Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuh tahun menyepi ke Jerman, Baharuddin Jusuf Habibie pulang dengan satu kejutan besar. Dua pekan lalu mantan presiden itu meluncurkan buku berjudul Detik-detik yang Menentukan. Isinya bercerita tentang drama pergantian kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Habibie pada 21 Mei 1998. Habibie juga berkisah tentang pasukan Komando Strategis Angkatan Darat, Kostrad, yang disebut-sebut bergerak di luar kendali Panglima ABRI—yang ketika itu dijabat Jenderal Wiranto
Inilah alasan Habibie mencopot Letnan Jenderal Prabowo Subianto dari posisi Panglima Kostrad—menurut versi buku itu. Habibie menguak kisah genting di lingkaran dalam Istana selama hari-hari pertama kekuasaannya.
Bara meletik ke udara begitu buku dilepas ke publik. Polemik muncul, ditayangkan oleh media massa dengan meriah. Prabowo mendesak Habibie segera merevisi buku itu. ”Saya panglima 34 batalion. Kalau saya punya niat (kudeta), mengapa tidak saya lakukan?” ujarnya di hadapan sejumlah wartawan di Jakarta, pekan lalu. Tapi Habibie menampiknya. Karena, ”Tulisan itu berdasarkan catatan yang saya miliki,” ujar mantan presiden itu dengan gagah. Sang penulis bahkan mempersilakan para jenderal lain bicara.
Tempo mengontak sejumlah jenderal meminta kesaksian mereka terhadap peristiwa 21 Mei. Ada yang terbuka. Ada yang tutup mulut. Letnan Jenderal (Purn.) Sintong Panjaitan, bekas ajudan Habibie, masuk kelompok terakhir. Dia bilang: ”Nantilah, saya tulis buku yang tidak bisa dibantah.”
Wiranto, satu tokoh sentral di latar politik Indonesia pasca-Soeharto, belum sudi berkomentar. Melalui kawan dekatnya, Letnan Jenderal Suady Marasabessy, dia menjawab Tempo begini: ”Saya tidak mau menyudutkan orang. Ini bulan puasa.”
”Catatan” yang disebut Habibie sebagai fondasi tulisannya berawal pada 21 Mei 1998. Hari itu dia naik ke kursi presiden menggantikan Soeharto.
Habibie bergerak cepat. Pada malam hari itu, dibantu enam orang dekatnya, dia menyusun kabinet. Semuanya lancar kecuali satu: mengisi kursi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Sejumlah nama beredar di dalam rapat. Jenderal Subagyo Hadisiswoyo, yang saat itu menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Letnan Jenderal A.M. Hendropriyono, serta Letnan Jenderal Junus Yosfiah. Tapi Habibie tak kunjung memilih.
Sumber di lingkaran dalam Istana menuturkan kepada Tempo betapa Habibie terlihat bimbang. ”Pagi ada keputusan, siang diubah lagi dan malam diganti,” kata sumber ini. Hingga rapat ditutup pukul dua pagi, 22 Mei 1998, nama panglima belum putus.
Keputusan terbit esok paginya. Habibie menetapkan Jenderal Wiranto, Panglima ABRI dalam kabinet Soeharto, untuk mengisi pos penting itu. ”Kesan saya, Wiranto itu jujur dan memiliki nilai moral serta agama yang tinggi,” Habibie memberi alasan. Sekitar pukul enam pagi dia menyampaikan keputusan itu kepada Wiranto lewat telepon.
Habibie lega, walau suasana Jakarta masih tegang. Ribuan mahasiswa terus memadati gedung DPR RI di Senayan. Mereka terbelah antara mendukung Habibie dan menuntut sidang istimewa.
Habibie bersiap meluncur ke Istana Negara untuk mengumumkan susunan kabinet, ketika Sintong Panjaitan masuk ke ruang kerjanya pada pukul 07.30 WIB. Dia meminta Presiden menerima Komandan Kopassus Mayor Jenderal Muchdi Purwopranjono dan Mayor Jenderal Kivlan Zen. Dua orang ini membawa surat dari Letnan Jenderal Prabowo Subianto dan Jenderal Besar Abdul Haris Nasution.
Habibie memerintahkan Sintong keluar untuk menerima surat-surat itu. Sesaat lewat, dia masuk lagi, dan menyarankan agar Habibie menerima sendiri surat-surat itu. Di depan pintu kantor, Habibie menampa surat itu, lalu membacanya. Surat Jenderal Besar Nasution menyarankan agar Subagyo diangkat menjadi Panglima ABRI dan Prabowo diangkat menjadi KSAD.
Kivlan Zen menuturkan kepada Tempo, surat itu dibikin pagi harinya. Sekitar pukul tiga pagi 22 Mei 1998, Prabowo memerintahkannya menghadap Nasution. Pesannya singkat: meminta Jenderal Besar menyurati Habibie. Isinya agar Subagyo dijadikan Panglima ABRI. Kivlan mengaku bahwa usulan Prabowo menjadi KSAD adalah inisiatifnya sendiri dan bukan dari Prabowo.
Setelah Habibie membaca surat itu, Muchdi dan Kivlan meminta petunjuk. Habibie menjawab singkat, ”Saya sudah baca.” Dua jenderal itu lagi-lagi berkata: ”Mohon petunjuk.” Jawaban Habibie tetap sama. ”Sudah saya baca,” lalu ia masuk ke ruang kerjanya.
Pukul sembilan pagi Presiden Habibie beranjak ke Istana. Terlihat pasukan tentara ada di mana-mana, lengkap dengan tank. Habibie masuk Istana dari pintu sebelah barat.
Dalam bukunya Habibie menuturkan, di depan tangga Istana, Wiranto sudah menunggu. Panglima ABRI minta bertemu empat mata. Habibie mempersilakan dia. Wiranto lalu melaporkan bahwa pasukan Kostrad dari luar Jakarta bergerak ke Ibu Kota. Ada konsentrasi pasukan di kediaman Habibie di Kuningan, Jakarta Selatan, dan di depan Istana Merdeka.
Habibie berkesimpulan bahwa Pangkostrad bergerak sendiri tanpa sepengetahuan Panglima ABRI. Dia segera memberi perintah, ”Sebelum matahari terbenam, Pangkostrad sudah harus diganti. Semua pasukan di bawah komandonya kembali ke kesatuan masing-masing.” Wiranto terkejut dan bertanya siapa penggantinya. ”Terserah Pangab,” jawab Habibie.
Di Istana pagi itu sudah tumplek wartawan dalam dan luar negeri menantikan pengumuman kabinet, yang molor beberapa jam. Rumor seram pun berembus. Antara lain, Habibie dikabarkan gagal menyusun kabinet. Keraguan itu sirna begitu Habibie mengumumkan kabinetnya. Presiden langsung berkantor dan menerima sejumlah menteri.
Ketika ia tengah bersama beberapa menteri, Wiranto menelepon. Panglima ABRI mengusulkan Pangdam Siliwangi, Mayor Jenderal Djamari Chaniago, sebagai Pangkostrad. Tapi Djamari baru bisa dilantik esok harinya. Karena Prabowo sudah dicopot dan sebelum matahari terbenam Pangkostrad baru harus sudah terpilih, Wiranto mengusulkan Letnan Jenderal Johny Lumintang, Asisten Operasi Pangab, sebagai Pangkostrad sementara. Habibie setuju.
Menurut Subagyo, sesudah pengumuman kabinet itu Pangab memerintahkan mencopot Pangkostrad dan Komandan Kopassus hari itu juga. Serah-terima jabatan dilakukan pukul tiga sore. Repotnya, menjelang upacara serah-terima, Prabowo belum terlihat. Sejumlah informasi menyebutkan, kata Subagyo, Prabowo sedang di Istana. ”Saya tidak tahu apa yang ia lakukan di sana,” ujarnya kepada Tempo.
Sementara itu, seorang ajudan melaporkan kepada Presiden bahwa Prabowo Subianto mau bertemu. Habibie sempat bingung, apa perlu menerima Prabowo dalam situasi seperti itu. Dalam bukunya tergambar jelas bahwa Habibie bergelut cemas.
Tapi Habibie akhirnya memutuskan menerima Prabowo sesudah makan siang di ruang tamu Wisma Negara. Empat ajudan Habibie bersiaga di sudut ruangan. Thareq, putra Habibie, hadir dalam pertemuan itu. Melihat Prabowo tidak bersenjata, Habibie puas.
Habibie menulis, saat itu Prabowo berbicara dalam Inggris:
+ ”Ini suatu penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya. Anda telah memecat saya sebagai Pangkostrad.”
- Habibie menjawab, ”Anda tidak dipecat, tapi diganti.” Habibie menjelaskan alasan pergantian itu karena ada laporan dari Panglima ABRI soal pasukan Kostrad yang bergerak menuju Jakarta.
+ ”Saya bermaksud mengamankan Presiden,” jawab Prabowo.
- Habibie menukas, ”Itu tanggung jawab Pasukan Pengaman Presiden yang bertanggung jawab langsung ke Panglima ABRI, bukan tugas Anda.”
+ ”Presiden apa Anda ini? Anda naif,” jawab Prabowo dengan nada marah.
- ”Masa bodoh. Saya presiden dan harus membereskan keadaan bangsa,” jawab Habibie.
Atas nama ayah dan mertuanya, Prabowo meminta Habibie agar ia tetap menguasai pasukan selama tiga bulan. Habibie menolak. Prabowo menurunkan permintaannya menjadi tiga minggu, tapi Habibie berkukuh menampiknya.
Di tengah perdebatan sengit itu, Sintong Panjaitan masuk dan bilang:
+ ”Jenderal, Bapak Presiden tidak punya waktu banyak. Harap segera meninggalkan ruangan.”
- Habibie mencegahnya: ”Sebentar,” ujarnya.
Prabowo meminta tempo untuk bicara lewat telepon dengan Wiranto. Habibie setuju. Seorang ajudan menelepon Wiranto, tapi tak bersambung. Untuk kedua kalinya Sintong masuk mengingatkan soal kesibukan Presiden. Habibie memeluk Prabowo dan menitipkan salam untuk ayah dan mertuanya.
Pertemuan ditutup.
Kisah dari delapan tahun lampau itulah yang kini menjadi polemik. Prabowo tampil di sejumlah media membantah telah mengerahkan pasukan di luar kendali Panglima ABRI—seperti yang ditulis di buku Habibie. Kata Prabowo, saat itu semua pasukan di Jakarta dikendalikan Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin.
Sjafrie, yang kini menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan dan Keamanan, membenarkan hal itu. Tanggal 14 Mei 1998, kata Sjafrie, Panglima ABRI memberi mandat mengambil alih komando pasukan di Jakarta. Pasukan yang datang dari berbagai daerah juga datang atas permintaan dia. Jadi, ”Kalau ada pasukan yang tidak terkendali, dari mana datangnya?” dia menambahkan.
Beberapa jenderal dari lingkar dalam peristiwa 21 Mei telah membuka suara kepada Tempo. Dan mereka tidak sendirian. Jika tak ada aral, Selasa pekan ini sejumlah tokoh juga akan memberikan kesaksian versi mereka di Jakarta. Di antaranya Dien Syamsuddin, Fadli Zon, dan Muchdi.
Bara dari buku Habibie tampaknya akan membangunkan banyak saksi sejarah dari tidur panjang.
Wenseslaus Manggut, Kurie Suditomo, Wahyu Dyatmika, Edo Poernomo
16 Jam Sebelumnya...
Bukan Rabu biasa. Dalam beberapa jam, berbagai kejadian penting berlangsung pada 20 Mei 1998. Sebagian menteri menolak menjabat kembali. Soeharto menyatakan akan mundur sebagai presiden. Wakil Soeharto, Habibie, harus menjadi presiden. Inilah beberapa nukilan peristiwa sepanjang 16 jam sebelum pelantikan Habibie.
Sekitar Pukul 17.00 Ginandjar Kartasasmita menelepon. Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri itu mengabarkan dia dan 14 menteri di bawahnya menolak duduk kembali dalam Kabinet Reformasi yang sedang digodok.
Sekitar Pukul 19.30 Habibie bertemu Soeharto di Cendana. Usai memutuskan nama para menteri Kabinet Reformasi, Soeharto membeber agendanya: Kamis, 21 Mei, susunan kabinet diumumkan; Jumat dilantik; Sabtu ia mengundurkan diri sebagai presiden; dan Habibie akan melanjutkan tugasnya.
Dalam perjalanan pulang, Habibie mengundang rapat empat menteri koordinator dan semua menteri di bawah koordinasi Ginandjar pada pukul 22.00 WIB.
Sekitar Pukul 21.45 Habibie mengungkapkan kepada para menteri bahwa Kabinet Reformasi sudah terbentuk. Ia juga mengabarkan rencana Soeharto untuk lengser pada Sabtu dan meminta beberapa menteri yang telah menyatakan mundur agar bertahan.
Sekitar Pukul 22.45 Habibie menghubungi Presiden di tengah rapat, namun ditolak. Melalui Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursyid, Presiden justru menyampaikan keputusan bahwa ia akan mundur lebih cepat: besok, pukul 10.00 pagi.
Sekitar Pukul 01.00 Habibie mencoba tidur, namun memutuskan kembali ke kamar kerja hingga pukul 04.00. ”Saya menutup bantal dan guling dengan selimut, untuk memberi kesan (kepada istri) seakan-akan saya berbaring di bawah selimut tersebut.”
Sekitar Pukul 06.50 Habibie bertemu Panglima ABRI Jenderal Wiranto. Pada pertemuan yang berlangsung hingga pukul 07.25, Wiranto menyatakan telah menerima instruksi presiden yang ditandatangani Soeharto untuk bertindak demi keamanan dan stabilitas negara jika keadaan tak terkendali.
Sekitar Pukul 08.30 Habibie berangkat ke Istana Merdeka. Niat untuk bertemu lebih dulu dengan Soeharto di Cendana gagal karena Soeharto menolak.
Pukul 09.10 Habibie dilantik menjadi presiden.
Sumber: Detik-detik yang Menentukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo