Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bassem Hadaida memilih tinggal di rumah selama Ramadan ini. Bukan lantaran dia yang berstatus sebagai pegawai negeri itu tak kuat bekerja di saat puasa, tapi dia memang mogok kerja. Hadaida bergabung dengan sekitar 10 ribu rekannya memprotes pemerintah yang tidak mampu lagi membayar gaji mereka selama enam bulan terakhir.
Pemerintahan Palestina di bawah Hamas memang sedang menghadapi krisis keuangan, yang entah kapan akan berakhir. Kelompok yang menang dalam pemilihan umum Palestina, akhir Januari lalu, itu dicap sebagai organisasi teroris oleh Barat dan Israel. Dampaknya, negara-negara donor dan Israel menghentikan bantuan dan jatah pendapatan Palestina dari pajak. Tapi, tekanan dari luar itu bukan satu-satunya musibah. Ketidakharmonisan hubungan Hamas dengan Fatah juga menjadi pengganjal besar terhadap menggelindingnya pemerintahan Palestina.
Namun, secercah harapan berpendar, Senin silam. Presiden Mahmud Abbas yang Fatah dengan Perdana Menteri Ismail Haniyah yang Hamas setuju membentuk pemerintahan nasional bersama. ”Kepentingan nasional menuntut kami bersatu demi mendirikan negara Palestina yang independen,” kata Abbas. Haniyah menyebut kesepakatan ini sebagai ”berita bagus bagi rakyat Palestina dan saya sangat bangga”.
Dalam pemerintahan bersama itu tercantum basis politik pembentukan Negara Palestina di Tepi Barat dan Gaza, antara lain dengan menerima semua resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Palestina dan Israel, dan mengakui keberadaan negara Israel. Langkah pertama yang akan ditempuh adalah membubarkan kabinet Hamas dan membentuk versi baru gabungan dua kekuatan politik itu.
Kesepakatan ini, bagaimanapun, adalah prestasi, karena sebelum sampai pada titik ini, pucuk-pucuk pimpinan Hamas dan Fatah telah bernegosiasi berbulan-bulan melalui banyak rintangan. Seperti ancaman perang sipil pascakemenangan Hamas akibat terjadinya konflik kekerasan antara kelompok Hamas dengan Fatah. Lalu, kondisi hidup warga Gaza dan Tepi Barat yang makin memburuk—sekitar 75 persen hidup rakyat Palestina tergantung pada bantuan asing—ditambah tekanan dan serangan tentara Israel di daerah pendudukan.
Apakah kesepakatan pemerintahan bersama itu akan berjalan mulus? Bisa dipastikan tidak. Sehari setelah kesepakatan Abbas dan Haniyah, pihak Hamas bereaksi. Menteri Luar Negeri Palestina Mahmud Zahhar menyatakan, sikap pemerintah Palestina terhadap Israel tidak berubah. Pihak Fatah pun langsung menimpali. Juru bicaranya, Fahmi Zaarir, mengatakan bahwa pernyataan pihak Hamas sangat merugikan rakyat Palestina. ”Apakah mereka tidak memikirkan persoalan sebenarnya rakyat Palestina, yang sekarang dalam kondisi sangat sulit?” kata Zaarir.
Kekacauan seperti ini sebenarnya sudah bisa diprediksi. Tidak mungkin Hamas yang di dalamnya terdapat sayap keras seperti Al-Quds dengan begitu saja menerima negara Israel. Tapi, bukannya tidak mungkin, kesepakatan membentuk pemerintahan bersama ini merupakan awal dari kebaikan selanjutnya. Seperti kata Saeb Erekat, seorang pejabat Palestina yang dekat dengan Abbas, yang terpenting adalah memerinci apa saja yang bisa masuk dalam kesepakatan pemerintah bersama, sehingga bisa diterima komunitas internasional, terutama Kuartet (PBB, AS, Uni Eropa, dan Rusia).
Keadaannya memang tidak mudah, bahkan mustahil. Deutsche Welle mengumpamakan ini ”bagai memasukkan unta ke dalam lubang jarum”. Betapapun, kesepakatan bersama Hamas-Fatah tetap merupakan langkah maju: kedua kelompok telah mencapai titik temu pertama. Yang perlu dicari adalah titik-titik temu berikutnya.
Andari Karina Anom (Aljazeera, The Economist, AP, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo