ADA "penggembosan" lagi di Jawa Timur. Kali ini yang melakukannya adalah Lemkari (Lembaga Karyawan Da'wah Islam), yang telah diputuskan akan segera dibekukan Gubernur Ja-Tim (TEMPO, 3 Desember 1988). Tokoh penggeraknya adalah Kiai Toha, 50 tahun, yang pada 1972 mendirikan Lemkari bersama Nurhasyim dan Haji Nurhaan Al-Ubaidah. Sehari-hari, Toha memimpin study group Lemkari di Desa Sumberagung, Krecek, Kecamatan Pare, Kediri. Awalnya, 25 November lalu, Toha menerima surat pemecatan dari pengurus Lemkari Ja-Tim. Rupanya, Toha adalah korban pertama pembersihan di tubuh Lemkari. Sebab, menurut sumber TEMPO, pengurus Lemhari Ja-Tim minta kepada Pemda agar diberi kesempatan lagi untuk menertibkan anggotanya yang melenceng. Dalam surat pemecatan bersegel yang ditandatangani Abdurrahman B.Sc. -- ketua perwakilan -- dan Bambang Purnomo M.B.A. -- sekretaris -- dinyatakan bahwa Kiai Toha dan kelompoknya masih melakukan penyimpangan dalam beribadah. Antara lain, Kiai Toha melakukan salat Jumat tersendiri -- terpisah dan bergantian dengan umat Islam lain di Krecek. Sayangnya, ketua Perwakilan Lemkari Ja-Tim, Abdurrahman, mengelak untuk menjelaskan soal keluarnya Toha. Rabu pekan lalu di kantornya, ia cuma berkata, "Saya kok tidak mendengar tentang itu." Bukankah pihaknya yang memecat Toha? "Tidak, kami tidak akan sejauh itu. Maaf saya belum bisa berkomentar," katanya singkat. Benarkah Toha menyimpang? Ditemui TEMPO di desanya, ia menyangkal kalau kelompoknya disamakan dengan Islam Jamaah (IJ). Hanya, diakuinya, salat Jumat dan tiap waktu salat di desanya dilakukan dua kali: pertama oleh kelompok NU dan baru kelompoknya menyusul. Itu karena ia merasa punya hak atas masjid di Krecek itu. Masjid yang diberi nama Masjid Agung Bani Usman, menurut Toha, adalah wakaf dari kakeknya. "Di masjid ini setiap malam, sekitar tiga ratus orang menghadiri pengajian saya," kata Toha. Di Krecek pendukungnya sekitar seribu orang. Toha juga menyerukan agar jamaahnya keluar dari Golkar. "Sebab, Golkar tak pernah membela Lemkari meski diinjak-injak orang lain," katanya. Sejak Pemilu 1971, Lemkari memang mendukung Golkar. Toha sendiri mengaku pernah berkampanye bersama almarhum Ali Murtopo di Jakarta. Maka, ketika Golkar setuju dengan pembekuan Lemkari, Toha merasa "ditinggal". Untuk Pemilu 1992, ia akan menganjurkan jamaahnya mencoblos PDI dan bergiat di Majelis Muslimin Indonesia (MMI) -- wadah dakwah dan pengajian di lingkungan PDI. Ia memperkirakan sekitar 25 ribu anggota Lemkari Ja-Tim akan mengikuti jejaknya. Komentar Golkar? "Itu hak mereka," kata H.M. Said, Ketua DPD Golkar Ja-Tim. Ditegaskannya, sejak dulu Lemkari bukanlah "onderbouw" Golkar. "Yang masuk jadi anggota Golkar itu perorangan, bukan lembaganya," kata Said. Sebagai mitra pemerintah, Said menjelaskan, pihaknya harus selalu mendukung program pemerintah. "Kalau ada anggota yang melanggar hukum, ya, harus diambil tindakan," tandasnya. Pendapat lain soal larinya Toha ke MMI datang dari K.H. Misbach, Ketua MUI Ja-Tim. "Itu bukan penyelesaian. Kalau di PDI ia tak dapat perlindungan, pasti akan lari ke orpol atau ormas lainnya," katanya. Sebelumnya, Misbach menganjurkan anggota Lemkari masuk NU atau Muhammadiyah. Menurut sumber TEMPO, seorang anggota DPR/MPR dari PDI asal Kediri telah menyanggupi akan menampung Toha dan anak buahnya di MMI. Tampaknya, Toha memang hanya akan ganti baju saja. Karena, "Dakwah dan pengajian di sana akan tetap seperti di Lemkari dulu," ujar Kiai Toha terus terang. Toriq Hadad, M. Baharun, dan Herry Mohammad (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini