Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Upaya Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menangkap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu atas tuduhan kejahatan perang mendapatkan hambatan besar. Sejumlah negara yang secara hukum terikat dengan Statuta Roma, seperti Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat, justru memilih untuk tidak mendukung penangkapan ini. Sikap mereka menuai kecaman internasional, terutama karena dianggap menerapkan standar ganda terhadap keadilan internasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Standar Ganda Prancis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari The Guardian, Prancis awalnya menyatakan komitmen untuk mematuhi kewajiban sebagai anggota ICC, termasuk menangkap Netanyahu jika dia mengunjungi negara itu. Namun, beberapa hari setelah ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan, pemerintah Prancis mengubah sikapnya.
Mereka mengklaim Netanyahu memiliki kekebalan hukum karena Israel bukan anggota ICC. Pernyataan ini bertolak belakang dengan posisi Prancis terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin yang juga bukan anggota ICC, tetapi tetap menjadi target penangkapan.
"Kekebalan tersebut berlaku untuk Perdana Menteri Netanyahu dan menteri lain yang bersangkutan, dan harus dipertimbangkan jika ICC meminta kami untuk menangkap dan menyerahkan mereka," demikian kutipan pernyataan dari pemerintah Prancis.
Kelompok hak asasi manusia, termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch, mengutuk keputusan Prancis. Mereka menyebutnya sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip keadilan internasional.
Menurut kelompok tersebut, Prancis tampaknya lebih memprioritaskan hubungan politik dengan Netanyahu dibanding keadilan bagi korban kejahatan perang. Langkah ini juga dianggap sebagai "hadiah" kepada Netanyahu atas kesepakatan gencatan senjata yang didukung Prancis di Lebanon, memperkuat tuduhan bahwa Prancis mengorbankan prinsip hukum demi kepentingan politik.
Dilema Jerman
Jerman, yang memiliki hubungan sejarah dengan Israel, tengah menghadapi tekanan moral dan politik yang berat dalam menangani surat perintah penangkapan ICC terhadap Netanyahu. Sebagai anggota ICC, mereka diwajibkan untuk menangkap Netanyahu. Namun pemerintah Jerman sejauh ini belum membuat keputusan tegas.
“Jerman berada dalam dilema. Di satu sisi, Jerman ingin mendukung ICC, tetapi di sisi lain, Jerman memiliki hubungan historis dan politik yang sangat dekat dengan Israel. Dan pemerintah Jerman kini entah bagaimana berusaha keluar dari situasi ini,” kata Matthias Goldmann, profesor Hukum Internasional di Universitas Bisnis dan Hukum EBS di Wiesbaden dan Oestrich-Winkel, dilansir dari Middle East Monitor.
Human Rights Watch dan organisasi internasional lainnya menekan Berlin agar mengirim pesan tegas bahwa Netanyahu tidak diterima di Jerman selama surat perintah ini berlaku. Namun, pemerintah Jerman berdalih penanganan kasus ini sebaiknya dilakukan oleh pengadilan domestik Israel terlebih dahulu, meskipun hingga kini tidak ada penyelidikan yang berjalan di Israel.
Amerika Serikat Pelindung Israel
Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara besar yang secara terang-terangan menolak keputusan ICC. Gedung Putih mengklaim ICC tidak memiliki yurisdiksi atas Netanyahu. Presiden Joe Biden bahkan menyebut surat perintah itu sebagai tindakan keterlaluan dan menegaskan tidak ada kesetaraan moral antara Israel dan Hamas.
Dikutip dari Lemonde, sikap ini memicu kritik dari dalam negeri, terutama dari kalangan progresif yang melihatnya sebagai bentuk pembelaan terhadap genosida yang dilakukan Israel di Gaza.
Pemerintah AS sekali lagi menunjukkan biasnya terhadap Israel, bahkan ketika kejahatan perang yang jelas telah dilakukan. Ironisnya, pada 2023, pemerintah AS mendukung surat perintah ICC terhadap Vladimir Putin, yang menunjukkan sikap tidak konsisten mereka terhadap keadilan internasional.
Penolakan negara-negara ini untuk bekerja sama dengan ICC dalam menangkap Netanyahu tidak hanya merusak kredibilitas mereka tetapi juga mengkhianati para korban kejahatan perang Israel di Gaza.
Lebih dari 44.000 warga sipil, sebagian besar perempuan dan anak-anak, telah menjadi korban serangan Israel. Ketidakadilan ini hanya akan semakin meluas jika negara-negara yang seharusnya menjadi pelindung hukum internasional memilih untuk memihak pelaku daripada korban.
NEW ARAB | MIDDLE EAST MONITOR | LEMONDE | THE GUARDIAN