SEBUAH berita pendek telah mendahului kedatangan Yasser Arafat di Amman, Yordania, akhir pekan lalu. "Arafat akan menerima Resolusi PBB 242 dengan syarat PLO dibolehkan ikut serta dalam satu konperensi perdamaian internasional untuk Timur Tengah," tulis harian berbahasa Arab, El-Quds, yang terbit di Yerusalem. Sumber berita tidak disebutkan, tapi pemimpin redaksi El-Quds adalah Mahmoud Abu Zalaf, bersama sejumlah tokoh Palestina, awal Desember ini berunding dengan Asisten Menlu AS Richard Murphy di kota suci itu. Tidak ada yang baru tentu saja, kecuali bahwa misi Murphy mulai aktif lagi. Satu sumber tepercaya di Washington menambahkan, AS bersedia menerima konperensi internasional untuk mengatasi konflik Timur Tengah, dengan catatan, Uni Soviet tidak mungkin berperan sebagai peserta. Alasannya: Moskow belum mencairkan hubungan diplomatik dengan Tel Aviv, sejak Israel melancarkan Perang Enam Hari, 1967. Bagaimana dengan PLO (Organisasi Pembebasan Palestina)? Akankah ia tampil sebagai pemeran utama atau bintang tamu di meja perundingan nanti? Atau cukup sebagai peninjau, ataupun cuma pemain di luar garis? Sampai di sini masalahnya menjadi ruwet. AS dan Israel sejak dulu bersikeras agar PLO di biarkan menunggu di luar garis. Kondisi ini rupanya tidak bisa ditawar-tawar lagi, bahkan termaktub dalam sebuah perjanjian. Kalaupun konperensi Timur Tengah itu nanti terlaksana, maka AS dan Israel menghendakinya sebagai konperensi terbatas, tanpa Uni Soviet dan RRC. Padahal, kesepakatan Februari lalu, Hussein-Arafat sebaliknya menggariskan, supaya konperensi itu dihadiri juga oleh semua anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB dengan PLO sebagai peserta yang statusnya setaraf. Pers Barat bisa saja menuduh Arafat "tidak pragmatis", tapi PLO memang tidak punya pilihan lain. "Kartu-kartu militer kami sudah tidak ada lagi," kata seorang tokoh PLO di Tunis. "Jika kartu politik kami juga dirampas, lalu apa lagi yang bisa kami pertaruhkan?" Washington bukan tidak memahami kegawatan posisi PLO, begitu pula Israel. Agar proses perdamaian tidak buntu sama sekali, PM Shimon Peres lalu mengadakan pendekatan pada Raja Hussein. Kedua pemimpin itu kabarnya berunding empat mata di London, bahkan Peres ingin berkunjung ke Amman, paling lambat Desember ini. Seiring dengan itu, Raja Hussein melancarkan terobosan ke Damaskus, demi mengakhiri sengketa Yordania-Syria yang berkecamuk sejak 1978. Harus diakui bahwa belakangan ini diplomasi mencatat kemajuan di Timur Tengah, bahkan pesat sekali. Dan itu terjadi hanya satu bulan sesudah Israel mengebom markas besar PLO di Tunis, yang berlanjut dengan pembajakan kapal pesiar Achille Lauro dan pembajakan Boeing 747 Egypt Air oleh AS. Tindakan Israel memang dikecam keras oleh mayoritas anggota PBB, tapi posisi PLO tampaknya sudah tidak tertolong lagi. Persis seperti tragedi Libanon, September 1982, kali ini Arafat juga mesti menelan pil yang terlalu pahit. Selain itu, Presiden Husni Mubarak, yang bermaksud mengamankan pembajak Palestina, justru dipermalukan oleh Presiden AS Ronald Reagan. Sesudah itu, situasinya benar-benar runyam. Apa yang dilakukan Yasser Arafat? Ia dikabarkan berkeliling mencari dukungan, terakhir muncul di Baghdad. Waktu itu Presiden Irak Saddam Hussein menaburkan sambutan hangat kepadanya. Walaupun banyak direpotkan oleh perang melawan Iran, Saddam tak lupa memberi dukungan pada Arafat. Dan ini tidak terbatas pada basa-basi. Terbukti Desember ini, dua bulan kemudian, ketika sekitar 300 staf PLO hijrah dari Tunis ke Baghdad. Tujuannya satu: mengembangkan strategi baru dengan mengandalkan perjuangan PLO pada kekuatan bersenjata. Berita itu kebetulan tidak beredar dalam media massa di Barat, walaupun yang menyiarkan sebuah kantor berita Inggris, Reuter. Andai kata berita itu benar, keputusan yang diambil Arafat cukup menggugah. Gerilyawan PLO kabarnya akan dilatih di Baghdad dengan ongkos yang seluruhnya ditanggung Irak. Sasaran utamanya, menjadikan Baghdad sebagai basis PLO terkuat, dan dalam rangka itu para gerilyawan memperoleh status sebagai tentara Irak. Praktek yang sama berlaku atas pejuang PLO yang ditempatkan di Yaman Selatan, basis terbesar PLO sesudah penumpasan Libanon. Irak, jelas, bukanlah basis yang ideal terlalu jauh dari Tepi Barat dan Jalur Gaza. Tapi dibandingkan dengan Tunis, Irak setidaknya lebih aman. Sumber PLO memastikan bahwa keputusan pindah itu sudah ditetapkan jauh sebelum pengeboman Tunis terjadi. Agaknya ini hanya dalih, kendati bukan rahasia bahwa orang-orang PLO memang tidak betah mangkal di negara Habib Borguiba itu. Sebagai tuan rumah, Tunis cukup ramah, tapi peraturan terlalu ketat. Mereka bersikap sedemikian rupa hingga gerilyawan PLO merasa bagaikan tinggal di karantina. Tidak heran jika otot-otot militer mereka semakin tidak berdaya. Sampai ke soal otot, semua negara Arab tampaknya lebih suka berdiam diri. Sejak Reuter mencanangkan tekad PLO kembali ke perjuangan bersenjata, belum satu pun komentar terlontar dari kubu mereka. Justru Menlu Cina, Wu Xueqian, yang angkat bicara Senin pekan lalu. Wu, yang awal tahun ini berkunjung ke Jakarta, mengajukan rencana empat pasal bagi penyelesaian konflik Timur Tengah. Ini diucapkannya di Yordania, satu dari empat negara Arab yang dikunjunginya. Dalam konperensi pers di Amman, Wu menyatakan dukungan bagi sebuah konperensi internasional. Keempat pasal yang dimaksudkannya ialah, pengunduran Israel dari semua wilayah yang didudukinya sejak 1967 pengakuan akan kedaulatan Palestina atas wilayah asal mereka pengakuan terhadap kedaulatan semua negara di Timur Tengah (implisit termasuk Israel), dan terakhir, Israel harus menanggalkan politik ekspansinya yang agresif. Wu berpesan bahwa sebuah konperensi perdamaian akan benar-benar mencarikan suatu pemecahan politik, apabila PLO sebagai wakil sah rakyat Palestina juga diikusertakan. Seperti halnya Raja Hussein, Menlu RRC itu condong pada konperensi berskala besar yang dihadiri semua pihak bersangkutan dan kelima anggota tetap Dewan Keamanan PBB, termasuk RRC dan Uni Soviet. Adakah ini semacam isyarat lagi? Boleh jadi. Soalnya, AS dan Israel hanya berminat pada sebuah konperensi terbatas, tanpa Soviet dan Cina, juga tanpa PLO. Prasyarat itu dipertahankan terus, karena AS dan Israel ingin agar keadaan status-quo seperti sekarang bisa berlanjut untuk beberapa tahun lagi. Dengan peluang emas seperti itu, Israel memperoleh kesempatan memperluas permukiman Yahudi di Tepi Barat, hingga akhirnya kelak tidak ada lagi wilayah tersisa bagi sebuah negara Palestina. Kalau sudah begitu, jalan menuju negara Palestina tidak lagi terentang panjang seperti yang tiap kali dikatakan oleh Arafat. Jalan itu justru akan tertutup sama sekali. Sebelum terjadi, Moskow menandaskan perlunya sebuah konperensi internasional untuk Timur Tengah. Soviet juga berpendapat, sebuah konperensi terbatas seperti yang diusulkan AS dan Israel tidak akan menyelesaikan masalah. Dan ini paralel dengan sikap Sekjen PKUS Mikhael Gorbachev yang menghendaki satu penyelesaian secara mendasar dan menyeluruh, tidak sektoral. Artinya, tidak cuma menguntungkan satu pihak saja, Israel misalnya. Terkesan di sini bagaimana Soviet memaklumkan dukungannya pada PLO secara hati-hati. Dan akhirnya, urusan PLO dipandang serius oleh Moskow, terutama sekali karena negara itu tidak mau kehilangan simpati negara-negara Arab. Tapi lebih dari itu Moskow tentu mengincar peran yang lebih besar, tidak seperti sekarang cuma bersekutu dengan Syria dan Libya. Sampai pada tahap ini, dengan simpati RRC dan Soviet, Arafat masih punya alasan untuk optimistis. Namun, pemimpin PLO ini juga menyadari bahwa Timur Tengah bukanlah gelanggang yang mudah diatur. Ia, misalnya, sudah beberapa kali membina hubungan dengan beberapa tokoh Israel, tapi akhirnya gagal. Pada 1970-an, seorang cendekia PLO yang bermukim di London dijadikan penghubung Arafat dengan Israel. Kontak itu belum lagi menampakkan titik-titik cerah, mendadak sang penghubung dibunuh. Harapan Arafat pun kandas. Awal tahun 1985, Arafat mencoba lagi upaya yang sama, tapi dia harus menerima pengeboman Israel sebagai hadiah. Sepintas diperoleh kesan bahwa Tel Aviv memang sama sekali tidak berminat pada penyelesaian politik. Kalaupun ada pimpinan politik Israel yang cukup kuat untuk memaksakan penyelesaian, hasilnya belum tentu baik bagi rakyatnya. Benar, mereka terbebas dari teror Palestina, tapi di khawatirkan sesama Yahudi akan baku hantam. Mengapa? "Semua pemain dalam pertarungan ini telah jadi korban retorika mereka sendiri, terkungkung oleh berbagai slogan dan ilusi yang mereka ciptakan sendiri," tutur Hanna Nasir, bekas tokoh PLO yang kini bermukim di Tepi Barat. Nasir bicara tentang dendam kesumat orang-orang Palestina akan sebuah negara merdeka di wilayah Israel sekarang. Bersamaan dengan itu, ia juga menyindir orang-orang Israel yang mendambakan kerajaan Yudea dan Samaria di abad modern. Kedua pihak jelas tidak dituntun oleh pikiran sehat. Bekas Menhan Ariel Sharon, arsitek penyerbuan Israel ke Libanon yang tersohor itu, bahkan ingin menukar mahkota dinasti Hashemit dengan sebuah republik Yordania. "Orang gila" ini bercita-cita mengusir semua orang Palestina dari Tepi Barat, tak lain agar gagasan Israel Raya bisa terwujud. Gagasan besar memang kerap menjerumuskan. Terdorong ambisi untuk menumpas PLO dan mengatur Libanon, Israel, pada Juni 1982, melancarkan Operasi Galilea yang mesti dibayar mahal sekali. Akibatnya, ekonomi negara itu merosot dan Kabinet Menachem Begin jatuh. Di pihak lain, basis PLO porak-peranda dan mereka mesti angkat kaki dari sana. Kejatuhan Libanon ini sudah diramalkan jauh sebelumnya oleh Arafat. Dia tahu betul bahwa sebaiknya PLO tidak membangun basis di Libanon. Negeri itu terlalu rawan, sekaligus terancam perang saudara dan serangan dari luar. Tapi pada saat PLO terusir dari Yordania, 1970, sedangkan Syria tidak sudi menerima mereka, maka Libanon menjadi pilihan satu-satunya. Bagi penduduk Beirut, keberangkatan kapal yang mengangkut 12.000 pejuang Palestina, Juli 1982, adalah satu pemandangan tak terlupakan. Inilah awal pemencaran dan perpecahan PLO, yang membanting organisasi perlawanan itu ke titik nol. Dalam keprihatinan seperti itu, oleh seorang tokoh penting, Arafat diperingatkan untuk tidak mohon bantuan ke negara Arab mana pun. Mengapa? Karena pada hakikatnya, tidak ada negara Arab yang bersedia membantu Palestina. Kalaupun sejumlah negara membuka pintu bagi mereka, itu cuma terdorong solidaritas belaka, tidak lebih. Diakui oleh seorang pejabat Israel bahwa terusirnya PLO dari Libanon tidak sampai membuat struktur politik organisasi itu hancur. Di negeri pembuangannya yang baru, dengan mengandalkan beberapa lembaga yang ada, mereka terus mengobarkan api perlawanan Palestina. PLO jelas mempersiapkan satu regenerasi bagi bangsa Palestina, tapi, pada saat yang sama, pembinaan ke dalam kurang diperhatikan. Ini terbukti dari pembangkangan Abu Musa, awal 1983. Akibatnya, AlFatah, kelompok gerilyawan terbesar dalam PLO, pecah dan kepemimpinan Arafat mulai goyah. Pembangkangan itu mencapai puncaknya dalam pengepungan Tripoli yang dilancarkan kelompok Abu Musa terhadap kelompok Arafat, November 1983. Berkat dukungan tentara dan senjata berat Syria, Musa berhasil mendepak pemimpinnya keluar dari Tripoli. Orang-orang pun bicara tentang tragedi PLO membantai PLO, suatu hal yang dibantah keras oleh Arafat. Dia sadar bahwa sejak dulu Syria berambisi menghancurkan atau kalau tidak, mengendalikan PLO. Yang tidak diperhitungkannya ialah likuidasi PLO dengan meminjam tangan PLO. Dengan demikian, PLO semakin terpulau di tengah-tengah masyarakat Arab. Dimusuhi Syria dan dicurigai oleh negara Arab lainnya, ruang gerak PLO makin sempit. Dalam kata lain, nasib PLO dan masa depan Palestina terombang-ambing oleh kepentingan berbagai negara yang berbeda-beda. Syria, misalnya, berambisi merebut kepemimpinan dunia Arab dengan memanfaatkan PLO. Yordania merasa paling berhak bicara tentang PLO, karena 60% penduduknya berdarah Palestina. Raja Hussein akan tidak ragu-ragu membantu PLO kalau dengan itu masa depan dinasti Hashemite terjamin. Jika tidak, sikapnya tentu lain lagi. Sementara itu, kelima negara Teluk curiga bercampur takut pada PLO, yang jika berhasil menegakkan negara Palestina kelak, cepat atau lambat, akan menularkan semangat demokratik ke jiwa rakyat mereka. Dan ini berbahaya. Memahami posisi PLO Israel bersikap semakin garang, sedangkan AS berkepentingan agar wilayah rawan itu tetap berada di bawah lingkungan pengaruhnya. Di pihak lain, Soviet menunggu peluang untuk kembali "bermain" di sana. Kondisi sosial-politik seperti itu pastilah sangat tidak menguntungkan PLO. Kenyataan bahwa mereka tidak punya basis teritorial mempersuram gambaran masa depan. Dan sesudah menelan dua pil pahit di Libanon, Arafat bagaikan orang berpijak di tali. Dan, kelompok garis keras adalah biang perpecahan yang paling rajin merongrong Arafat. Dalam sidang komite eksekutif PLO, Januari 1984, tiga kelompok meninggalkan ruangan, dan kembali ke Damaskus. Mereka adalah Front Demokratis untuk Pembebasan Palestina (DFLP) yang dipimpin Nayef Hawatmeh Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) yang dipimpin George Habbash dan Partai Komunis Palestina (PCP). Dua kelompok boneka Syria, yakni Saiqa dan Front Populer untuk Pembebasan Palestina yang dipimpin Ahmed Jibril, sudah sejak awal memboikot sidang. Dalam sidang Dewan Nasional Palestina (PNC), November 1984, kelompok Musa yang jadi antek Syria menolak hadir. Saat itu resmilah perpecahan dalam tubuh PLO, suatu kenyataan yang mestinya lebih memudahkan Arafat bergerak. Ternyata, pemimpin PLO mesti ekstra waspada, karena musuh sudah disebarkan Syria di mana-mana. Seorang di antaranya adalah Ahmed Jibril, kaki tangan Presiden Syria Hafez Assad, yang selalu gagal kalau ditugasi membunuh Arafat. Tercerai-berai dan miskin dalam persenjataan, selama dua tahun saja PLO sudah kehilangan cengkeramannya. Organisasi itu bukan lagi ancaman serius bagi Israel, tap anehnya tetap saja dianggap berbahaya. Dalam upaya untuk tetap bertahan, pucuk pimpinan PLO menyusun strategi baru, yang bertumpu pada perjuangan diplomasi. Saat itulah Arafat mulai lagi mendekati Raja Hussein dan Presiden Husni Mubarak. Tapi dalam tempo singkat pemimpin PLO menyadari bahwa, tanpa dukungan militer, perjuangan di gelanggang diplomasi akan sia-sia saja. Apalagi di pentas Timur Tengah. Seorang cendekia Palestina Dr. Rashid Khalidi berkomentar, "Tidak ada substitusi lain untuk kekuasaan tanpa itu semua unsur menjadi tidak berharga." Dan sekarang, kekuasaan itu ada di tangan AS dan Israel. Sekalipun begitu, masih ada dua peluang terjulur ke arah PLO pada pertengahan 1985. Pertama, ketika Raja Hussein merintis perundingan langsung Israel-Palestina. Waktu itu, PM Israel Shimon Peres tampak begitu antusias hingga yakin 99,99% bahwa perdamaian sudah di tangan. AS sebaliknya menyatakan keberatan berunding dengan PLO dan menuntut yang non-PLO. Melihat ketegaran sikap Washington, PM Inggris Margaret Thatcher kemudian merintis prakarsa lain. Dalam upaya melakukan terobosan, agar terbuka celah hingga PLO bisa diterima di meja perundingan, London mengundang dua wakil Palestina untuk berunding. Kedua tokoh itu, Uskup Elia Khoury dan Mohammed Milhem, lalu diutus ke London. Tapi, Inggris kemudian berubah sikap. Tiba-tiba mereka menyodorkan komunike yang harus ditandatangani oleh kedua wakil Palestina itu. Dalam komunike, antara lain, tercantum bahwa Palestina menolak perjuangan bersenjata, suatu klausul yang ditafsirkan sebagai prasyarat oleh mereka. Dengan alasan itu, komunike tidak ditandatangani dan perundingan pun batal. Menlu Inggris Sir Geoffrey Howe mempersalahkan utusan Palestina, sedangkan para pengamat kasak-kusuk tentang adanya "tekanan keras Amerika". Sesudah Israel melancarkan pengeboman maut terhadap markas PLO di Tunis, sebuah tajuk The New York Times bertanya: kapan Israel mau menahan diri dan coba mengambil risiko dengan berunding? Harian ini semestinya mengirimkan pertanyaan serupa kepada pemerintah Amerika. Bagi PLO dan Arafat "pembuangan" ke Tunis sudah dirasakan sebagai pukulan berat, apalagi pengeboman markas yang menewaskan banyak pejuang Palestina. Apa kata Arafat? "Pada saya ada sejumlah dokumen yang membuktikan adanya persekongkolan antara Israel dan AS dalam serangan udara itu." Tapi pembajakan Achille Lauro dan pembunuhan terhadap Leon Klinghoffer telah dimanfaatkan Presiden Ronald Reagan untuk mencampuradukkan pembantaian dengan tindakan pembalasan. Sedangkan teror yang dilancarkan Abu Abbas - yang sampai kini belum terbukti tuntas - langsung divonis hingga tertutup sama sekali kesempatan dari AS (yang punya kuasa) bagi PLO (yang tidak berdaya). Bahwa organisasi gerilyawan itu akhirnya terpaksa "menyerah" terbukti pada Deklarasi Kairo, yang intinya berisikan ikrar PLO untuk tidak melancarkan teror di luar wilayah Israel. AS mungkin terhibur sejenak dengan ikrar semacam itu, hanya untuk kemudian merasa terganggu dengan ikrar PLO yang lain, yang memaklumkan tekad mereka untuk kembali pada perjuangan bersenjata. Adakah ini awal strategi baru PLO? Mungkin saja. Bukankah perjalanan masih panjang? Dan Arafat pernah berpesan bahwa pejuang Palestina tidak boleh menyerah. Bahwa mereka harus menjadi teladan ... bahwa mereka sama sekali tidak berhak mengkhianati generasi masa depan. Isma Sawitri Laporan kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini