PERANG itu barangkali sebenarnya tak pernah meletus. Cerita yang disusun 2.600 tahun yang lalu dengan nama Iliad ini mungkin tak pernah benar terjadi. Hollywood memang pernah membuat Helen of Troy itu, tapi siapa mau percaya sebuah film Hollywood? Siapa pula mau percaya bahwa sebuah perang berlangsung selama 10 tahun hanya untuk merebut kembali seorang perempuan? Tapi mungkin itu justru kebesaran kisah seperti Iliad, hingga ia jadi bagian dari kesadaran Barat selama berabad-abad. Epos ini -- konon gubahan seorang penyair Yunani kuno dengan nama Homeros -- adalah sebuah puisi kepahlawanan yang berbicara tentang keberanian dan tekad. Tapi, pada saat yang sama, juga tentang takbiat yang brutal dan sikap yang semena-mena: kemanusiawian Achilles dan Odysseus, dua kesatria besar dalam Iliad, terasa mempesona, tapi sekaligus juga bisa terasa gila. Betapa bedanya dengan Ramayana Epos dari India ini juga bercerita tentang peperangan besar untuk merebut kembali seorang istri yang diculik. Tapi motif dasarnya kurang lebih bisa diterangkan dalam kaidah moral: Rama adalah kelurusan hati yang tak sempurna, Rahwana adalah kekuasaan yang ingin seluruhnya sempurna, hingga serakah. Dalam Iliad seperti itu tak begitu jelas. Memang, para kesatria dari pedalaman Yunani itu -- yang disebut sebagai orang-orang Achaea itu -- dilukiskan sebagai orang-orang yang bisa lembut hati dan solider. Tapi tokoh seperti Achilles, yang beratus tahun kemudian mengilhami Iskandar dari Macedonia, bisa menjengkelkan dan destruktif sekali. Perang untuk merebut kembali Putri Helena dari Kota Troya itu sebenarnya bisa cepat selesai seandainya Achilles sejak awal mau maju bertempur. Tapi tidak: ekstaria itu marah kepada rekannya, Agarmemnon. Orang ini telah merebut seorang budak kesayangan Achilles. Tak urung, Achilles pun meninggalkan kubu perang, dan bahkan dengan cara tertentu berkhianat: ia memohon kepada ibunya, peri laut Thetis, agar membujuk Dewa Zeus untuk memihak orang Troya. Cerita Iliad bahkan bermula dari kemarahan Achilles yang dahsyat. Perang telah sembilan tahun berlangsung. Kota Troya dengan temboknya yang tinggi -- tak juga dapat direbut. Para prajurit Yunani yang datang jauh-jauh ke kerajaan kota di wilayah Turki itu telah capek. Tapi Achillws tak hendak membantu. Ia bahkan sedang menunggu janji Zeus yang akan menitahkan api membakar kapal-kapal Yunani: harapan seorang pengkhianat terhadap orang sebangsa. Memang, kemudian Achilles memutuskan untuk maju. Ia berhasil membunuh Hector, kesatria dan pangeran Troya yang termasyhur itu, dan menyeret tubuh anak muda itu dengan keretanya, berkeliling perkemahan Yunani. Tetapi itu terjadi ketika kisah Iliad (yang terdiri dari 24 kitab sudah sampai ke buku yang ke-22, setelah begitu banyak korban jatuh, dan orang mungkin sudah tak tahu lagi buat apa sebenarnya Troya dikepung dan harus direbut. Toh perang tak segera selesai. Tanda-tanda keletihan ada di mana-mana. Bahkan sebenarnya sebelumnya telah terlihat di buku kedua. Pada suatu hari Agamemnon punya akal. Ia akan mengumumkan bahwa pengepungan Kota Troya dihentikan, dan kapal-kapal disiapkan berangkat kembali ke Yunani. Ia berharap bahkan pasukannya akan memprotes, karena mereka tak mau pulang sebelum berhasil menjarah kekayaan Troya. Tapi ternyata seluruh pasukan dengan gembira angkat kaki, menuju ke pantai. Termasuk para bangsawan dan pembesar, yang nampak begitu kepingin pulang dari sebuah perang yang sia-sia. Melihat itu, Odysseus membujuk. Ia mendatangi para pembesar pasukan. Dengan lidah licinnya yang termasyhur, ia meminta agar mereka tetap berada di kubu Yunani. Semua orang akhirnya bersedia berperang kembali. Kecuali satu. Tiba-tiba ada seseorang yang mengangkat suara marah, dan ternyata ia hanya seorang prajurit rendah yang buruk muka: Thersites. Kata orang, itulah suara rakyat pertama dalam dongeng Yunani kuno yang memprotes seorang penguasa yang tak lagi tahu batas. "Apakah yang masih tak memuaskan Tuan?" tanya Thersites kepada Odysseus. "Kemah-kemah Tuan telah penuh berisi tembaga dan wanita, yakni barang rampasan pilihan yang kami berikan kepada Tuan tiap kali kita merebut kota. Apakah Tuan masih lapar akan emas yang Tuan harapkan akan dibayar orang Troya nanti? Tak sepatutnyalah Tuan pemimpin kami, mencelakakan kami, dengan menyeret perang ini lebih lama, demi harta yang lebih banyak ...." Sidang terkejut. Tak ayal Odysseus pun menyeret Theristes, dan memukulinya sampai berdarah. Ia pasti tak akan memperlakukan Theristes begitu seandainya prajurit itu termasuk orang sekasta. Sebab, kalimat kecaman yang mirip toh juga pernah dikemukakan ke hadapan Agamemnon oleh Achilles. Tapi Iliad, dengan demikian, mengungkapkan apa yang kemudian berlaku: setiap Theristes harus membisu. Kesewenang-wenangan, tentu. Tapi para kesatria, dan bahkan para dewa, dalam Iliad bukanlah makhluk yang tanpa pamrih. Takbiat mereka bisa sangat berbahaya. Mungkin karena itulah orang Yunani bisa bicara tentang hubris, atau ketakaburan. Dan kemudian mereka menumbuhkan demokrasi. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini