Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENONTON film di bioskop bagi warga Arab Saudi bukan hanya butuh tiket masuk. Itu pula yang dialami Abdulaziz Marei Alshehri, warga Kota Jeddah, Arab Saudi, ini. Mahasiswa 21 tahun itu harus pergi ke negeri tetangga, seperti Bahrain, awal musim panas April lalu. "Saya pergi ke Bahrain untuk menonton film di bioskop," katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Bersama tiga temannya, Abdulaziz pergi ke Manama, ibu kota Bahrain, yang terpaut jarak lebih dari 1.400 kilometer, dengan menumpang burung besi. Selama dua pekan, mahasiswa Jurusan Geologi Kelautan di King Abdulaziz University itu berlibur, berwisata kuliner, dan mencicipi sensasi menonton bioskop. "Ada tiga film yang kami tonton, yang paling menyenangkan adalah Fast and Furious 8 (The Fate of the Furious)," ujarnya.
Sejak muncul jadwal tayang Fast and Furious 8, hasrat Abdulaziz untuk menonton film idolanya itu di layar perak begitu menggebu. Namun ia tak bisa seketika mendatangi bioskop. Sebab, bioskop absen nyaris di seluruh penjuru Saudi. Abdulaziz kudu melongok ke negeri seberang, seperti yang dilakukan warga Saudi lainnya selama tiga dasawarsa terakhir. "Saya beberapa kali ke Bahrain dan Dubai untuk menonton film," kata Abdulaziz.
Setelah 35 tahun, pemerintah Saudi mencabut larangan izin untuk bioskop komersial, dua pekan lalu. Meski mendapat tentangan dari ulama dan kaum konservatif, Putra Mahkota Muhammad bin Salman menghidupkan layar perak sebagai bagian dari reformasi kerajaan. Kelompok garis keras, yang menilai film asing sebagai ancaman terhadap identitas budaya dan Islam, berperan dalam penutupan bioskop di Saudi pada 1980-an.
Bioskop pertama bakal menayangkan film pada awal Maret tahun depan. "Membuka bioskop akan merangsang pertumbuhan dan diversifikasi ekonomi," kata Menteri Kebudayaan dan Informasi Awwad bin Saleh Alawwad, seperti diberitakan Reuters.
Menurut Alawwad, pembukaan akses bioskop juga merupakan upaya kerajaan untuk mengubah wajah Saudi menjadi lebih moderat. Sebelumnya, Riyadh mengizinkan konser musik, pertunjukan komedi, dan memperbolehkan perempuan menyetir mobil sendiri. "Dengan mengembangkan sektor budaya, kami akan menciptakan kesempatan kerja dan pelatihan baru serta memperkaya pilihan hiburan," ucapnya.
Bagi para penikmat sinema di Saudi, menonton bioskop di negeri sendiri adalah hasrat terpendam. Sementara penggila film Hollywood di Jakarta bisa langsung mendatangi bioskop terdekat dari rumah atau kantor, warga Saudi terpaksa melipir ke negeri orang. Abdulaziz, misalkan, harus memesan tiket pesawat demi menyaksikan akting Vin Diesel, Jason Statham, dan Charlize Theron dalam film laga yang penuh aksi kebut-kebutan itu.
Dari Jeddah di pesisir barat, Abdulaziz terbang selama hampir tiga jam membelah padang gurun Saudi menuju Bahrain. Ia merogoh kocek hingga 1.100 riyal atau sekitar Rp 4 juta untuk tiket pergi-pulang. Itu belum termasuk ongkos penginapan, makan, dan kebutuhan lain. Padahal, "Harga tiket bioskopnya paling mahal 100 riyal (sekitar Rp 360 ribu)," ucap Abdulaziz.
Seperti Abdulaziz, Tyas Ikhsan juga berburu bioskop ke Bahrain. Hanya, ia tidak sampai menumpang pesawat. Tyas, 30 tahun, warga Indonesia di Dhahran-kota di pesisir timur Saudi-cukup mengendarai mobil ke Manama, yang berjarak 70 kilometer. "Saya biasanya di City Center Mall," kata Tyas, yang terakhir kali menonton film The Hitman’s Bodyguard.
Tyas juga kudu mengeluarkan duit ekstra. Ia membayar tol sebesar 25 riyal (sekitar Rp 90 ribu) untuk sekali melintasi King Fahd Causeway-jembatan sepanjang 25 kilometer yang menghubungkan Saudi dengan Bahrain. Begitu masuk Bahrain, ia kembali merogoh 25 atau 30 riyal untuk asuransi mobil. "Itu belum tiket bioskop, minuman, dan popcorn, ya," tuturnya.
Untuk bisa kembali ke Dhahran, Tyas mesti mengantongi visa keluar-masuk. "Bayar Rp 1,8 juta untuk multiple entry dan berlaku selama tiga bulan," ujarnya. Menurut Tyas, visa ini wajib dimiliki orang non-Saudi yang bermukim di wilayah kekuasaan Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud itu. "Dulu murah. Sekarang Saudi butuh duit, jadi ada skema baru."
Abdulaziz dan Tyas adalah orang-orang asal Saudi yang mengejar hiburan ke negeri seberang. Saban hari, ada 35 ribu penikmat film Saudi yang mengunjungi Bahrain dan Uni Emirat Arab. Mereka rata-rata menghabiskan 1.200 riyal (sekitar Rp 4,3 juta). "Sebanyak 93 persen dari semua tiket bioskop di Bahrain dibeli orang Saudi," begitu menurut Arab News.
Faisal Alharbi, sutradara asal Jeddah yang menggarap film National Dialogue, mengatakan bioskop seperti roh masyarakat Saudi. "Bioskop membuat orang melihat kenyataan, cerminan hidup mereka di layar," ucapnya, seperti dikutip Gulf News. Lewat filmnya, Alharbi memotret dilema sosial kaum muda Saudi yang berjuang mencari pasangan yang tepat.
Di mata pemerintah Saudi, ada potensi duit menguap yang cukup besar dari kebiasaan warganya berpelesir ke negeri seberang. "Orang Saudi menghabiskan lebih dari Rp 13 triliun untuk menonton film di Bahrain dan Dubai, Uni Emirat Arab," begitu diberitakan Al Arabiya News. Riyadh tidak ingin duit sebanyak itu merembes keluar dari Arab Saudi.
Di tangan Pangeran Salman, yang memimpin reformasi ekonomi dan sosial Saudi, setiap riyal kini sangat berharga. Apalagi perekonomian Saudi masih ngos-ngosan akibat harga minyak global anjlok sejak 2014. Lewat program "Visi 2030", putra mahkota berusia 32 tahun itu menggeber sumber pendapatan baru bagi Saudi di luar minyak.
Bermacam jaringan bioskop telah lama mengincar ceruk pasar sinema di Saudi. Apalagi 70 persen dari 32 juta penduduk kerajaan itu berusia di bawah 30 tahun. "Dengan penetrasi Internet tertinggi, populasi muda ingin gaya hidup modern," kata Alain Bejjani, Chief Executive Officer Majid al-Futtaim, perusahaan asal Dubai yang menaungi Vox Cinema.
Saudi bukan tanpa bioskop sama sekali. Menurut Tyas, sebenarnya ada dua bioskop. Pertama, bioskop di kompleks perusahaan minyak Saudi Aramco di Dhahran. Kedua, bioskop di lingkungan kampus King Abdullah University of Science and Technology di Thuwal di tepi Laut Merah-sekitar 80 kilometer di sebelah utara Jeddah.
Namun kedua bioskop itu tidak terbuka untuk publik. "Khusus untuk penghuni kampus dan pegawai Aramco," ucap Tyas. Selain akses terbatas, film-film yang diputar sering terlambat tayang. "Filmnya lawas. Ada yang telat beberapa bulan hingga dua tahun," ujarnya. Itu sebabnya Tyas memilih ke Bahrain. "Filmnya jauh lebih update."
Di Bahrain, dahaga para penikmat film asal Saudi benar-benar terpuaskan. Negara pulau di tenggara Dammam, kota terbesar di pesisir timur Saudi, itu memiliki belasan sinepleks-gedung bioskop dengan lebih dari satu layar. Dari Al Jazeera Cineplex yang dilengkapi dua layar hingga Seef Cineplex dengan 16 layar. "Bioskopnya dijejali orang Saudi," ucap Tyas.
Meski deretan sinepleks di Bahrain memanjakan mata dan telinganya, Abdulaziz tetap antusias menyambut bioskop perdana di tanah airnya. "Saya senang karena tak perlu lagi mengeluarkan uang ekstra untuk tiket pesawat," ujarnya mendengar langkah terbaru pemerintah. Bioskop juga memberi Abdulaziz pilihan hiburan yang baru selain menonton film lewat televisi atau streaming via Internet.
Mahardika Satria Hadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo