Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita telah melawan Nyo, sebaik-baiknya, Sehormat-hormatnya
Itulah kalimat akhir yang diucapkan Happy Salma ketika memerankan Nyai Ontosoroh. Kata yang sama persis diucapkan Nyai Ontosoroh di penghujung novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Pertunjukan memakan waktu lebih dari tiga jam untuk sampai ke kalimat pamungkas yang menekankan harga diri itu. Inilah sebuah pementasan yang ingin menonjolkan sosok tegar penuh martabat Nyai Ontosoroh, seorang gundik pribumi dalam tetralogi Pulau Buru Pram.
Wawan Sofwan, sutradara dari Bandung, bersama penulis naskah Faiza Mardzoeki, menempatkan karya Pram sebagai sebuah karya ”sakral”. Tidak merombak, tak menambah-nambahi, apalagi membuat sebuah tafsir baru terhadap Nyai Ontosoroh. Yang ditampilkan adalah memindahkan cerita novel secara lebih padat (ringkas) ke panggung dengan titik sentral Ontosoroh. Adegan-adegan urut seperti alur dalam novel.
Wawan agaknya menganggap banyak kalimat Pram dalam Bumi Manusia penuh makna. Hingga pendekatannya terhadap pertunjukan seperti mementaskan naskah klasik Shakespeare, yang penuh dialog panjang. Hampir di setiap adegan, pemain mengucapkan kalimat para tokoh dalam buku secara persis, sampai titik, koma.
Risiko dari pendekatan semacam ini membuat orang yang pernah membaca Bumi Manusia mengharap kasting pemain betul-betul tepat. Padahal persoalan yang dihadapi oleh Wawan Sofwan adalah sukar menemukan aktor yang cocok, lantaran pertunjukan ini produksi bersama oleh berbagai kelompok teater di Jakarta. Kompromi dilakukan di sana-sini.
Adegan awal dibuka dengan sorot foto Ratu Wilhelmina. Semua pemain muncul membawa bendera perayaan. Kemudian Minke (Temmy Meltanto) dan Robert Surhoof (Wikana) bertandang ke rumah Nyai Ontosoroh. Di sinilah pertama kali ia melihat—dan langsung jatuh hati pada Annelies (Madina Wowor)—putri Ontosoroh. Di sinilah kemudian ia dihina oleh Herman Mellema, ayah Annelies yang Belanda totok. ”Kowe kira, kalo sudah pakean Eropa lantas jadi Eropa? Tetap monyet!”
Panggung minimalis garapan Dolorosa Sinaga dan Gallis A.S.—yang terdiri dari hanya tiga stage kayu dan tirai yang bisa naik-turun—selanjutnya menjadi bermacam lokasi indoor dan outdoor secara imajinatif.
Adegan berganti, mengalir, namun kisah asmara Minke-Annelies sepanjang pertunjukan kurang bertenaga. Adegan ketika Annelies mengungkapkan kerinduan kepada Minke, misalnya, terasa picisan. ”Sudah gilakah aku? Mengapa kau juga selalu yang nampak, Mas? Itu bukan kalimat yang terbaik dalam Bumi Manusia. Maka, ketika diwujudkan dalam panggung, apalagi akting Madina Wowor mendayu-dayu, jadi mirip adegan sinetron.
Di luar dugaan, Happy Salma bermain cukup lumayan. Meski aktingnya terkesan terlalu berhati-hati dan intonasi kalimatnya kurang lugas, penampilannya jauh lebih baik daripada pemeran Minke, Annelies, apalagi Darsam, centeng asal Madura yang selalu mengawal Ontosoroh. Dalam Bumi Manusia, Darsam sanggup membuat kecut Tuan Mellema, dan tentu perawakannya yang besar menakutkan. Sedangkan Darsam, yang diperankan Budi Ketjil, agak karikatural.
Happy mengakui, ada pendekatan yang sangat berbeda dari naskah tatkala proses latihan ditangani Ken Zuraida dan beralih ke Wawan Sofwan. ”Dua naskah yang sangat berlainan, tapi inti Ontosoroh sama,” katanya.
Dan adegan terbagus malam itu adalah pada saat Nyai Ontosoroh mengenang masa lalunya ketika pertama kalinya ia dijual oleh ayahnya kepada Herman Mellema. Mulanya Ontosoroh duduk bermalas-malasan di risban—kursi panjang Jawa—sembari mengelus kepala Annelies. Tiba-tiba ia berdiri menerawang masa lalunya yang pedih.
”Sanikem namaku, kembangnya Sidoarjo….
Dan di tengah pentas lalu muncul adegan dirinya masih belia (dimainkan oleh Nuansa Ayu) dibawa oleh bapak ibunya. Muncul Mellema (Willem Bevers). Akting Bevers lumayan hidup. Terutama saat ia menarik, mengganti selendang si gadis, melepas baju merahnya dan mengenakan gaun baru pada tubuh sang gadis, lalu membopongnya. ”Mulai hari ini kau adalah nyaiku.”
Dan, dass… di panggung sang Nyai jatuh pingsan. Happy berhasil melakukan adegan ini dengan kuat. Bagian menarik selanjutnya adalah ketika Nyai Ontosoroh mengingat bagaimana tiba-tiba suatu hari datang ke rumahnya seorang tuan dari Belanda bernama Ir Mauritz (Hendra Yan). Ia ternyata adalah anak Mellema. Sang pemuda yang angkuh itu mencaci maki Mellema karena menelantarkan ibunya Mevrow Amelia di Belanda.
Dalam adegan ini Wawan membuat Nyai Ontosoroh seolah masuk sendiri dalam kenangannya, menahan cercaan-cercaan Mauritz. Hendra Yan bermain atraktif. Adegan debatnya dengan Willem Bevers, tatkala ia menuduh bapaknya itu telah melakukan perkawinan kafir mencampurkan darah Kristen Eropa dan pribumi, adalah bagian mengesankan dari drama ini. ”Tuan telah melakukan dosa darah!”
Adegan ini cukup mengangkat permainan. Happy sendiri mengakui adegan flashback itu berat. ”Di situ emosi perasaan Ontosoroh naik turun, konflik masa lalunya meluap,” katanya. Namun persoalannya, setelah adegan itu, tempo permainan kembali adem. Pencahayaan yang selama pertunjukan cenderung konstan, dan musik komputer garapan Fahmi Alatas yang cenderung suram, makin membuat irama terasa lambat. Bahkan adegan perkawinan antara Minke dan Annelies yang seharusnya riang kelihatan murung.
Juga ”ledakan” tak terjadi dalam adegan pengadilan kematian Mellema. Mellema ditemukan tewas tergeletak di pelacuran Babah Ah Tjong. Saksi-saksi dihadirkan ke pengadilan. Di sinilah seorang pemeran Ontosoroh sesungguhnya dapat mengeksplorasi habis kemampuan aktingnya. Sebab, di pengadilan itulah keperkasaan Nyai Ontosoroh muncul; ia menyuarakan pendapatnya secara tegas di depan publik. Adegan pengadilan sesungguhnya bisa menjadi klimaks dari pertunjukan. Sayang, pada detik-detik itu Happy justru datar.
Padahal dalam adegan ini bloking dibuat Wawan Sofwan secara diagonal, sehingga memungkinkan debat antara Ontosoroh dan hakim dilihat penonton secara jelas. ”Banyak pementasan teater yang bertema pengadilan, hakimnya menghadap penonton tapi pengunjung membelakangi penonton,” katanya. Ia, misalnya, pernah terlibat dengan pementasan STB (Studi Teater Bandung) The Caucian Chalk Circle—(Lingkaran Kapur Putih) karya Bertold Brecht—yang pada saat adegan pengadilan bloking peserta sidang dibuat tak menghadap penonton.
Agaknya menampilkan pertunjukan secara kronologis—tak ubahnya seperti sebuah ”sinopsis” novel—adalah pilihan agar pertunjukan ini bisa merangkul sebanyak mungkin penonton awam untuk mengenal inti buku Pram. ”Banyak teman saya yang tadinya belum membaca Bumi Manusia jadi tertarik mencari novel itu,” kata Happy dua hari setelah pertunjukan. Inilah pertunjukan yang motivasi dasarnya bukan untuk mencari inovasi baru bentuk teater. Tapi lebih sebuah tribut dan sosialisasi pemikiran Pram tentang perempuan.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo