GUBERNUR baru ini sipil. Lagi pula putra daerah. Dan profesor.
Ia, Prof. Dr. Achmad Amiruddin, 50 tahun, yang Rabu pekan lalu
dilantik Menteri Dalam Negeri Soepardjo Roestam sebagai Gubernur
Sulawesi Selatan menggantikan Brigjen Andi Oddang. Suasana
upacara di ruang sidang DPRD Sulawesi Selaun pagi itu akab.
Barangkali lantaran Amiruddin dan Soepardjo teman lama.
Ketika Amiruddin menjadi ketua Jurusan Kimia Uniersitas
Kebangsaan Malaysia (1970-1973), Soepardjo menjabat Dubes RI di
Kuala Lumpur. Tak heran bila seusai upacara, senyum dan tawa
cerah sering muncul. Ketika Amiruddin mengganti pakaian upacara
dengan seragam barunya sebagai gubernur, Soepardjo membantu
membetulkan tanda jabatan sahabatnya itu.
Dalam kata sambutannya Soepardjo menekankan hakikat kekuasaan.
"Hakikat menjalankan pemerintahan ialah mengabdi rakyat. Bukan
rakyat yang harus mengabdi pemerintah. Pemerintah daerah
merupakan pamong, memberi pengayoman, perlindungan kepada
seluruh rakyat," kata Menteri Dalam Negeri dengan nada suara
tinggi melenghng, agak serak. Di lain bagian Menteri Dalam
Negeri menilai kepemimpinan Oddang sebagai berhasil.
Banyak kalangan di provinsi itu berusaha mempertahankan Oddang.
Namun, seperti diungkapkan Ketua DPD Golkar Sulawesi Selatan
H.M. Arsyad, karena daerah ini dinilai "cukup aman" maka sudah
waktunya kepemimpinannya dialihkan ke tangan sipil. "Itulah
sebabnya Golkar mencalonkan Prof. Dr. Amiruddin," katanya.
Sebelumnya, sarjana kimia ITB yang pernah menjadi Rektor Unhas
ini adalah Deputi Ketua BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi). Karir Amiruddin dari dunia ilmu meloncat ke bidang
pemerintahan, tidak perlu mengagetkan. Sebelumnya sudah ada,
misalnya, Almarhum Prof. Madjid Ibrahim (Daerah Istimewa Aceh).
Bahkan kini Prof. Mantra pun masih Gubernur Bali. "Saya memang
orang baru dalam kepamongprajaan. Tapi masalahnya kan hanya soal
kepemimpinan," kata Amiruddin.
Tampaknya ia optimistis. Meski begitu ia menyadari menghadapi
tantangan berat. Beberapa aparat daerah ini -- yang terlibat
manipulasi dana reboisasi -- telah "diobrak-abrik" oleh Kepala
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Baharuddin Lopa yang dikenal
dengan "Operasi November" itu. Namun dengan gaya seorang
pendidik Amiruddin berkata: "Saya datang bukan mencari kesalahan
dan menghukum, tapi untuk mendidik dan memperbaiki."
Repotnya, daerah berpenduduk lebih dari 6 juta jiwa yang hendak
diperbaiki Amiruddin ini, dananya banyak tergantun dari pusat.
Pendapatan aslinya tak banyak. Komoditi ekspornya terbatas pada
hasil tambak udang. Tak heran bila Andi Oddang pernah bertekad
mengalihkan produksi pertanian daerahnya dari monokultur menjadi
polikultur. Selain cengkih, dikembangkan tanaman keras lain
seperti, cokelat, kapas, kelapa hibrida, kelapa sawit.
Amiruddin sendiri belum bersedia membeberkan rencananya. "Kalau
saya beberkan, jangan-jangan kelak tidak cocok dengan yang
diinginkan rakyat," katanya. Ia ingin mempelajari dulu keinginan
rakyat lantas menyelesaikannya dengan sumber daya yang tersedia.
"Dalam hal ini saya ingin lebih mendayagunakan Bappeda, yang
hendaknya dibantu sepenuhnya oleh perguruan tinggi," katanya
lagi.
Gubernur ahli kimia yang menggondol gelar doktornya di
Universitas Kentucky, AS (1961), punya kesukaan baca buku,
"terutama mengenai kepemimpinan dan manajemen", dan main tenis,
tetap. Berasal dari Desa Gilirang, Kecamatan Wajo, cara hidupnya
masih sederhana. Pukul 08.00 sudah berada di kantornya,
Amiruddin masih merasa rikuh dibantu ajudan. Tas kerjanya masih
dijinjingnya sendiri, pintu mobil dibuka dan ditutupnya sendiri.
Ia nampaknya tak menyukai protokoler, sampai kini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini