SESUATU yang tak biasa berlangsung di Semenanjung Arab, Selasa pekan lalu. Yakni, pemilu multi partai di negara Yaman untuk menentukan parlemen yang terdiri dari 301 kursi. Inilah pelaksanaan janji tiga tahun lalu, ketika Yaman Selatan dan Utara bersatu: membentuk sebuah negara demokrasi dengan sistem politik multipartai, dan yang menjamin kebebasan pers. Dari segi itu, orang Yaman memang pantas membanggakan diri di antara negara-negara Arab lainnya. Kata Menteri Luar Negeri Abdul Karim Iryani, ''Ini pemilihan multipartai pertama sepanjang sejarah Semenanjung Arab.'' Dan ia sama sekali tidak bohong. Dari negara yang tak mengenal banyak partai politik, pemilu pekan lalu diikuti oleh 40 partai, menawarkan sekitar 3.500 calon anggota parlemen 49 di antaranya wanita. Bila hasil pemilu tak memuaskan sekitar 12 juta rakyat, itu soal lain. Kongres Rakyat Umum, partai yang dipimpin Presiden Ali Abdullah Saleh, dalam penghitungan sementara akhir pekan lalu sudah memperoleh 112 kursi. Saingan terdekatnya, Persatuan Reformasi Yaman, yang disebut-sebut sebagai partai Islam fundamentalis, meraih 47 kursi. Sedangkan Partai Sosialis Yaman, satu-satunya partai yang pernah hidup di bekas Yaman Selatan, merebut 40 kursi. Sisa kursi dibagi 37 partai gurem lain. Maka, kata orang Yaman, pemerintah yang lama juga yang menang. Dalam pemerintahan transisi memang koalisi dua partai itu yang berkuasa: Kongres Rakyat Umum dan Partai Sosialis Yaman. Bisa dimaklumi bila kampanye menjelang pemilu pun dikuasai oleh kedua partai itu. Memang benar ada kebebasan pers, tapi apa artinya surat kabar bila sekitar 60% penduduk Yaman buta huruf. Maka, radio dan televisi yang dikuasai pemerintah lebih berfungsi. Dan ini dimanfaatkan betul oleh kedua partai itu dalam berkampanye, untuk mempengaruhi rakyat Yaman yang masih merasa ada warga Utara dan ada warga Selatan. Warga bekas Yaman Utara, negeri republik yang menjalin hubungan dengan Timur dan Barat, tak suka dengan orang bekas Yaman Selatan, negeri komunis, yang dianggapnya ateis. Suasana sosial dan sistem politik Yaman Utara memang lebih dekat dengan negeri-negeri Arab: Islam dan feodalistis. Di Selatan, meski Islam tetap dibiarkan ada, politiknya sangat berbau sosialis. Kelebihan di Selatan, wanita lebih bebas yang memungkinkan munculnya 49 calon anggota parlemen wanita. Kelemahannya, sekitar 3 juta penduduknya terbiasa dengan sistem sentralistis, lemah secara ekonomi. Sejak tahun 1967, Yaman Selatan sama sekali menggantungkan bantuan dari Uni Soviet, yang rata-rata per tahun mencapai US$ 50 juta. Di Utara, pemimpin suku mendapat hak khusus untuk duduk di Dewan Konsultasi hak yang harus ditanggalkan setelah Yaman bersatu. Kelebihannya, sekitar 9 juta warganya menikmati tingkat ekonomi yang relatif lebih makmur daripada orang Selatan, lebih bisa berniaga. Inilah mengapa setelah Yaman bersatu, banyak orang bekas warga Utaralah yang membuka berbagai usaha di bekas Yaman Selatan, yang menimbulkan iri di kalangan bekas warga Selatan. Toh, negeri Yaman Utara, yang sumber minyaknya menghasilkan devisa sekitar US$ 800 juta per tahun, anggarannya tetap mengalami defisit rata-rata US$ 500 juta. Dan entah mengapa Yaman Utara pernah melakukan kesalahan kebijaksanaan pertanian yang menentukan. Pertanian kapas dan buah-buahan, plus sayur-sayuran yang laku, suatu ketika dibah menjadi pertanian qat, sejenis tanaman yang mengandung narkotik, yang digemari orang Yaman tapi sama sekali tak punya nilai ekspor. Maka, setelah bersatu selama tiga tahun, yang tampak bertambah besar selain wilayah dan penduduknya adalah utang luar negerinya: US$ 7,3 miliar. Juga naik adalah angka pengangguran dan harga kebutuhan sehari-hari. Masalah lain adalah Persatuan Reformasi Yaman, yang dalam pemilu pekan lalu menduduki peringkat kedua. Partai ini, seperti sudah disebutkan disebut-sebut sebagai partai Islam fundamentalis berniat memperjuangkan pelaksanaan hukum Islam di Yaman. Para anggota Persatuan Reformasi Yaman ini tak cukup puas dengan hanya undang-undang dasar yang dikatakan berdasarkan syariah Islam. Kata para pengamat, jika koalisi Kongres Rakyat Umum dan Partai Sosialis tak cukup kuat, Persatuan Reformasi punya kesempatan menggalang kekuatan. Yang dikhawatiran para pengamat Yaman, ini akan menyulut lahirnya oposisi militan seperti di Aljazair, yang membuka peluang munculnya konflik setiap saat. Mudah diduga akibatnya bila kemungkinan ini terjadi: reformasi ekonomi akan tersendat -sendat di negeri yang pendapatan per kapitanya (diduga) per kepala meningkat setelah bersatu, yakni sekitar US$ 640. Pada tahun 1989, menurut World Almanac, pendapatan per kepala di Yaman Utara hanya US$ 400 lebih, dan di Selatan US$ 300 lebih. Ancaman lain bagi perkembangan ekonomi Yaman bersatu adalah sulitnya mencari bantuan luar negeri. Dulu negeri ini berharap dinar dari Arab Saudi dan Kuwait. Tapi dua negeri itu kini membelakangi Yaman, bukan karena Yaman bersatu, melainkan karena sikap pemerintah Yaman ketika terjadi Perang Teluk 1991, yang meski mengecam invasi Irak ke Kuwait, juga mengecam kehadiran tentara Sekutu di Arab Saudi. Bila saja Barat konsekuen dengan prinsip membantu negara-negara demokrasi, mungkin Yaman bisa berharap. Bagaimanapun, pemilu pekan lalu di negeri ini maju, dibandingkan dengan Saudi yang anggota parlemennya ditunjuk oleh raja, dan Kuwait yang hak pilih wanitanya diabaikan. LPS dan Djafar Bushiri (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini