DI Damaskus, Yasser Arafat terjerumus. Meninggalkan basis PLO
yang terkepung musuh (baca: Suriah) di Lemah Bekaa seraya
merelakan pos Anjar jatuh ke tanan pemberontak, sang pemimpin,
pertengahan pekan lalu, menyelinap dari Tripoli (Libanon) ke
Damaskus. Tapi justru di sini, ia dipermalukan.
Maksud Arafat datang untuk berunding dengan tokoh-tokoh PLO.
Tapi belum sampai 24 jam, ia sudah diusir Pemerintah Suriah.
Seorang perwira menengah dikirim kepadanya hanya untuk
menyampaikan pesan: "Tuan Arafat, Anda tidak disukai di sini."
Pagi esoknya, pemimpin PLO tersebut diiring ke mobil
limousine-nya yang antiperuru, langsung menuju bandar utara. Dan
satu jam kemudin, pesawat yang ditumpangi Art bertolak ke
Tunis. Hingga dia tidak sempat bertemu Menteri Luar Negeri Arab
Saudi Pangeran Saud Al-Faisal yang khusus datang untuk
menjembatani pihak-pihak bermusuhan dalam Al-Fatah.
Menurut kantor berita resmi Suriah, Sanaa, Arafat diusir karena
ia telah menyebarkan berita bohong dan memfitnah Suriah.
Pemimpin Al-Fatah yang merangkap pemimpin PLO itu memang
menuduh Damaskus berdiri di belakang kaum pemberontak yang
anti-Arafat. Tapi tuduhan itu bukan tidak beralasan. Barisan
tank Suriah memperkuat kelompok pemberontak sampai berhasil
mengusai jalan raya Beirut-Damaskus. Akibatnya didapan pos
Al-Fatah yang pro-Arafat disapu bersih. Korban tercatat: 10
tewas, dan 30 ditangkap. Sedang sisanya mundur ke Chtaura, 45 km
di timur Beirut.
Tidak cuma itu yang diperbuat Suriah. Kiriman perbekalan untuk
orang-orang Palestina dari Tripoli ke Bekaa disabot mereh pula.
Terakhir, tentara Suriah dikabarkan mengepung basis PLO di
Lembah Bekaa, tanpa bisa dicegah oleh para pemimpin
negara-negara Arab.
Dukungan dunia Arab yang selama ini diperoleh Arafat ternyata
tidak cukup kuat untuk menyelamatkannya dari pengusiran Suriah.
Padahal dukungan itulah yang diperjuangkannya sejak
pemberontakan anti-Arafat menggerogoti Al-Fatah dua bulan
berselang. Hingga Arafat, yang terguncang menghadapi krisis
perpecahan dalam organisasi gerilyawan yang dipimpinnya,
akhirnya bicara pahit. "Jika dunia Arab siap untuk sebuah
Massada bagi orang Palestina, ya silakan," ucapnya getir.
Massada terkenal dalam sejarah sebagai benteng terakhir orang
Yahudi yang bertarung mati-matian menghadang pembantaian tentara
Romawi.
Apakah memang sebuah Massada yang dipilih Arafat? Tampaknya
tidak. Ungkapan itu mungkin sekadar mengimbau simpati yang lebih
besar untuk nasib Palestina.
Tentang pengusirannya, Arafat menuduh Suriah yang punya rencana
jahat bersama Libya. Akan halnya Qaddafi memang sejak tragedi
Beirut Buat, menentang keras sikap lunak Arafat. Dikabarkan dari
Libanon, pasukan tank Libya terlihat membantu pemberontak Abu
Musa dalam bentrokan memperebutkan basis PLO yang pro-Arafat.
Namun, pemimpin PLO ini cuma menuding Presiden Suriah Hafes
Assad, tanpa menyinggung Qaddafi.
Setelah pengusiran yang memberi malu itu, tak ayal lagi
pertentangan Assad-Arafat berubah jadi permusuhan terbuka. Bukan
rahasia bahwa kedua pemimpin tersebut sejak lama saling menjegal
di bawah permukaan. Assad berkepentingan menguasai PLO,
setidaknya supaya lebih diperhitungkan, oleh AS dan dunia Arab.
Sedang Arafat berkepentingan untuk mengutuhkan PLO, demi sebuah
negara Palestina yang merdeka.
Sekarang keadaan dalam tubuh PLO telanjur rumit, tidak
terkecuali bagi pemberontak Abu Musa. Jika semula ia tidak
setuju pada sikap lunak dan kepemimpinan tunggal Arafat, maka
kini ia bisa dituduh telah ditunggangi kepentingan-kepentingan
politik Suriah. Motivasi pemberontakannya bisa dinilai bangsa
Palestina sebagai tidak murni lagi.
Dalam keadaan berantakan begitu apa yang dapat dilakukan Arafat
dari Tunis? Tidak akan mudah lagi baginya mempersatukan PLO
meski ia memilih jalan damai lewat sidang Dewan Revolusioner
Palestina yang akhirnya batal. Dan kegagalannya mengendalikan
Musa telah melemparkan PLO ke posisi paling lemah khususnya
dalam menghadapi Israel. Tidak salah jika Menteri Luar Negeri
Israel Yitzhak Shamir berhta: "Pertentangan dalam tubuh PLO,
justru menguntungkan Israel."
Benar, riwayat kepemimpinan Arafat belum akan segera tamat.
Namun kelompok garis keras PLO punya peluang untuk berperan
lebih banyak. Apalagi dengan dalih "persatuan PLO", kelompok
Hawatmeh dan George Habbash menyatakan lebur jadi satu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini