PLO memasuki sejarah baru. Setelah hampir 30 tahun berdiri dan selama itu, oleh Israel dan Barat, umumnya dianggap sebagai organisasi teroris, mulai pekan lalu Organisasi Pembebasan Palestina ini dianggap sah mewakili Palestina, meski belum secara langsung. Setidaknya, dua peristiwa pekan lalu menyiratkan hal itu. Yang pertama di Washington, tempat Konferensi Damai Timur Tengah putaran ke-9 dibuka. Pihak Israel bersedia menerima Faisal Husseini, warga Yerusalem Timur yang disebut-sebut menjadi anggota PLO, sebagai salah satu anggota delegasi Palestina. Sebelumnya, Israel selalu mengancam membatalkan perundingan jika Husseini dimasukkan sebagai anggota delegasi. Yang kedua terjadi di Yeriko, kota di perbatasan Tepi Barat dan Yordania. Jumat pekan lalu 15 orang Palestina yang sekitar 20 tahun lalu diusir oleh Israel dibolehkan pulang ke Tepi Barat. Sebagian besar mereka punya kaitan dengan PLO, bahkan tiga di antaranya anggota komite eksekutif PLO. Kata Hanna Naser, satu dari tiga anggota komite eksekutif itu, ketika memasuki Yeriko, ''Ini berarti dunia mulai mengakui PLO ..., bahkan musuh kami (Israel) mulai mengakui PLO mewakili rakyat Palestina ....'' Namun, seandainya anggapan ini benar, tak lalu masalah di pihak Palestina selesai. Belakangan ini organisasi induk berbagai faksi perjuangan Palestina itu dipersoalkan, termasuk ketuanya yang belum pernah diganti: Yasser Arafat. Memang, sejak PLO didirikan tahun 1964, orang Palestina meng anggap itulah wadah bersama perjuangan mereka. Itu antara lain karena ekonomi di Jalur Gaza dan Tepi Barat sebagian besar ditopang oleh PLO antara lain subsidi untuk sekolah, rumah sakit, organisasi massa, dan penerbitan surat kabar. Induk organisasi yang kini bermarkas di Tunis itu pernah mampu mengirimkan dana US$ 120 juta per tahun ke wilayah pendudukan. Masalah muncul ketika terjadi Krisis Teluk, Agustus 1990, dan Yasser Arafat terang-terangan mendukung penyebab krisis: Irak, yang menginvasi dan menduduki Kuwait. Padahal, Kuwait termasuk salah satu negara penyandang dana untuk PLO. Kontan dua negara, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab yang bersimpati terhadap Kuwait, menghentikan bantuannya buat PLO. Ini menyebabkan PLO kehilangan lebih dari separuh bantuan yang diperoleh tiap tahunnya. Dua negara Arab tersebut, plus Kuwait, tiap tahun rata-rata menyumbangkan total hampir US$ 170 juta kepada PLO. Praktis PLO hanya menerima sumbangan dari tiga penyandang dana yang lain: Libya, Aljazair, dan Irak. Jumlahnya sekitar US$ 130 juta. Soal dana makin ciut setelah Irak, yang kalah perang dan menanggung sanksi ekonomi, tak lagi bisa banyak membantu. Padahal, rata-rata anggaran PLO per tahun US$ 200 juta. Menurut Ahmed Korai, Kepala Departemen Ekonomi PLO, anggaran PLO belakangan ini mengalami defisit yang gawat. Ia tak menyebutkan angkanya. Terpaksalah dana untuk wilayah pendudukan diungkret, dan akibatnya sangatlah nyata. Rumah Sakit Makassed yang terkenal paling lengkap di Yerusalem Timur, misalnya, kehilangan 70% dari US$ 1 juta anggarannya. Terpaksalah rumah sakit itu mengurangi karyawannya hal yang juga terjadi di beberapa rumah sakit yang lain. Lalu sejumlah mahasiswa Universitas Bir Zeit terpaksa berhenti kuliah karena tak bisa membayar gara-gara beasiswanya dikurangi, bahkan dicabut. Dan dua pekan lalu, mingguan pro- PLO, Bayader Assiyassi, yang terbit di Yerusalem Timur, mengurangi wartawannya dari 28 orang menjadi hanya 5 orang. Harian Al Sha'ab, yang didirikan tahun 1972, belum lama lalu berhenti terbit. Bisa dimengerti bila dukungan terhadap PLO di wilayah pendudukan terasa surut. Ini tak akan begitu menjadi soal bila kemudian tak ada yang merebut kesempatan ini. Hamas, Haraqah Muqawamah Islamiyah atau Gerakan Perlawanan Islam, organisasi kelompok Islam radikal, yang ketika berdiri kurang mendapat pengikut, kabarnya kini menjadi populer. Memang, popularitas Hamas bukan semata karena surutnya pengaruh PLO di wilayah pendudukan. Satu kreasi Hamas, dan sampai sekarang tetap berjalan, adalah yang disebut intifadah, perlawanan dengan batu, pada akhir tahun 1989. Intifadah ini menarik banyak simpati, bahkan Liga Arab, setahun setelah intifadah meluncur, memutuskan untuk memberikan bantuan kepada gerakan ini sekitar US$ 40 juta. Dan di dalam PLO sendiri terjadi otokritik yang keras. Dalam sidang Dewan Pusat PLO, Mei tahun lalu, anggota dewan bernama Hani al-Hassan menanyakan jumlah simpanan PLO, dan disimpan di mana saja. Pertanyaan yang belum terjawab itu kemudian berkembang mempersoalkan sang ketua, Yasser Arafat. Yakni, bagaimana membedakan pengeluaran uang untuk organisasi dan untuk pribadi, karena sejauh itu yang berhak menandatangani cek rekening bank PLO adalah ketua PLO ketua Al-Fatah, faksi terbesar dalam PLO dan direktur keuangan militer PLO. Tak enaknya, sampai beberapa lama lalu tiga jabatan itu berada di satu tangan: Yasser Arafat. Sementara masalah di dalam ini tampaknya bisa diselesaikan, tak demikian halnya dengan Hamas. Gerakan yang makin banyak pendukungnya ini (diduga lebih dari 40% dari 1,7 juta warga wilayah pendudukan pendukung Hamas) secara politis bertolak belakang dengan kebijaksanaan PLO. Hamas sama sekali tak setuju dengan Konferensi Damai Timur Tengah. Cita-cita Hamas adalah mendirikan negara Palestina di sepenuhnya Tanah Palestina artinya habislah negara Israel. Nanti, seumpama terjadi kesepakatan dalam Konferensi Damai, belum tentu kesepakatan itu didukung sepenuhnya di wilayah pendudukan. Jika kecenderungan sekarang ini berlanjut, sebagian besar warga Palestina justru akan menolaknya, dan lebih suka berdiri di belakang Hamas. Kemungkinan terburuk yang bisa terjadi adalah perang saudara. Di balik sejarah baru PLO, adalah sebuah kemungkinan yang mencemaskan. Diperlukan akomodasi setidaknya dari para pemimpin PLO dan Hamas sayang sekali belum ada tanda-tandanya. DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini