MUNGKIN penyanyi dan pencipta musik Live Aid itu jadi nongol di Indonesia. Bukan untuk main musik, tapi untuk protes sampai tuntutannya dipenuhi: seluruh hasil penjualan kaset Band Aid dan Live Aid disumbangkan ke Etiopia. Soal kaset bajakan itu memang masih berbuntut panjang. Bahkan Rabu pekan lalu, Menteri Kehakiman Ismail Saleh, setelah bertemu dengan Asosiasi Perekam Nasional Indonesia dan Asiri - dua asosiasi rekaman - merasa perlu memberikan keterangan pers. Album rekaman pertunjukan hidup untuk amal Etiopia itu, kata Ismail, diedarkan di Indonesia hanya 100.000 buah. Sedangkan yang beredar di luar negeri kira-kira juga cuma 63.000. "Hal ini penting diungkapkan, karena di luar negeri juga beredar kaset-kaset bukan produk Indonesia. Tapi berlabel Indonesia. Jadi kaset ini buatan negeri lain, dan jumlahnya lebih banyak dari kaset produk kita yang beredar di sana," ucap Ismail Saleh. Atas dasar perhitungan jumlah itulah, pada 25 Desember nanti, menurut rencananya, pihak perekam kaset Indonesia akan menyumbangkan uang sejumlah Rp 30.000.000 ke Etiopia. Jumlah kaset yang disebut Menteri itu memang berbeda dengan versi Bob Geldof. Menurut sumber dia, pembajakan kedua album itu meliputi ratusan ribu kaset senilai US$ 6 juta. Dan pajak yang telah dipetik dari kaset itu, katanya, meliputi setidaknya US$ 300.000 atau lebih dari Rp 300 juta. Maka, mendengar ihwal sumbangan yang akan disampaikan tepat pada hari peringatan lahirnya Kristus sang Juru Selamat itu, James Wolsey, Ketua Asosiasi Anti Pembajakan Kaset Rekaman Inggris, cuma ketawa. Wolsey juga tetap yakin bahwa dua album bajakan itu diproduksi beratus ribu, sebab ia memperoleh informasi kaset tersebut laris bagaikan kacang goreng. Dari mana orang Inggris itu memperoleh informasi, tak begitu jelas. Sebab, dari sebuah toko kaset di Jakarta yang terbilang besar, katanya dua album itu seret penjualannya. "Yang beli kebanyakan orang asing, dan orang asing di sini 'kan tidak banyak," kata seorang pemilik toko itu. Mungkin dia benar, tapi berapa jumlahnya yang pasti tak disebutkannya dengan jelas. Yang disebutnya pasti, stok 20 kaset telah diambil kembali oleh produsennya, beberapa hari yang lalu. Dari perusahaan rekaman itu sendiri, yang dengan sangat minta disembunyi-kan identitasnya, mengakui, bahwa dia ikut-ikutan merekam dua album itu supaya "tidak ketinggalan zaman saja". Sebab, dan ini mungkin benar, beberapa lagu dalam dua album itu adalah lagu rock yang sudah lampau masa hits-nya. Tapi berapa dia memproduksi dua album itu, pun tak jelas. Dan bagaimana menghitung jumlah produksi itu, sungguh ini juga memerlukan detektif tersendiri. Bajak-membajak rekaman kaset di Indonesia bukan cerita baru, dan belum pernah terungkap dengan jelas. Karena itu, soal jumlah poduksi bajakan dua album itu bisa menimbulkan debat tak berkeputusan. Benar, lewat Dirjen Pajak barangkali bisa ditelusuri jumlahnya. Semenjak kaset dihiasi pita cukai, seharusnya jumlah produksi rekaman tiap pabrik rekaman bisa diketahui. Produsen harus minta izin dulu, sembari membeli cukai, berapa kaset rekaman hendak diproduksi. Benar, cukai itu dibayarkan ketika kaset masih kosong, alias untuk merekam lagu yang mana, tak bisa langsung diketahui. Tapi dengan menghitung seluruh produksi kaset, logikanya, akan diketahui jumlah dua album bajakan yang menghebohkan itu. Tapi, sudah jadi rahasia umum, bahwa pita cukai pun konon dibajak. Mau apa? Masalah ini tentu saja tak pernah diketahui si Geldof itu dan kawan-kawannya. Mereka hanya tahu bahwa selain pembajak itu yang mengeruk keuntungan, pemerintah Indonesia juga telah menikmati cukai dari kaset bajakan itu. Jadi? Mungkin memang Bob Geldof akan muncul di sini. Kata Ismail Saleh kepada Moebanoe dari TEMPO: "Dia orang tak tercatat sebagai yang dilarang masuk ke Indonesia. Jadi, silakan saja." Sampai jumpa, Bob.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini