Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bergandeng Tangan dengan Pasar

Sejumlah perguruan tinggi negeri membuka program studi dan fakultas baru. Beradaptasi dengan kebutuhan pasar dan masyarakat.

20 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awal semester ini, Mayang punya keputusan yang tak bisa ditawar. Mahasiswa semester VII Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB) itu bertekad mulai menggarap skripsi, segera lulus kuliah, dan cepat bekerja. Gadis 20 tahun ini menggantung mimpi bergabung dengan perusahaan multinasional.

Optimisme Mayang bukan tanpa alasan. Jurusan yang ditekuninya, yakni mikrobiologi, sedang dibutuhkan kalangan industri, dan ahli di bidang itu masih terbilang langka di Indonesia. Mayang merujuk pula prediksi Jobs DB Indonesia—perusahaan penyedia informasi lowongan kerja—tentang pekerjaan yang bakal menjadi primadona lima tahun mendatang.

Direktur Pelaksana Jobs DB, Eddy S. Tjahja, mengatakan bahwa salah satu tenaga kerja yang dilirik adalah profesional di bidang riset dan pengembangan, terutama teknologi pangan dan elektronik. ”Kemampuan yang diinginkan, terutama quality control di industri makanan, minuman, perminyakan, dan farmasi, adalah sebagian dari yang kami pelajari,” ujar Mayang.

Mayang hanya satu di antara ratusan mahasiswa yang memburu fakultas atau jurusan baru yang bermunculan dalam tiga tahun terakhir. Mereka memang menawarkan sesuatu yang lain dibanding fakultas atau jurusan yang jamak dijumpai di banyak perguruan tinggi. Pada umumnya, fakultas atau jurusan baru ini langsung nyambung dengan kebutuhan dunia kerja.

Maklumlah, selama beberapa tahun terakhir, jumlah pengangguran terdidik terus meningkat. Tahun lalu, misalnya, diperkirakan ada 670 ribu sarjana dan lulusan program diploma yang menganggur. Penyebabnya, sebagian besar akibat tidak adanya korelasi antara kebutuhan dunia kerja dan lulusan perguruan tinggi. Situasi inilah yang agaknya hendak diubah oleh pengelola fakultas atau jurusan baru itu.

Tak mengherankan jika peminat Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, misalnya, terus meningkat. Sekolah ini dulu hanyalah program pilihan yang ditawarkan Departemen Biologi kepada mahasiswa ketika menempuh tugas akhir alias skripsi. Pada waktu itu Departemen Biologi masih di bawah Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA).

Lantaran permintaan pasar meningkat, dan mereka punya banyak ahli mikrobiologi, pada 2004 diputuskan membuka program studi mikrobiologi. ”Padahal waktu itu kami tak yakin bakal laku,” kata Intan Ahmad, Dekan Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB.

Ternyata animo masyarakat lumayan tinggi. Dalam dua tahun terakhir, peminat program studi ini bahkan melebihi pendaftar di Departemen Biologi. Perubahan itu berdampak luar biasa, memicu program studi ini berdiri sendiri dan mengubah statusnya menjadi setingkat fakultas. Sejak Januari 2006, resmilah mereka lepas dari Fakultas MIPA dan menjadi Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH).

Hal yang sama juga dialami Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Dekan Hardinsyah mengatakan, FEMA adalah satu-satunya fakultas di Indonesia yang mempelajari interaksi manusia dengan lingkungan, dan sebaliknya. ”Selama ini, di beberapa perguruan tinggi, ekologi manusia hanya mata kuliah yang diajarkan di fakultas pertanian,” ujarnya.

Cikal bakal fakultas ini adalah gabungan beberapa departemen. Misalnya Departemen Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga yang tadinya merupakan bagian dari Fakultas Pertanian. Juga program studi penyuluhan dan komunikasi pertanian yang menjadi bagian dari Departemen Sosial dan Ekonomi Fakultas Pertanian IPB. ”Kami menyatukan tiga departemen, yaitu gizi masyarakat, ilmu keluarga dan konsumen, serta komunikasi dan pengembangan masyarakat menjadi FEMA,” tutur Hardiansyah.

Meski tergolong baru, FEMA telah mendulang peminat yang lumayan. Tahun lalu jumlah peminat masuk ke fakultas ini menduduki peringkat keempat dari jumlah mahasiswa yang masuk ke IPB. Pada tahun ajaran 2007, jumlah peminat meloncat ke urutan kedua. ”Dari 12 ribu calon mahasiswa yang ikut seleksi resmi tanpa tes, sekitar 980 berminat masuk fakultas ini,” ujarnya. Padahal fakultas ini hanya mampu menyediakan 70 kursi untuk tiap program studi yang ditawarkan.

Juru bicara Departemen Pendidikan Nasional Bambang Wasito Adi mengatakan, pembukaan jurusan dan program studi baru di berbagai perguruan tinggi tak lepas dari status baru mereka sebagai badan hukum milik negara (BHMN). Merujuk Peraturan Pemerintah No. 154/2000, status ini memungkinkan mereka membentuk program studi, departemen, dan fakultas baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat. ”Jika tak mau mengubah diri, ya, bisa ditinggal,” ujarnya.

Institut Teknologi Bandung, misalnya, yang sudah menjadi BHMN pada 2003, memutuskan di lembaga itu tak ada lagi jurusan atau departemen. Yang tinggal adalah fakultas dan sekolah, semua langsung dibawahkan dekan. ”Sejalan dengan mimpi ITB menjadi universitas riset dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” ujarnya.

Program yang ingin dijadikan unggulan Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati adalah bioteknologi. Pengembangan bioteknologi, menurut Intan, bisa mengubah citra bahwa lulusan jurusan biologi tak cuma menjadi guru atau dosen, tapi cikal bakal ahli biologi modern. ”Kita membuat program yang bermanfaat bagi masyarakat, terutama menjawab krisis energi yang dialami masyarakat. Tak sekadar science for science,” katanya.

Hal yang dipelajari, misalnya, bagaimana mengelola sumber daya hayati dan lingkungan hidup sebagai bioenergi alternatif. Atau bagaimana agar luberan minyak tak mengganggu lingkungan. Singkat kata, kata Intan, sekolahnya menawarkan pendekatan ilmu dasar menjadi ilmu terapan, sehingga bisa dimanfaatkan dan berpotensi komersial.

Seiring dengan itu, pola pembelajaran di kampus pun tak lagi sekadar teori, tapi mengutamakan pengalaman riset. Program yang ditawarkan tak hanya jenjang S1 tapi juga S2 dan S3. Di jenjang S1 ada dua program: biologi dan mikrobiologi. Untuk jenjang magister ada mikrobiologi, bioteknologi, dan pengelolaan sumber daya hayati.

Tahun depan jenjang S1 akan menawarkan program baru: bioengineering. Di situ akan dipelajari gabungan prinsip engineering dengan biologi. ”Misalnya bagaimana proses pembuatan energi alternatif yang berbasis bio. Dari tanaman apa saja dan bagaimana pengolahannya jadi bahan bakar. Kami sedang membahasnya,” kata Intan.

Intan optimistis akan masa depan sekolah yang diasuhnya. Tahun lalu kampusnya memperoleh hibah kompetensi dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Nilainya sekitar Rp 1,5 miliar untuk tiga tahun.

Kendati kecil, menurut Intan, bantuan itu lumayan menopang riset yang dilakukan mahasiswanya. SITH juga beruntung mendapat jatah Presidential Scholarship Fund, sehingga bisa menyekolahkan stafnya ke jenjang S2 dan S3 di luar negeri. Belum lagi kerja sama dengan beberapa perusahaan multinasional dalam pengembangan riset dan teknologi.

Dengan jaringan seperti itu, belum lagi lulus, banyak mahasiswa sudah dipesan sejumlah perusahaan industri farmasi, industri pestisida, dan perusahaan penelitian kelapa sawit Malaysia. Juga di perusahaan pertambangan seperti Freeport. ”Lulusan kita siap kerja semuanya,” kata Intan berbangga.

Fakultas Ekologi Manusia IPB juga mengklaim hal yang sama. Menurut Hardinsyah, fakultas ini tidak hanya mencetak ahli gizi masyarakat, tapi juga ahli pemberdayaan masyarakat. Kehadiran mereka dibutuhkan di tengah kemiskinan dan rentannya ketahanan pangan masyarakat. ”Kita butuh banyak ahli gizi dan mereka yang pandai dalam melakukan proses pemberdayaan masyarakat,” ujarnya.

Lahan karya lulusan FEMA tersedia luas karena banyak perusahaan, termasuk perusahaan milik negara, biasanya menyisihkan sebagian keuntungannya untuk kegiatan pengembangan masyarakat. Ada pula perusahaan yang melakukan kegiatan filantropi sebagai wujud dari tanggung jawab sosialnya. Pendek kata, perguruan tinggi tak ingin lagi mencetak pengangguran terdidik.

Widiarsi Agustina, Ahmad Fikri dan Erick Priberkah Hardi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus