Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kini, gaya christopher

Konferensi damai timur tengah bersuasana baru, as makin terlibat, tapi belum menyentuh resolusi dk-pbb. plo diakui, tapi ada hamas.

8 Mei 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISRAEL memang melunak, tapi seberapa jauh? Pekan lalu Israel mau mengakui PLO sebagai wakil bangsa Palestina meski masih secara tak langsung (lihat Plus Minus PLO). Israel tak hanya memberi izin pulangnya 15 orang Palestina yang punya hubungan dengan PLO yang dulu diusir dari wilayah pendudukan. Sebelumnya Pemerintah Tel Aviv juga menyetujui duduknya Faisal Husseini, orang dari Yerusalem Timur dan diketahui punya hubungan dengan PLO, dalam Konferensi Damai Timur Tengah di Washington pekan lalu. Pun Israel menerima dua warga Palestina yang berada di luar wilayah pendudukan ikut dalam konferensi tersebut, yakni Kamil Mansour, dosen dari Paris, dan seorang lagi Ahmed al-Khalidi, ilmuwan di Oxford, Inggris. Sebelumnya, Israel hanya mau menerima orang Palestina yang tinggal di Tepi Barat atau Jalur Gaza sebagai wakil bangsa Palestina dalam perundingan damai itu. Dilihat dari hasil-hasil perundingan damai sejak pertama kali, Oktober 1991 di Madrid, Konferensi Damai Timur Tengah di Washington pekan lalu, yang merupakan konferensi putaran kesembilan, memang menunjukkan kemajuan. Misalnya, disetujui rencana dibentuknya tiga kelompok kerja gabungan antara Israel dan Palestina, dengan tugas menyusun konsep berdirinya sebuah pemerintahan otonom Palestina. Dan tak sulit menebak sebab perubahan sikap Israel itu. Untuk pertama kalinya pihak Amerika sebagai penyelenggara perundingan ini tak sekadar memberikan tempat dan menjadi peninjau. Tapi, AS dalam Konferensi Damai putaran kesembilan pekan lalu berstatus sebagai peserta aktif. Wakil AS dengan demikian punya hak suara, punya hak mengusulkan sesuatu langsung di meja perundingan. Secara teknis, mungkin status AS ini tak begitu berbeda dalam delapan kali Konferensi Damai Timur Tengah sebelumnya. Dulu pun, Menteri Luar Negeri James Baker dan stafnya bisa saja memberikan saran di luar meja perundingan. Tapi dari segi psikologis, tampaknya status AS kini punya dampak besar. Memang tak ada reportase bagaimana wakil AS yang ikut dalam perundingan Israel-Palestina berperan. Tapi, logikanya, juru runding Israel tak akan bisa bersikap tegar seperti dulu, misalnya sekadar menyatakan ''tidak'', tanpa memberi peluang kompromi. Strategi itu dijalankan dalam konferensi pertama di Madrid, pada masa Perdana Menteri Yitzhak Shamir. Delegasi Israel ketika itu dengan terus terang mencanangkan ''tiga tidak'' tanpa mau ditawar-tawar, yakni tidak mengakui kemungkinan berdirinya negara Palestina, tidak mau merundingkan soal wilayah Palestina, dan tak membicarakan pembangunan permukiman untuk imigran Yahudi di wilayah pendudukan. Peran AS sekarang tentu berkat perjuangan Menteri Luar Negeri Warren Christopher. Menurut harian Mesir Al Hayat pekan lalu, misalnya, kesediaan delegasi Palestina hadir dalam perundingan pekan lalu karena Christopher menjanjikan lima jaminan kepada Ketua PLO Yasser Arafat: mengumpulkan kembali 5.000 keluarga Palestina yang tercerai-berai di luar wilayah pendudukan membatalkan penggusuran 10.000 rumah warga Palestina di wilayah pendudukan yang diputuskan Israel tiga bulan lalu mengizinkan masuknya bantuan asing bagi warga Palestina di wilayah pendudukan bebas campur tangan Israel mengembalikan warga Palestina yang diusir pada tahun 19671984 (sebagian sudah terlaksana Jumat pekan lalu) dan segera memulangkan sekitar 400 warga Palestina yang diusir ke Libanon Selatan, Desember tahun lalu. Sebelumnya, delegasi Palestina berkeras tak akan hadir sebelum sekitar 400 warga Palestina yang diusir tersebut dipulangkan semuanya. Dilihat dari sisi Israel, usulan delegasi Israel pekan lalu memang cukup jauh. Misalnya, Israel mengajukan usul pengalihan wewenang di wilayah pendudukan dari Israel ke warga Palestina. Ini meliputi bidang pendidikan, kesehatan, turisme, keuangan, dan kepolisian. Usul ini ditolak oleh delegasi Palestina. Sebab, dalam usulan masih disertakan kalimat ''di bawah pengawasan Israel''. Menurut delegasi Israel, terutama tentang diberikannya hak kepada warga Palestina membentuk kesatuan polisi, justru akan memojokkan Palestina. Bisa saja nanti polisi Palestian ini yang akan diadu dengan pemuda-pemuda Palestina yang melakukan intifadah. Delegasi Palestina tetap bersikukuh pada Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 242, yakni ditariknya pasukan Israel dari wilayah yang direbut Israel dalam Perang Enam Hari tahun 1967, dan diakuinya kedaulatan tiap wilayah. Ini merupakan prinsip yang disebut ''tanah untuk damai''. Bila ini diterima, memang secara otomatis Israel mengakui berdirinya sebuah negara Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Delegasi Israel menolak tuntutan yang sejak Konferensi Damai pertama diadakan itu, tapi kali ini dengan argumen. Menurut delegasi Israel, resolusi itu baru bisa dilaksanakan bila warga Palestina di wilayah pendudukan sudah benar-benar siap. Sebagai gantinya, Israel mengusulkan pembentukan sebuah pemerintahan otonomi selama lima tahun, yang akan diikuti langkah negosiasi pembentukan negara permanen. ''Ini pun dengan syarat masih ada kemungkinan pembicaraan negosiasi lagi,'' kata juru bicara delegasi Israel, Yosi Gal, dalam keterangan persnya di Hotel Mayflower, Washington D.C., Jumat pekan lalu. Maksudnya, tak lalu setelah pemerintahan otonomi di wilayah pendudukan berjalan lima tahun, bisa berdiri negara Palestina berdaulat. Tentu, delegasi Palestina menolaknya. Itu cuma akan mengesahkan pendudukan tak langsung Israel di Gaza dan Tepi Barat. Jadi, akankah jalan buntu lagi, setelah secara tak langsung Israel mengakui PLO? Tampaknya itu tergantung peranan AS. Setelah AS bisa menekan Israel untuk secara tak langsung mengakui PLO, mestinya hal yang lebih jauh bisa juga dilakukan. Memang, Bill Clinton tak memerintahkan membekukan bantuan AS sebesar US$ 10 miliar, sebagaimana George Bush dulu membekukan bantuan itu untuk memaksa Israel menghadiri perundingan. Tapi AS, dengan persetujuan Israel, membentuk delegasi gabungan Palestina-AS, yang akan mengawasi pemakaian bantuan tersebut, yakni terbatas untuk ekonomi Israel, dan untuk membangun permukiman di wilayah Israel sendiri. Dulu, Israel memanfaatkan bantuan itu untuk membangun permukiman imigran Yahudi di wilayah pendudukan. Tujuannya, mudah diduga, agar pada akhirnya jumlah orang Yahudi di wilayah pendudukan lebih besar daripada jumlah orang Palestina. Jika suatu saat diadakan plebisit untuk menentukan dibentuknya pemerintahan Palestina berdaulat di situ, suara yang tak setuju akan lebih besar daripada yang setuju. Tapi memang, jalan buntu tetap merupakan kemungkinan yang dekat, yakni jika perundingan dibuka kembali Senin pekan ini, setelah libur akhir pekan, dan AS beserta Israel tak juga memperhatikan usulan mendasar dari Palestina soal Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 242 itu. Bila itu terjadi, akan terbuka kemungkinan bahwa orang Palestina, dan dunia umumnya, lebih percaya pada cara Hamas gerakan perlawanan Islam memperjuangkan kedaulatan berdirinya negara Palestina: pokoknya tidak lewat meja perundingan. Didi Prambadi (Jakarta) dan DB (Kairo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus