesulitan anggaran pemerintah ini.

Bisa saja gaji guru tetap dinaikkan, kata Ichsan, tapi risikonya pemerintah mesti mencabut pelbagai macam subsidi, misalnya bahan bakar. ”Apakah masyarakat siap? Selain itu, ada pos lain yang saat ini juga butuh anggaran, misalnya infrastruktur,” ujar Ikhsan. Karena itu, ia mengusulkan agar kenaikan gaji guru dilakukan secara bertahap. Tahun ini, misalnya, hanya naik 20 persen, tahun depan 30 persen, begitu seterusnya sampai 100 persen.

Wicaksono


Anda guru di tingkat apa?
Taman Kanak-Kanak22%
SD15%
SLTP26%
SLTA25%
Masalah apa yang Anda rasakan paling berat sebagai guru? (multiple)
Gaji (pokok dan tunjangan) yang kecil/pas-pasan74%
Anak didik yang nakal36%
Kurikulum yang berubah-ubah23%
Penyiapan materi pelajaran14%
Beratnya tanggung jawab sebagai guru8%
Kurang dan mahalnya sarana serta prasarana5%
Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban
 
Menurut Anda, apa penyebab gaji guru masih rendah? (multiple)
Pemerintah masih sibuk dengan masalah lain sehingga belum sempat memperhatikan nasib para guru73%
Pemerintah enggan menaikkan gaji guru38%
Masih banyak korupsi di tubuh pemerintah31%
Anggaran pemerintah tidak mencukupi23%
Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban
 
Khusus dalam hal imbalan/gaji, apa yang Anda rasakan masih jadi ganjalan? (multiple)
Gaji pokok terlalu kecil85%
Tunjangan fungsional terlalu kecil64%
Kenaikan tunjangan yang tidak adil antara tunjangan struktural dan fungsional36%
Banyaknya potongan terhadap gaji 30%
Sistem tunjangan struktural yang tidak adil (terlalu jauh antara guru yang mempunyai jabatan struktural dan yang tidak)29%
Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban
 
Menurut Anda, apakah pemogokan merupakan satu-satunya cara untuk menyampaikan keluhan?
Ya50%
Tidak50%
 
Bila tidak, mengapa Anda menjawab demikian? (multiple)
Merugikan kepentingan murid-murid61%
Masih ada alternatif lain56%
Mogok tidak menyelesaikan masalah39%
Tidak memberikan teladan yang pantas kepada murid38%
Mempermalukan nama guru26%
Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban
 
Bila ya, mengapa Anda menjawab demikian? (multiple)
Tidak ada jalan lain80%
Cara yang paling efektif67%
Solider dengan guru yang lain18%
Guru juga berhak mogok 18%
Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban
 

Metodologi jajak pendapat ini:

  • Jajak pendapat ini dilakukan oleh Majalah TEMPO, bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 506 guru anggota Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di lima wilayah DKI pada 15-19 April 2000. Dengan jumlah responden tersebut, tingkat kesalahan penarikan sampel (sampling error) diperkirakan 5 persen.
  • Penarikan sampel dikerjakan melalui metode acak bertingkat (multi-stages random sampling) dengan unit kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan lewat kombinasi antara wawancara tatap muka dan wawancara melalui telepon.

    MONITOR juga ditayangkan dalam SEPUTAR INDONESIA setiap hari Minggu pukul 18.00 WIB

    Independent Market Research
    Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 5704974

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum