P~ERDANA Menteri Jepang Noboru Takeshita, yang dikatakan tidak "lihai bicara tapi lebih suka bekerja", telah datang ke Washington dengan selusin janji. Dalam pembicaraan dengan Presiden AS ~Ronald Reagan di Gedung Putih, Selasa lalu, ia bersikap bagaikan sahabat sejati. Takeshita berusaha mengobati luka lama yang mengganjal hubungan dagang negaranya dengan Amerika: defisit neraca perdagangan. Untuk diingat, tahun lalu perdagangan Amerlka dengan Jepang mengalami defisit US$ 60 milyar atau sepertiga lebih dari seluruh defisit neraca perdagangannya yang mencapai US$ 170 milyar. Janji terpenting adalah, kerelaan Takeshita membuka kesempatan bagi industri konstruksi Amerika, untuk ambil bagian dalam pelaksanaan proyek-proyek pekerjaan umum, yang dalam tahun fiskal 1987-1988 dianggarkan 6 trilyun yen. Selama ini proyek-proyek itu praktis tertutup sama sekali blgi kontraktor asing. Tak t~nggung-tanggung pula,~ yang ditawarkan adalah proyeknya yang paling prestisius dan terbesar: pembangunan Kansai Science City (Kota Ilmu Kansai) di osaka, dan perluasan bandar udara Haneda di Tokyo, yang kelak akan dijadikan bandar udara termodern di dunia. Selain itu, Takeshita juga berjanji akan membuka 10 dari 12 item produk pertanian yang diproteksi. Ini tentu tak lepas dari desakan para anggauta GATT (General Agreement on Tariff and Trade), yang menuduh proteksi kesepuluh item itu tidak sah, lantaran tak dianggap sebagai kebutuhan pokok, misalnya juice nanas dan tomat. Dan khusus untuk memenuhi permintaan Reagan, Jepang akan membuka pasar daging dan jeruk bulan April mendatang. Tapi kalau dilihat sudut kepentingan AS, usaha keras Reagan membuka pasar Jepang hanyalah sebagai senjata politik untuk menarik suara dari para petani Amerika. Pasalnya, meski Jepang mencabut kesepuluh item proteksi untuk produk pertaniannya, paling banter hanya bisa mengurangi defisit AS sebesar USS 200 juta per tahun. Padahal, dalam sebulan saja, November lalu, misalnya, defisit perdagangannya dengan Jepang masih sebesar US$ 4,4 milyar. Sebenarnya, yang cukup menggiurkan adalah kesediaan Jepang membeli gas alam dari Alaska. Sayangnya, ladang gas itu dikelilingi lautan es. Maka, Amerika harus membangun jaringan pipa baru, untuk mengantar gas itu ke pelabuhan Valde~. Itu pun masih harus dilengkapi dengan pembangunan kilang dan tanker. "Biaya seluruhnya bisa mencapai US$ 10 milyar," ujar Mead Treadwell, pejabat dari Yukon Pacific Corp., yang mengeksploitasi ladang gas di sana. Nah, siapa berani menanam modal sebesar itu, kalau pasar goyang terus. Masalahnya sekarang, bagaimana kalau penawar yang diulurkan Takeshita ternyata tak manjur. Di sini kebanyakan pengamat sepakat: Pemerintah Reagan akan terus menurunkan nilai dolar, supaya barang impor jadi mahal, dan industnnya bisa bersaing di pasar internasional. Sedang untuk terus menekan Jepang supaya membuka pasarnya, toh telah terbukti bahwa di pasar Jepang, produk Amerika tetap kewalahan menghadapi barang lokal. Contohnya, mobil. Sejak beberapa tahun lalu, Jepang menghapuskan sama sekali pajak impor segala macam mobil, tapi mobil Amerika tetap tak laku. Bukan saja karena ukurannya agak terlalu besar, modelnya sering ketinggalan. Belum harga dan perawatannya yang pasti lebih mahal. Kini, sejak makin kencangnya yendaka menggilanya nilai yen -- mobil Jepang memang lebih mahal, tapi toh tetap tak menolong mobil impor. Demikian pula dengan nasib barang-barang konsumen lainnya, kendati bekas Perdana Menteri Yasuhiro Nakasone pernah berdemontrasi dengan memakai dasi impor di depan umum. "Ketinggalan teknologi," itulah kesimpulan yang kini dengan pahit diakui oleh para politikus dan industrialis Amerika. Karena itu, tim perunding Reagan kerja keras menekan Jepang agar menyusun Pakta Kerja Sama Ilmu dan Teknologi, yang akhirnya ditandatangani dalam pertemuan puncak Rabu lalu. Tujuannya, agar kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi Jepang lebih terbuka bagi ilmuwan Amerika. Dan Amerika tentu saja memilih bidang-bidang teknologi yang bisa diandalkan dalam zaman industri mendatang. Misalnya superkonduktor, komputer generasi kelima, teknologi informasi, dan bioteknologi. Di bidang-bidang itu Amerika belakangan ini memang makin tercecer di belakang Jepang. Bayangkan, bidang semikonduktor, yang dianggap industri strategis bagi ekonomi dan sekuriti Amerika, kini mulai dikangkangi Jepang. Sekitar 45% pasar dunia berada di tangan Jepang, bahkan untuk jenis paling canggih -- cip 256K DRAM -- sudah 90% yang dicaplok. Sedangkan instrumen radar penangkap sinyal satelit, 80% tertulis made in Japan. Perang dagang Amerika lawan Jepang sebenarnya mulai menunjukkan lampu merah tahun 1971, ketika defisit perdagangannya dengan Jepang mencapai US$ 3,2 milyar. Bersamaan dengan merosotnya kekuatan cadangan devisanya, yang pada tahun 1972 tinggal 8,3% dari seluruh cadangan dunia (tahun 1969: 20,1%). Sejak itulah Amerika gembar-gembor menuduh Jepang melakukan politik banting harga dan makin ketat melancarkan proteksi. Termasuk kuota tekstil dan mobil serta tarif khusus bagi berbagai produk elektronik. Tapi kenyataan tetap makin runyam. Posisi keuangan AS makin kocar-kacir. Negeri superkuat itu kini malah sudah menjadi ne~geri pengutang terbesar di dunia. Sampai tahun lalu, utang luar negeri AS mencapai US$ 230 milyar, sementara defisit anggaran belanjanya US$ 145 milyar. Tak mengherankan kalau Amerika memilih langkah proteksionistis, kendati defisit perdagangan globalnya November lalu anjlok 25% menjadi US$ 13,22 milyar. "Tapi perdagangan jasa dan arus modal belum dihitung," ujar Clayton Yeutter, dari komisi perdagangan Amerika. Bertolak dari kenyataan itu, wajar kalau tekad Reagan-Takeshita, bahwa mereka akan men~koordinasikan kebijaksanaan ekonomi dan meningkatkan kontrol nilai tukar mata uang, banyak dianggap sebagai pemanis bibir. Maklum, sampai hari ini nilai dolar masih terus anjlok. Dan para industrialis juga sudah siap menghadapi tantangan itu, dengan membangun benteng produksi dan pemasaran di sana. Sejumlah raksasa indsutri Jepang, seperti Honda, Sony, Toyota, Matsushita, Mitsubishi, sejak beberapa tahun lalu sudah membangun pabrik di sana. Praginanto, kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini