Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mengapa ia harus pergi ?

Presiden taiwan chiang ching-kuo meninggal dunia. lee teng-hui menggantikan sebagai pejabat presiden. taiwan kehilangan seorang pembaru yang memperkenalkan demokrasi. dinasti chiang akan berakhir.

23 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN kaca mata tebal, perawakan sedang, dan wajah yang selalu siap tersenyum, ia bukanlah pemimpin yang membuat orang gentar ketakutan. Selama tiga tahun terakhir masa hidupnya, ia tampil di mana-mana di atas kursi roda -- satu hal yang menerbitkan simpati dan rasa iba. Tak sedikit pun tebersit kesan hebat -- seperti yang selalu diperagakan oleh ayahnya: Jenderal Chiang Kai-shek. Sebaliknya, Chiang Chmg-kuo tampak rapuh, hidup dengan alat pacu jantung, sementara kesehatannya dirontokkan oleh diabetes. Namun, ketika berita kematiannya disiarkan Rabu pekan lalu, rakyat seperti tidak rela. Mereka tertegun, kehilangan seorang pemimpin yang bijak, punya visi, dan bersikap pragmatis. Selama 10 tahun masa pemerintahannya, ia membebaskan Taiwan dari UU Darurat yang sudah berlaku 38 tahun. Ia Juga mengizinkan pendirian partai oposisi, penerbitan koran swasta, dan terakhir membolehkan warga Taiwan asal Cina pulang menjenguk kampung halamannya di RRC. Meninggal pada usia 77 tahun, Chiang Ching-kuo telah menaburkan benih-benih demokrasi, sesuatu yang hampir tak dikenal selama ini. Tanpa "liberalisasi" yang diprakarsainya, belum tentu Taiwan terbebas dari citra "kediktatoran militer", yang selama ini melembaga dalam tubuh dinasti Chiang. Demonstrasi kini sudah merupakan hal biasa, dan Wakil Presiden Lee Teng-hui, seorang penduduk asli Taiwan, kini menggantikannya sebagai pelabat presiden. Apa yang disebut sebagai "Taiwanisasi" -- memberi peran lebih besar pada penduduk asli Taiwan yang jumlahnya 80% dari 20 juta penduduk Taiwan - telah membuat Chiang Ching-kuo amat populer d~ kalangan rakyatnya. Untuk menghormati tokoh pembebas ini, ditetapkan masa berkabung selama satu bulan dan upacara pemakaman kenegeraan secara besar-besaran, 30 Januari mendatang. Rumah Sakit Veteran di Taipei, tempat mendiang dirawat, segera saja dipenuhi oleh massa yang menyampaikan belasungkawa. Jalan dan ruang muka rumah sakit itu penuh dengan bunga, sedangkan di luar, ratusan pendeta Budha mengucapkan mantra buat Almarhum. Taipei, yang biasanya hiruk-pikuk itu, tiba-tiba saja menjadi tenang. Orang berkeliaran di jalan dengan mengenakan baju warna gelap. Tempat-tempat hiburan dan bioskop tutup, televisi hanya keluar dengan siaran hitam-putih. Dan itu pun hanya menayangkan film dokumenter yang menggambarkan Chiang bercakap-cakap dengan petani, orang kebanyakan, dan anak-anak. "Saya tak lagi bisa memasak jiaozi, makanan favoritnya," kata seorang pedagang pinggir jalan yang memasang meja belasungkawa di warungnya. Untuk beberapa orang yang dekat dengan Almarhum, kehilangan itu begitu memukul. Chang Kan-chung, 60 tahun, sopirnya selama 20 tahun terakhir ini, terisak-isak mengatakan, "Mengapa ia harus pergi? Ia memperlakukan saya jauh lebih baik ketimbang ayahku sendiri." Banyak juga veteran Kuomintang dalam perang saudara Cina, yang rata-rata usianya 70 tahun, menangis. Malah ada yang pingsan ketika kematian itu diumumkan. Meninggalnya Chiang menyebabkan harga saham di pasar modal Taiwan merosot tajam. Para penanam modal menjual saham-sahamnya, dan indeksnya jatuh sebanyak 61.77 angka. Hari itu pasar sa~ham ditutup pada angka 2.414,42. Tapi Menteri Perekonomian Lee Ta-hai berpendapat, itu hanya suatu gejala sementara saja. Begitu kepanikan hilang, keadaan akan normal kembali. Seperti umumnya kepergian seorang tokoh penuh karisma dan memonopoli panggung politik semasa hidupnya, kematian Chiang Ching-kuo menimbulkan tanda tanya besar. Pertanyaan yang langsung mencuat adalah bagaimana kelanjutan "dinasti Chiang." Karena anaknya Chiang Hsiao-wu -- lahir dari ibu orang Rusia -- menyatakan tak punya ambisi politik, diduga tongkat kepemimpinan akan diperca~yakan pada Chiang Wego. Dia adalah saudara tiri Ching-kuo, berpangkat jenderal pada angkatan darat Taiwan. Kehidupannya sedikit misterius. Baru-baru ini ia diangkat sebagai sekretaris jenderal Dewan Keamanan Nasional, suatu jabatan yang mengurus masalah intel dan keamanan dalam negeri. Ia, kata beberapa pengamat, akan memegang peranan penting dalam perkembangan politik dan militer di negara pulau itu. Tapi Chiang sendiri telah mengesampingkan kemungkinan berlanjutnya "dinasti Chiang" di Taiwan. Dalam suatu pidato yang disampaikan tak lama sebelum kematiannya, ia mengatakan bah~wa program reformasi politik akan dilanjutk~an. Penunjukan seorang presiden dan pejabat tinggi pemerintah lainnya, kata Chiang lagi, harus didasarkan pada konstitusi dan asas-asas demokrasi. Kalau pidato itu diikuti, tradisi menunjuk seorang pemimpin tampaknya akan ditinggalkan. Pelantikan Wakil Presiden Lee Teng-hui sebagai pejabat presiden segera setelah Chiang meninggal tnemperkuat dugaan itu. Isu lain yang berkembang adalah kepemimpinan dalam Kuomintang (KMT) sebagai partai pelopor. Banyak pengamat berpendapat bahwa Presiden Lee Teng-hui lebih merupakan teknokrat ketimbang politikus. Lalu ada spekulasi KMT akan dipimpin oleh sebuah koalisi, terdiri dari Presiden Lee Teng-hui, Sekjen KMT Lee Huan, Perdana Menteri Yu Kuo-hua, dan Kepala Staf Angkatan ~Bersenjata Hau Peitsun. Aneh, nama Chian~ We-~o tidak disebut-sebut. Mungkinkah ia berperan tanpa memegang jabatan resmi, seperti Deng Xiaoping di RRC? Apa pun penilaian orang tentang Chiang Ching-kuo, ia akan diingat sebagai tokoh yang memperkenalkan reformasi politik. Langkah-langkahnya telah membawa udara segar dalam kehidupan politik di sana. Adalah golongan oposisi, terutama Partai Demokrasi Progresif (DPP), yang sangat mencemaskan nasib program liberalisasi sesudah Chiang mangkat. Dikhwatirkan oleh DPP, faksi kolot KMT akan bersekongkol dengan faksi militer dan intelijen, untuk memutar kembali jarum jam ke zaman prareformasi. Tapi pihak penguasa menjamin bahwa itu tak akan terjadi. Deputi Sekretaris KMT, Ma Ying-jeou, mengatakan, "Kami percaya saatnya telah sampai bagi kita, untuk maju dengan kecepatan penuh ke arah tahap demokrasi konstitusional yang lebih maju.' Dengan ajakan dan ancaman halus yan~g datang dari kaum komunis di daratan pemerintah Taiwan, bagaimanapun, tidak bisa lagi menunda-nunda proses demokrati sasi yang telah dipelopori Almarhum Chian~ Ching-kuo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus