Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para politikus Adalet ve Kalkinma Partisi (Partai Keadilan dan Pembangunan) atau AK Parti bertambah percaya diri setelah kemenangannya yang gemilang di parlemen. Lihatlah, dewan eksekutif partai itu menantang. Senin malam pekan lalu, mereka kembali menetapkan Abdullah Gül, 56 tahun, sebagai kandidat Presiden Turki.
Tiga bulan lalu, usaha menjadikan Gül sebagai presiden gagal total, setelah partai oposisi memboikot sesi pemungutan suara di parlemen. Waktu itu, mahkamah konstitusi menyatakan pemilihan presiden itu tidak sah. Tak memenuhi kuorum, kata pejabat di lembaga itu. Puluhan ribu pendukung sekularisme Turki menggelar demonstrasi menghujat petinggi AK Parti, yang mereka tuduh akan menyulap Turki menjadi seperti Republik Islam Iran.
Tapi AK Parti seakan tak bisa melupakan Gül begitu saja. ”Gül seorang negarawan yang punya pengalaman luas,” kata Murat Mercan, pejabat senior AK Parti, siap mengantar Gül ke Istana Kepresidenan Çankaya. Pendek kata, menurut Mercan: orang terbaik untuk jabatan terbaik. Posisi presiden dalam sistem politik Turki bukan cuma simbol. Presiden berhak memveto perundangan yang dihasilkan parlemen dan membatalkan penunjukan pejabat pemerintah.
Maka Gül tak menunggu lama. Ia segera mendaftarkan diri sebagai calon presiden pada ketua parlemen yang juga dari AK Parti, Köksal Toptan. ”Saya tak dapat menutup mata pada keinginan rakyat. Tuntutan rakyat sudah jelas,” katanya. Ya, kemenangan 46,7 persen suara bagi AK Parti barusan ditafsirkan bagai paspor dari rakyat Turki agar AK Parti mengusung kembali Gül. Di pihak lain, pencalonan kembali Gül diduga merupakan tanda bahwa AK Parti mulai mendapat tekanan dari pendukung ”akar rumput”.
Lalu, apa boleh buat, konflik lama—sekuler lawan religius—pun muncul kembali. Partai Republik Rakyat (CHP) yang beroposisi, partai kedua terbesar di parlemen—setelah AK Parti—berjanji akan kembali menggunakan jurus boikot untuk menjegal Gül. Sebab, meski AK Parti mayoritas di parlemen, suaranya tidak cukup mencapai kuorum dua pertiga sebagai syarat sahnya pemilihan presiden. Di mata Ketua CHP Deniz Baykal, ”Jika Gül terpilih, keseimbangan politik Turki akan berubah. Turki akan menjadi negara agama dengan identitas Timur Tengah.”
Politik identitas sedang marak di Turki. Partai oposisi dan militer menolak pencalonan Gül karena sang istri, Hayrünisa, mengenakan kerudung—yang menurut kaum sekuler merupakan simbol politik Islam. Undang-undang juga mengharamkan perempuan berkerudung berada di gedung-gedung pemerintah, termasuk istana presiden, dan universitas. Tapi Gül menganggap kerudung sebagai pilihan pribadi istrinya. ”Saya yang akan menjadi presiden, bukan dia,” kata Gül.
Kini Baykal tidak lagi mempersoalkan kerudung yang menutup kepala Hayrünisa. Ia justru mempermasalahkan niat yang bersembunyi di kepala Gül. Baykal menggambarkan Gül sebagai seorang militan yang telah lama mengingkari sekularisme sebagai nilai dasar Republik Turki. ”Dia (Gül) adalah ideolog partai, dan ideologinya bermasalah dengan garis republik (sekularisme) ini,” ujar Baykal. Sehingga, kata Mustafa Ozyurek, Wakil Ketua CHP, pemilihan presiden itu hanya akan mempercepat Turki menjadi negara agama. ”Jadi kami merasa tak perlu mendatangi pemungutan suara parlemen,” katanya. CHP meminta AK Parti memilih calon lain. Baykal juga mengancam tak akan menghadiri acara kenegaraan di Istana Kepresidenan Çankaya jika Gül terpilih sebagai presiden.
Tapi gerakan partai oposisi CHP menghadang Gül diduga tak lagi seampuh ketika berhasil menjegal pemilihan presiden Mei lalu. Kini Gül bergerak cepat, menggunakan kemampuan diplomasinya seperti waktu ia menjabat menteri luar negeri. Ia menemui pemimpin partai lain untuk membujuk mereka datang ke gedung parlemen dalam pemilihan presiden. Gül menemui pemimpin Partai Aksi Nasional (MHP), Devlet Bahçeli, pemimpin Partai Persatuan Agung (BBP), Muhsin Yazicioglu, dan pemimpin Partai Kiri Demokratik (DSP), Zeki Sezer. Gül tentu datang tidak dengan tangan kosong. ”Jika saya terpilih, konstitusi akan menjadi panduan saya. Sekularisme adalah salah satu prinsip dasar konstitusi, dan saya akan melindunginya,” ujar Gül.
Hasilnya, partai oposisi terbesar kedua, MHP, berjanji akan datang pada pemilihan presiden dengan 70 anggota parlemennya. Artinya, pemilihan presiden putaran pertama, yang rencananya diselenggarakan Senin pekan ini, bakal memenuhi persyaratan kuorum (367 suara dari 550 anggota parlemen)—meski 93 anggota parlemen CHP memboikot pemilihan. Jika dulu Gül gagal memperoleh minimal 367 suara pada putaran pertama dan kedua karena hanya didukung 341 suara partainya, pada putaran ketiga ini Gül akan melenggang sebagai pemenang. Pada putaran ketiga, rencananya 28 Agustus mendatang, Gül hanya membutuhkan 276 suara.
Tapi partai oposisi CHP tak tinggal diam. Pemimpinnya, Deniz Baykal, berusaha menyeret militer lebih dalam ke pusaran konflik dengan AK Parti. ”Politikus seharusnya menahan diri dari upaya membuat Angkatan Bersenjata Turki sebagai kambing hitam,” katanya. Sikap Baykal yang menggelendot pada militer ini memang khas kebanyakan politikus sipil Turki. Padahal militer yang dianggap sebagai pengawal sekularisme berkali-kali mendepak politikus sipil dari pemerintahan lewat kudeta. Bahkan militer dinilai ”mengkudeta” pencalonan Gül pada pemilihan presiden Mei lalu lewat pernyataan di Internet. ”Kami berharap seseorang yang loyal pada prinsip republik—tak hanya di mulut, tapi pada tindakannya—adalah presiden terpilih,” ujar Kepala Staf Gabungan militer Turki Jenderal Yasar Büyükanit saat itu.
Tak aneh, Perdana Menteri Erdogan buru-buru memperingatkan militer agar tidak campur tangan. ”Jika ada yang melakukan lagi kejahatan terhadap demokrasi, itu akan berakibat serius terhadap ekonomi,” ujarnya. Menurut Erdogan, keinginan rakyat yang ditunjukkan lewat hasil pemilu parlemen kemarin harus dihormati.
Sikap Erdogan didukung Uni Eropa, yang sedang menilai permintaan Turki menjadi anggota. Menurut pemimpin kelompok Liberal dalam Parlemen Eropa, Graham Watson, Erdogan memperoleh mandat sangat kuat dari rakyat Turki, yang seharusnya dihormati oleh militer dan CHP. Sedangkan wakil ketua kelompok sosialis dalam Parlemen Eropa, Hannes Swoboda, menyatakan presiden mendatang tidak bergantung pada militer, tapi pada sistem politik dan partai politik Turki. Watson mendukung pencalonan kembali Gül sebagai presiden. ”Gül akan menjadi presiden yang hebat,” ujar Watson.
Kini militer Turki belum menunjukkan sikap jelas atas pencalonan kembali Gül. Sikap para jenderal akan terlihat saat perayaan hari nasional Republik Turki di Istana Kepresidenan Çankaya pada 29 Oktober mendatang, saat Gül dan istrinya yang berkerudung sudah menghuni istana. Jika Jenderal Büyükanit tidak datang dan mengirimkan wakilnya, itu berarti militer tidak merestui Gül. Menurut analis politik, militer memang tak akan melakukan kudeta, tapi penolakan militer terhadap Gül secara tersamar sekalipun akan merusak stabilitas politik.
Raihul Fadjri (Turkish Daily News, Zaman, BBC, Reuters)
Abdullah Gül Gül, kini 56 tahun, seorang politikus andal. Pintar berbahasa Inggris dan Arab. Perannya sebagai menteri luar negeri merupakan sukses besar. Pernah memimpin partai dan menjadi anggota parlemen. Tapi masa lalunya membuat cemas para petinggi militer dan pendukung sekularisme. Ia akrab dan teman satu partai dengan Erdogan. Dan Erdogan pernah ”berdosa”—ia membacakan puisi yang islami di sebuah demonstrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo