GERAKAN perlawanan Afghanistan kian terjepit, dan penderitaan rakyat negeri itu semakin pahit. Februari lampau, ratusan penduduk sipil dibantai di Kota Chahardara, sebelah utara Provinsi Kunduz yang berbatasan dengan Uni Soviet. Sekitar 480 orang dibunuh sebagai balas dendam tentara Rusia untuk sejumlah perwiranya yang tewas akibat ledakan ranjau darat. Pelaku ledakan adalah kaum gerilyawan, tapi yang jadi korban rakyat jelata. Pola penumpasan serupa terjadi di Pagman, daerah pelancongan tak jauh dari Ibu Kota Kabul. Di situ ratusan penduduk sipil dibabat rata dengan pengeboman dan tembakan artileri. Kemudian barang-barang berharga dan bahan pangan mereka dirampas. Hukuman yang sama juga dilancarkan tentara Soviet terhadap penduduk Desa Lalandar, sebelah barat Kabul. "Laporan semacam itu bisa saja dilebih-lebihkan," kata seorang diplomat Barat. "Tapi sulit untuk tidak digubris, karena laporan datang dari berbagai sumber, dan selalu berkelanjutan," tambahnya. Yang juga tidak mungkin tidak digubris adalah laporan PBB tentang pelanggaran hak-hak asasi manusia di Afghanistan. Laporan yang disusun Felix Ermacora itu menuduh pasukan Soviet dengan sengaja mengebom desa-desa, membantai penduduk sipil, dan menembak mati gerilyawan yang tertangkap. Akibat serangan Soviet, terbunuh di antaranya Panglima Massoud, komandan wilayah Panjshir. Ahli hukum itu juga mengkritik pemerintah Afghanistan, karena menjebloskan 50.000 tahanan politik ke penjara. Menurut profesor kelahiran Austria itu, siksaan di penjara sudah sangat rutin, hingga dianggap sebagai tindakan administratif belaka. Laporan yang dibahas dalam sidang Komisi Hak-Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, pekan lalu, itu menandaskan bagaimana kehadiran pasukan asing di Afghanistan mengakibatkan berbagai penderitaan. Sebagai contoh disebutkan kehidupan sebagian besar penduduk kocar-kacir, empat juta orang mengungsi, kekurangan pangan yang mengkhawatirkan, dan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa tentang hak-hak penduduk sipil dan tawanan perang. Dengan laporan Ermacora ini, untuk pertama kali sebuah lembaga internasional di bawah PBB secara terbuka melancarkan kritik terhadap Uni Soviet. Diharapkan laporan itu bisa menimbulkan dampak positif, setidaknya agar terbangkitkan pendekatan lebih serius terhadap masalah itu di lingkungan PBB. Ermacora sendiri tidak secara eksplisit menyebut tentara Sovict, sebaliknya ia memakai istilah pasukan asing, khusus dalam konteks pengeboman dam pembantaian masal. Prof. Felix Ermacora mengumpulkan berbagai data selama kunjungannya ke Pakistan, Desember lalu. Dia mewawancarai para pengungsi dari 15 daerah di Afghanistan, dan memperoleh berbagai keterangan tentang pembantaian masal (kasus Logar), penggunaan senjata kimia, pengeboman (di Kandahar, Panjshir, Badakhshan, dan Hazarajat), dan siksaan dengan delapan cara yang menegakkan bulu roma. Di antaranya, memasukkan kayu ke anus dan memaksa tawanan meminum alr seni. Laporan Ermacora dibocorkan lebih dulu kepada surat kabar International Herald Tribune sebelum secara resmi disiarkan dan diterima oleh Komisi Hak-Hak Asasi PBB dengan perbandingan 27 lawan 8 suara dan 6 abstain. Delegasi Afghanistan menolak pemungutan suara itu dengan alasan "tidak punya dasar hukum, kosong melompong, secara politis berbahaya, dan secara moral munafik".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini