KEMENANGAN pertama Arafat digelar Selasa pekan ini. Sidang Majelis Umum yang akan memperdebatkan masalah Palestina dipindahkan dari New York ke Jeneva hanya untuk memungkinkan Ketua PLO itu hadir sebagai pembicara ketiga. Upaya Amerika mencegah Arafat masuk New York memang sukses. Tapi kemudian hampir seluruh dunia mengecam sikap Amerika, dan sebaliknya bersimpatik kepada Abu Ammar. Di Jeneva itulah, menurut rencana, Arafat akan, "berbicara dengan jelas kepada dunia tentang makna sejarah dari sidang Dewan Nasional Palestina di Aljir, tentang penerimaan PLO terhadap resolusi PBB yang menyiratkan adanya negara Israel dan negara Palestina yang berdampingan," kata Bassam Abu Sharief, penasihat politik Arafat. Sidang Umum Jeneva boleh dikata merupakan satu simpul kemenangan perjuangan tanpa senjata. Pada dasarnya, kecuali Amerika dan Israel, warga PBB mengakui bahwa PLO juru damai sesungguhnya dalam konflik Palestina-Israel, sejak meletusnya intifadah Desember tahun lalu di Jalur Gaza dan Tepi Barat, yang kini disebut Negara Palestina. Orang-orang Palestina, termasuk PLO, praktis akhir-akhir ini memang tak menunjukkan aksi kekerasan. Maka, tindakan militer Israel mencoba memadamkan gerakan di Gaza dan Tepi Barat dengan brutal mengundang antipati terhadap Israel dan simpati terhadap Palestina. Yasser Arafat memang mengubah gaya perjuangan, tampaknya. Sebuah tulisan di koran Washington Post menceritakan sebuah pertemuan antara Arafat dan Amerika (yang diwakili oleh CIA, Dinas Rahasia AS), empat belas tahun yang lalu. Konon, dalam pertemuan di sebuah hotel itu disepakati bahwa PLO tak akan melakukan aksi teror, setidaknya terhadap orang Amerika. Sebagai imbalan, Amerika bersedia mengakui hak-hak orang Palestina. Mungkin, pertemuan itu benar terjadi. Yang jelas, langkah moderat Arafat kini tak tanggung-tanggung. Seminggu sebelum Sidang Umum Jeneva, tokoh politik yang secara de facto adalah pemimpin bangsa Palestina itu mau menemui delegasi Yahudi-Amerika secara terbuka di Stockholm, ibu kota Swedia. Dalam pertemuan itu, Arafat menyatakan mengakui keberadaan negara Israel dan mengutuk segala aksi terorisme pengakuan yang jelas dan langsung, lebih dari yang disuratkan resolusi PBB. Benar, delegasi Yahudi-Amerika yang ditemui oleh Arafat bukan termasuk organisasi elite, yang selama ini mengklaim punya kuku di kalangan jutawan dan politikus. Hingga muncul suara-suara bahwa delegasi itu tak mewakili pihak Yahudi. Bayangkan saja bahkan Edgar Bronfman, Ketua Kongres Yahudi Dunia yang bermarkas di Amerika, termasuk tak diajak sebagai anggota delegasi. Bagi pihak yang tak diajak, pengakuan Arafat terhadap negara Israel hanya memojokkan Israel agar mau mengakui negara Palestina. Itu berbahaya, kata mereka, sebab orang-orang Palestina lalu punya kesempatan merongrong Israel dari "dalam". Kata Perdana Menteri Israel Yitshak Shamir, "Selama masih bercita-cita untuk menghapus negara Israel, segala muslihat politik Arafat tak berguna." Bagi sebagian anggota PLO sendiri, langkah Arafat di Stockholm dianggap terlalu jauh. Mustafa al-Zbiri, Ketua Front Populer Pembebasan Palestina (PFLP), yang didukung Syria, bahkan yakin betul, "Hasil pertemuan Stockholm tak cocok dengan resolusi Dewan Nasional Palestina (PNC)." Menurut Zibri, hasil sidang PNC pertengahan bulan lalu mengakui keberadaan Israel berdasarkan Resolusi PBB Nomor 181 Tahun 1947, yang membagi tanah Palestina menjadi dua negara -- Arab dan Yahudi. Bukan Resolusi Nomor 242 dan 338, apalagi pengakuan langsung dengan menyebut negara Israel. Ketua PNC, Sheikh Abdul Hamid, bahkan menuduh pernyataan Arafat tak sah. Bagi kebanyakan tokoh PLO, menerima kedua resolusi itu, Nomor 242 dan 338, kendati prinsipnya nyaris sama, bisa dianggap sebagai kekalahan politik sangat telak. Kedua resolusi itu lahir berkat tekanan politik dan militer Amerika dan Israel. Repotnya, pernyataan Arafat sudah keburu berbentuk dokumen yang ditandatangani oleh Khaled al-Hasan, Ketua Komite Hubungan Luar Negeri PNC, dan kelima anggota delegasi Yahudi-Amerika. Hingga menjelang Sidang Umum PBB di Jeneva, Arafat konsekuen dengan perjuangan damainya. Dalam rangka memperingati setahun intifadah, dia muncul di TV Abu Dhabi, berbicara, "Kalau Washington setuju, konperensi internasional mengenai Timur Tengah bisa dilakukan di Amerika." Dan kepada Israel, ia cuma bilang, "Kalau berniat damai, kami sudah siap. Kalau mau terus berperang, kami juga tat menolak." Tantangan Arafat memang segera dijawab oleh Israel. Pihak militer Israel pekan lalu mengadakan operasi besar-besaran terhadap basis-basis PLO di pinggiran Kota Beirut. Kali ini tak hanya dengan mengadakan pengeboman lewat udara, tapi juga disertai penerjunan ratusan pasukan payung. Sebuah serangan terbesar sejak tahun 1986. Dan pada hari yang sama rezim Likud memberlakukan larangan keluar rumah selama 24 jam bagi seluruh penduduk Jalur Gaza. Yang kemudian dijawab dengan aksi pemogokan total selama dua hari dan demonstrasi besar-besaran oleh warga Palestina di Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem. Delapan pemuda Palestina luka-luka lantaran ditembak dan dihajar tentara Israel. Plus seorang tewas dimangsa peluru. Belum terdengar reaksi Arafat. Tapi boleh ditebak, bila saja di Jeneva pekan ini ia tetap tampil dengan moderat, dunia akan makin bersimpati kepada perjuangan Palestina. Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini