Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Penyelidikan Kasus Anak Harus Rahasia

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia menilai ada pelanggaran serius dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Luwu Timur. Mengabaikan pengakuan korban.

16 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti di Kantor KPAI, Jakarta, 21 Oktober 2020./TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • KPAI berharap polisi mencari visum pembanding kasus di Luwu Timur.

  • Pelaku kekerasan seksual anak umumnya orang dekat.

  • Mayoritas pelayanan terhadap korban belum memuaskan.

KASUS kekerasan seksual tiga anak berusia di bawah 10 tahun di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, membetot perhatian Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti. Ia menyoroti penanganan kasus tersebut di kepolisian yang dianggap tidak prosedural. Itu sebabnya ia meminta perkara ini dibawa ke Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan atau Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. "Kami menyesalkan penyebaran identitas korban," kata Retno kepada Tempo, Jumat, 15 Oktober 2021.

Bagaimana Anda melihat kasus dugaan kekerasan seksual anak di Luwu Timur?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kami sudah berkoordinasi dengan sejumlah lembaga negara untuk mengetahui duduk persoalan kasus itu. Informasi yang kami peroleh nantinya akan kami dalami dalam forum gelar perkara. Ini penting agar kami bisa mengetahui apakah polisi sudah bersikap profesional dan menjamin pemenuhan hak sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak. Tugas kami mengawasi proses itu.

Apakah KPAI menemukan pelanggaran prosedur?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kami belum punya cukup petunjuk untuk menilai apakah polisi sudah bertindak profesional atau tidak. Yang kami sesalkan adalah penyebarluasan identitas para korban di berbagai media sosial. Ini jelas pelanggaran serius Undang-Undang Perlindungan Anak. Informasi itu mestinya dirahasiakan polisi ataupun para pihak yang berkepentingan dalam penyelesaian kasus tersebut.

Apa tanggapan Anda tentang polisi yang mengabaikan pengakuan korban?

Pengakuan itu satu alat bukti. Kesaksian para anak dan penjelasan ibu korban merupakan petunjuk awal yang mestinya bisa digunakan polisi untuk mendalami ada-tidaknya peristiwa kekerasan seksual. Masalah dalam kasus ini muncul karena hasil visum dianggap tidak memenuhi unsur pembuktian. Karena itu, pengujian ulang diperlukan, atau mencari alat bukti lain.

Ada opsi menguji visum?

Opsi itu semestinya terbuka karena banyak pihak meragukan hasil pemeriksaan visum fisik dan psikologis para korban. Polisi punya prosedur standar operasi untuk mencari visum pembanding dengan melibatkan tim ahli yang lain. Agar tak memunculkan polemik baru, tim itu harus bekerja secara independen dan disepakati oleh ibu korban dan kuasa hukumnya.

Mengapa kasus kekerasan seksual anak sulit diproses?

Keterbatasan alat bukti. Dalam banyak kasus, peristiwa kekerasan seksual baru dilaporkan ke polisi setelah bertahun-tahun. Ini menyulitkan pembuktian. Bahkan tak sedikit korban gamang membuat laporan itu karena dianggap aib keluarga. Memidanakan ayah pelaku kekerasan mereka hindari dengan alasan dia tulang punggung keluarga. Ini yang bahaya.

Bagaimana tingkat kejahatan seksual terhadap anak saat ini?

Kasus yang kami monitor selama setahun terakhir sangat terbatas karena pandemi Covid-19. Selama ini anak kerap menjadi korban kekerasan karena mudah dibujuk dan diancam. Itu tergambar dari data 2019. Korban kekerasan seksual anak umumnya mereka yang berada di rentang usia sekolah dasar. Pelakunya orang dekat. Bisa anggota keluarga atau guru.

Upaya rehabilitasi para korban sudah berjalan?

Peran yang dijalankan dinas sosial tiap pemerintah daerah selama ini jauh dari kata memuaskan. Jangankan yang tidak melapor, yang melapor saja belum mendapatkan layanan secara tuntas. Padahal kekerasan seksual punya dampak trauma yang panjang. Jika anak yang menjadi korban, orang tua juga harus menanggung beban psikologis.*

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus