Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tanah untuk rakyat papa

Sidang kongres filipina disambut demonstrasi. cory mengumumkan pelaksanaan land reform. kehidupan kontras antara tuan tanah dan petani. ribuan anak petani terancam kelaparan. dilema land reform.

1 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI ketika Kongres bersidang pertama kali sungguh tidak cerah. Suasana tegang meliputi seluruh negeri, bahkan militer berjaga-jaga pada tingkat Siaga I sampai ke pedalaman. Setelah 15 tahun lenyap dari kehidupan politik di Filipina, Kongres -- lembaga legislatif yang terdiri atas dua badan -- tampil kembali Senin pekan ini, di bawah ancaman demonstrasi kelompok kiri maupun kanan. Hari itu sejak pukul 06.00 pagi, 500 polisi antihuru-hara yang dilengkapi tameng dan pentungan sudah berjaga-jaga di seputar Batasang Pambansa, Gedung Kongres di Quezon City, Manila. Bis-bis dipasang berkeliling membangun barikade, sementara satuan polisi bersenjata bersiap di dalamnya. Publik diperbolehkan berkerumun paling dekat di Quezon Memorial Park, yang berjarak 5 kilometer dari gedung tempat Kongres bersidang. Dari laporan intelijen, polisi mencium rencana demonstrasi besar-besaran yang akan dilancarkan pada hari itu. Untuk pengamanan darurat, satuan Polisi Ibu Kota mendapat mandat penuh dari Wali Kota Metro Manila, Jejomar Binay, dan Wali Kota Quezon City, Brigido Simon. Kolonel Emiliano Templo, juru bicara satuan polisi, dalam pernyataan pers melantunkan imbauan agar para demonstran membatalkan saja niat mereka -- sambil melemparkan ancaman, "Kami akan menggunakan kekerasan pada setiap usaha pengacauan." Kerusuhan bisa lebih dari sekadar sebuah demonstrasi. Sebulan menjelang Kongres bersidang, serangkaian teror menghunjam Manila dan kota besar lainnya. Pembunuhan polisi, pemasangan bom, dan percobaan pembunuhan terjadi silih berganti. Bersamaan dengan upacara pembukaan sidang, Kolonel Rolando Abadilla, ahli intelijen rezim Marcos, tertangkap di tepi sebuah jalan di Metro Manila. Perwira menengah AD ini sudah lama buron dan menyinkir ke pedalaman. Diduga kuat ia menjadi otak berbagaitindakan subversi, khususnya pengeboman hotel-hotel mewah. Pukul 10.00 Nyonya Presiden Corazon "Cory" Aquino tiba di Batasang Pambansa dengan sebuah helikopter. Kedatangannya dielu-delukan sekitar 200 pendukung, yang mengenakan kaus kuning bertuliskan "Selamat Datang, Cory". Sidang pertama Kongres itu lengkap dihadiri Mahkamah Agung, Senat, DPR, dan Kabinet, serta dibuka Ketua DPR, Ramon Mitra, yang bertindak pula sebagai Ketua Kongres. Dari 250 anggota DPR (200 terpilih pada pemilu lalu, 50 ditunjuk) hanya 191 yang hadir. Sementara itu, dua senator absen dari 25 anggota Senat. Hasil pemilihan senator memang belum berakhir. Anggota Senat ke-23 dari hasil penghitungan paling akhir jatuh pada Senator Nina Rasul, anggota kelompok Cory, dari Partai Lakas ng Bayan (Laban). Sementara itu, tempat ke-24 dan 25 masih diperebutkan tokoh oposisi Juan Ponce Enrile dan Bobby Sanchez dari kelompok Cory. Pengamat politik Filipina, Alexander Magno, mengakui, Kongres yang kini terbentuk dikuasai kelompok Cory. Bila Enrile jadi terpilih, berarti kelompok oposisi GAD (Grand Alliance for Democracy) hanya mampu meraih dua kursi. Adapun senator lain dari GAD yang sudah terpilih adalah bintang film terkenal Joseph Estrada. Di samping mayoritas Laban mendominasi Senat, popularitas Cory juga masih sangat menentukan dalam banyak hal. "Tapi, ya, ini lebih baik daripada kekuasaan diktatonal di tangan satu orang," ujar ahli itu. Sidang Kongres pertama ini menandakan berakhirnya kekuasaan Undang-Undang Darurat Perang yang digariskan Presiden Ferdinand E. Marcos di tahun 1972. Juga merupakan batas berakhirnya kekuasaan peralihan yang dipegang Cory selama 17 bulan seJak Marcos digulingkan oleh revolusi damai People Poqer, Februari tahun lalu. Pada masa itu, ketentuan undang-undang digantikan 1.000 Dekrit Presiden. Tapi sebegitu jauh, Cory hanya mengeluarkan 229 dekrit. Lima hari sebelum sidang Kongres, Cory menurunkan dekrit yang paling kontroversial: Program Penataan Kembali Pemilikan Tanah atau land reform. Ini sebuah masalah besar bagi Cory -- mencakup problem administrasi pemerintahan yang pelik, sampai ke hubungan kawan dan konflik pribadi. Cory berasal dari keluarga Cojuangco, keluarga tuan tanah yang terkenal di Filipina. Untuk menyukseskan land reform, Cory dengan tegar merelakan tanah keLarga Cojuangco seluas 6.500 hektar. Wajar jika Cory -- untuk pertama kali -- tak dapat menyembunyikan kegundahannya di muka umum. Adalah tidak mudah bagi wanita ini untuk memaksakan kehendaknya pada keluarga besar Cojuangco, satu dari keluarga terkaya di negeri itu. Bagaimana Cory mengatasi konflik intern keluarga tak jelas benar. Yang pasti, ia akhirnya sampai juga pada ketetapan land reform, dekrit terakhir Cory: Dekrit Presiden Nomor 229. Cory menyusunnya sendiri, meramu inti sari dari 11 konsep yang disodorkan sebuah tim. Untuk penyusunan itu Nyonya Presiden bekerja siang malam. Dengan tekun ia mempelajari, melakukan konsultasi, dan akhirnya menyusun sendiri bunyi dekrit mahapenting itu. Di situ tercantum ketentuan tentang pembagian tanah seluas 5,4 juta hektar bagi 2,5 juta petani, yang harus komplet terlaksana pada tahun 1992. Dalam formasi pemilikan di masa kini, 90% tanah negeri itu dikuasai hanya oleh 10% penduduknya. Terdapat 722 perkebunan besar milik perorangan, luasnya ratarata 300 hektar. Sementara itu, pribadi-pribadi yang disokong perusahaan multinasional menguasai sekitar 100.000 hektar tanah perkebunan. Hari ketika dekrit itu akan diumumkan ketegangan meliputi Nyonya Presiden. Sidang kabinet tempat dekrit itu akan dibacakan sebenarnya sudah dijadwalkan 22 Juli pukul 10.30 pagi. Tapi mendadak Presiden memajukan jadwal sidang menjadi pukul 10.00. Ia juga tiba-tiba melarang siapa pun masuk, kecuali para menteri dan pembantu terdekatnya. Sepanjang sidang, ia tampak gelisah dan akhirnya meletupkan amarah yang hampir tak berdasar. "Saya tak mau seorang pun mengomentari dekrit itu," katanya berang. "Mereka yang menentang lebih baik keluar." Dekrit Presiden Nomor 229 tidak merinci pelaksanaan pembagian tanah kepada rakyat. Tugas membuat juklak itu dialihkan Cory kepada Kongres. Lembaga ini harus memprioritaskan pembahasan land reform dalam sidang-sidangnya. Bila dalam sembilan bulan Kongres gagal menetapkan juklakland reform itu, mandat lembaga legislatif itu -- khusus dalam hal land reform -- akan dicabut. Namun, tidak jelas bagaimana nasib program itu kelak. Soalnya, berdasar Konstitusi 86 -- yang disetujui rakyat melalui plebisit -- Cory tak mungkin lagi mengambil alih persoalan itu, karena Dekrit Presiden otomatis gugur dengan sudah berfungsinya Kongres. Namun, dalam dekrit, prinsip utama pelaksanaan land reform sudah digariskan. Dengan anggaran pertama sebesar 4,4 milyar peso -- didapat dari pinjaman luar negeri -- pemerintah akan membeli semua tanah perkebunan yang ditargetkan, lalu menjual secara cicilan kepada rakyat dalam termin pembayaran 30 tahun dan bunga lunak 6% setahun. Dekrit Cory berbeda jauh dengan land reform yang didekritkan Presiden Marcos. Pembagian tanah untuk rakyat yang ditetapkan Cory meliputi semua perkebunan, sementara di masa Marcos tanah yang dibagikan meliputi hanya dua jenis perkebunan, yaitu padi dan jagung. Pada landreform Marcos, campur tangan pemerintah praktis tak ada, kecuali pengeluaran dekrit. Pengalihan tanah jadi tidak terkontrol. Akhirnya banyak tanah jatuh kembali ke tangan tuan tanah -- dibeli kembali. Di samping itu, terjadi pula penipuan, karena tanah dialihkan bukan ke petani, melainkan ke saudara-saudara di lingkungan famili. Dengan tekadnya yang kuat, Cory sudah melakukan terobosan untuk melaksanakan land reform, seperti yang diangan-angankan rakyat. Namun, sejumlah masalah pelik menunggu. Atas permintaan Ramon Mitra, ketua Kongres yang juga bekas menteri pertanian, Cory akhirnya menggeser beberapa masalah sulit ke Kongres. Problem yang segera akan menjadi perdebatan di Kongres adalah pemilikan tanah yang tak bisa diselesaikan Cory. Mulanya, ada rencana untuk menetapkan tujuh hektar sebagai batas tertinggi pemilikan tanah. Namun, dua anggota tim penyusun konsep land reform, Dr. Mahar Mangahas dan Solita Monsod -- keduanya ahli ekonomi mengingatkan Cory, angka tujuh hektar berbahaya, karena pengolahan tanah seluas itu tidak efisien dan bisa menurunkan angka produksi. Solita Monsod menawarkan konsep "batas minimal" tujuh hektar -- bagi pemilik tanah. Berarti bisa lebih. Kalau tidak, pemerintah memberi dispensasi pada perkebunan kelapa dan gula, yang merupakan tulang punggung ekspor Filipina. Konsep ini yang sempat dipermasalahkan dalam kabinet pada 28 Juni lalu, dan mengundang protes kaum petani miskin. "Cory, dengarkanlah suara kaum papa. Yang kami tuntut hanyalah keadilan," bunyi sebuah poster, menentang konsep itu. Cory berpihak pada para petani. Ia akhirnya memilih untuk bertahan melaksanakan land reform di semua jenis perkebunan, tidak terkecuali perkebunan kelapa dan tebu. Cory tak mau mundur, karena justru di kedua jenis perkebunan ini ketidakadilan merajalela. Namun, ia ekstrahati-hati menghitung berbagai akibatnya yang bisa menimpa perekonomian Filipina. Ia juga khawatir, pembagian tanah yang terlampau luas kepada petani akan memberatkan biaya pengolahan. Karena itu, Cory menunda perhitungan rinci dan menggeser kalkulasi itu kepada Kongres. Kelompok petani militan yang tergabung dalam gerakan petani KMP (Kilusang Mangbubukid ng Pilipina) masih saja menyesalkan sikap ragu-ragu Cory. KMP menyangsikan kemampuan Kongres untuk menelurkan rincian land reform yang bijaksana, karena sepertiga dari anggota Kongres pada kenyataannya adalah tuan tanah. Di sisi lain para tuan tanah pemilik perkebunan, khususnya perkebunan tebu dan kelapa, menentang keras usaha land reform. Di Negros Occidental, kawasan penghasil gula terbesar, para tuan tanah memanfaatkan pasukan sipil bersenjatanya "El Tigris" untuk menentang pemerintahan Cory dan membentuk gerakan separatis MIN (Movement for an Independent Negros). Gerakan ini dua bulan lalu mencoba membunuh Uskup Antonio Fortich, pejuang tangguh land reform di Negros kawasan yang penduduknya memang sangat miskin -- dengan sebuah bom. Terhadap dekrit land reform, MIN menyatakan perang. Serangan datang juga dari luar negeri. Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia menyangsikan Filipina akan bisa mengatasi masalah perekonomian mereka, bila dekrit Cory sempat menyabot produksi gula dan minyak kelapa. Tapi sebenarnya IMF langsung berkepentingan, karena badan ini bertindak sebagai kreditor bagi perkebunan gula dan kelapa. Terakhir, di tahun 1984, IMF menurunkan kredit sebesar US$ 925 juta untuk mengembangkan industri gula dan kelapa. Karena kepentingannya terancam, IMF balik mengancam akan menghentikan pemberian kredit, bila Filipina akhirnya harus menjadwalkan kembali pencicilan utangnya. Bank Dunia secara resmi juga menolak memberikan pinjaman US$ 1 milyar bagi pelaksanaan land reform itu. Di hadapan Kongres, Cory mengecam keras sikap kreditor ini, yang dianggapnya tak mau mengerti pola perbaikan ekonomi Filipina, yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Filipina sudah lama dikenal sebagai penghasil gula dan minyak kelapa. Marcos, dengan bantuan jaringan Bank Nasional Filipina, tempat Juan Ponce Enrile adalah pemegang saham terbesarnya, memonopoli perdagangan kedua produk pertanian ini. Ekspor gula Filipina sudah menguasai pasar dunia sejak abad ke-19 -- sejak gula mulai diperdagangkan. Sementara itu, minyak kelapa Filipina pada catatan 1980-1981 menguasai 85% produksi minyak kelapa dunia. Kedua produk pertanian ini setahunnya memberi hasil US$ 1,4 milyar, US$ 1 milyar merupakan hasil ekspor, sama dengan 11% dari nilai ekspor total Filipina (catatan 1984). Melalui ketetapan presiden, Marcos memonopoli pembelian dan penjualan kopra. Dengan sistem itu, ia juga mengontrol harga. Petani independen tak mampu berbuat apa-apa, kecuali men)ualnya dengan harga yang sudah ditetapkan. Lalu lintas perdagangan kopra dikontrol badan pemerintah Philippine Coconut Auhority (PCA), pemegang otoritas perdagangan kelapa Filipina. Dari akumulasi modal, PCA -- melalui konglomerat Philippine National Oil Company -- membangun jaringan industri minyak kelapa sampai ke produk-produknya yang kedua dan ketiga. Sesudah itu bahkan menguasai industri dan perdagangan minuman, di antaranya membangun korporasi San Miguel. Juan Ponce Enrile duduk sebagai komisaris utama konglomerat ini, sementara untuk tugas eksekutif Marcos menunjuk pemilik perkebunan kelapa Luzon Selatan dari Tarlac, Jose "Danding" Cojuangco, yang tak lain saudara sepupu Cory. Marcos menguasai perdagangan gula dengan cara yang sama. Ia membangun badan pemerintah, Philippine Sugar Commission (PSC) untuk mengawasi lalu lintas perdagangan gula. Ia pun mengangkat kawannya, Roberto Benedicto, sebagai ketua komisi, sekaligus direktur Philippine Exchange Corporation (Philex), perusahaan yang memonopoli perdagangan gula. Dan perusahaan ini bergabung dalam grup Bank Nasional Filipina kepunyaan Enrile Dalam perkembangannya, Philex kemudian meluaskan jaringan usahanya ke perbankan dan perkapalan -- juga menjadi pemodal harian Daily Express. Sejumlah pengamat ekonomi menyangsikan Dekrit Presiden Nomor 229 itu. Masihkah land reform bisa diandalkan untuk mengatasi ketimpangan ekonomi di masa kini? Ia mungkin bisa menjawab ketidakadilan yang berakar di sejarah masa lalu, tapi terlalu usang untuk menghadapi tantangan ekonomi yang kompleks di masa kini. Risiko yang juga besar mungkin harus dihadapi kaum petani. "Justru inilah yang harus menjadi tantangan, bukan beban," ujar Cory, pada pidatonya di Kongres. Sementara itu, para petani yang menunggu di Quezon Memorial Park mulai bergerak. Pada pukul 14.30, Senin siang itu, dalam barisan panjang mereka mencoba mendekati Batasang Pambansa. Tapi polisi lebih sigap. Arus demonstrasi itu patah menghadapi barikade bi yang berjajar di hadapannya. Hanya teriakan dan acungan poster yang tingal tersisa, mewakili ketidakpuasan mereka. Pada saat yang sama di depan Kongres, Cory mengakhiri pidatonya dengan kata-kata "Ang ating mga kababayan ang mamayang Pilipino." -- Negara ini adalah milik rakyat Filipina. Jim Supangkat, Laporan Djoko Daryanto (Manila)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus