KEADAAN di Ethiopia sejak "kup tak berdarah" September 1974 yang
lalu makin semrawut. Terutama dengan makin meluasnya kegiatan
gerilyawan Eritrea di propinsi bekas jajahan Portugis yang ingin
memisahkan diri.
Pemerintah militer radikal kiri Ethiopia di bawah Letnan Kolonel
Mangistu Haile-Mariam dewasa ini sedang mengadakan persiapan
militer untuk mengadakan operasi umum ke Eritrea. Kesiap-siagaan
militer ini diadakan antara lain dengan mendirikan suatu pusat
latihan di suatu tempat dekat Addis Ababa yang dapat menampung
200.000 orang.
Kantor-kantor konsulat asing di Asmara - kota utama di Eritrea -
diperintahkan untuk tutup. Wartawan asing pun diinstruksikan
untuk meninggalkan tempat itu. Dikatakan oleh Reuter tindakan
ini diambil agar kerahasiaan persiapan militer itu tidak bocor.
Boleh Dikatakan Kacau
Keadaan di Eritrea sendiri dewasa ini boleh dikatakan kacau. Di
kalangan gerilyawan yang menentang pemerintah pun terjadi
perpecahan. Sejumlah orang bersenjata menamakan diri mereka EDU
(Persekutuan Dernokrasi Ethiopia). EDU anti Marxist, mengaku
dirinya "Liberal" dan "demokratis". Mereka berakar di kalangan
para petani kecil di Utara (Negre, Toyam, Bagember) dan mendapat
dukungan dari Sudan serta beberapa kalangan di Eropa.
Kemudian ada pula ELF (Front Pembebasan Eritrea) yang punya
pengikut besar api terpecah-pecah dalam beberapa kelompok. Di
dalamnya ada ELF yang scbagian besar terdiri dari orangorang
Islam yang sejak lama menguasai dataran rendah yang berbatasan
dengan Laut Merah. Ada pula FPLE (Front Populer Pembebasan
Eritrea) yang didominir orang-orang Kristen. Kelompok ini
menguasai daerah pegunungan sekitar Asmara dan mengaku dirinya
sebagai Marxis. Mereka menganggap ELF sebagai kelompok korup
reaksioner yang didukung para kepala suku Islam.
Ada lagi PLF (Front Pembebasan Rakyat) yang di bawah pimpinan
Osman Saleh Sabbe. PLF muncul sebagai akibat perpecahan di
barisan Kristen. Itu terjadi karena keinginan Osman Sabbe untuk
bekerja sama dengan ELF, tapi sebagian besar pemberontak Kristen
tak menyetujui kebijaksanaannya dan Osman terpaksa memisahkan
diri.
Surat kabar terkemuka Perancis, Le Monde mengabarkan bahwa
kelompok-kelompok gerilya yang saling bertentangan ini "akan
berusaha memperkecil perbedaan paham dengan cara mengadakan
pertemuan puncak di Khartoum dalam bulan ini". Apabila mereka
bisa bersatu, terang merupakan kesulitan besar bagi pemerintah
pusat.
Belum lagi masalah Eritrea teralasi, di bagian tenggara negara
itu berkecamuk pula suatu perjuangan gerilya. Di sana, suatu
kelompok pemberontak yang dibantu oleh Somalia sejak lama
berjuang untuk pembebasan diri dari Asmara untuk kemudian
bergabung dengan Somalia. Pertempuran dikabarkan sudah sering
terjadi di bagian tenggara Ethiopia itu. Memang tidak separah
keadaan di Eritrea, tapi kemungkinan kerja sama kaum gerilya itu
bukan hal istimewa, mengingat Somalia dan Sudan, dua negara yang
masing-masing memberi bantuan pada gerilya-gerilya itu,
mempunyai hubungan yang mesra.
Yang juga meminta banyak perhatian pemerintah pusat di Asmara
adaIah keinginan mendesak Uni Soviet untuk mendapatkan pangkalan
militer di negaa itu setelah Mesir mengusir armada Soviet dari
Iskandaria. Pada saat yang sama, negara-negara Arab dengan Saudi
Arabia sebagai negara minyak terkaya sebagai sponsornya,
bertekad pula mengamankan pantai seputar Laut Merah dari
kemungkinan jadi tempat bercokolnya pangkalan asing. Kehendak
Saudi Arabia serta negara-negara Arab lainnya jelas akan sangat
bertentangan dengan kehendak Uni Soviet maupun Israel. Soviet
sendiri sudah mempunyai beberapa pangkalan di kawasan itu, yakni
di Yaman Selatan dan Somalia. Jika saja Ethiopia bisa memberi
tempat bagi Soviet pintu masuk laut Merah akan sempurna dikuasai
Moskow.
Kunjungan Mangistu Haile Mariam ke Moskow pekan silam memang
menimbulkan kecurigaan negara-negara Arab dan Amerika Serikat
akan kemungkinan berhasilnya usaha Soviet itu. Tapi sejauh yang
bisa diketahui secara luas, cuma perjanjian persahabatan
Moskow-Asmara (disertai bantuan senjata, tentu saja) yang
dihasilkan kunjungan itu. Negara-negara Arab tidak tinggal diam.
Dengan kekuatan minyak dan petro dollar, Yaman dan Somalia
kabarnya sudah mendapat tekanan berat dari Saudi Arabia untuk
menjauhkan diri dari Moskow.
Keputusan Washington menghentikan bantuan militer kepada
Ethiopia beberapa bulan silam jelas menempatkan negeri almarhum
Kaisar Haile Selassi itu dalam posisi sulit untuk menolak
permintaan Moskow. Sebelum Ethiopia, Somalia yang bertetangga
dengan Ethiopia sudah terlebih dahulu jatuh ke tanngan Soviet.
Karena tidak ada negara yang bersedia membantu keinginan Somalia
mempersatukan bagian-bagian negaranya yang diduduki antara lain
oleh Ethiopia, Uni Sovietlah yang dimintai bantuan. Angkatan
Bersenjata Somalia dibangun dan dipersenjatai dengan hebat,
sebagai imbalannya, Angkatan Laut Rusia mendapat pangkalan besar
di pantai timur Afrika.
Tapi sebelum berhasil mendapatkan pangkalan di Ethiopia, Soviet
sudah terlebih dahulu mendapat sakit kepala di Somalia. Presiden
Somalia, Ziad Barre, sudah dengan terbuka menyatakan
kedongkolannya terhadap kehendak Moskow membantu Ethiopia, musuh
utama Somalia. Uni Soviet yang tahu betul mengenai soal ini,
bulan Maret yang lalu meminta jasa baik Presiden Fidel Castro
untuk membujuk Ethiopia dan Somalia agar meninggalkan
pertentangan mereka. Pertemuan yang dilangsungkan di Aden itu
kemudian tidak menghasilkan persetujuan yang dikehendaki Moskow.
Kegagalan Moskow itu kini sedang dimanfaatkan oleh negara-negara
Arab yang terus membujuk Yaman dan Somalia agar menarik diri
dari pelukan Soviet serta berusaha memperkecil pengaruh Israel
di Ethiopia sembari mempertahankan laut Merah bebas dari
pengaruh Soviet maupun Israel.
Proses membujuk itu kini masih berlangsung, bersamaan waktunya
dengan herkecamuknya pertempuran di berbagai wilayah Ethiopia.
Akan halnya keinginan Moskow untuk mangkal di Ethiopia, proses
pun sedang berjalan. Besar dugaan bahwa jika Adis Ababa terus
menerus terpojok, kehendak Moskow itu akan menjadi hal yang
tidak sulit untuk menjadi kenyataan. Paling tidak,
laporan-laporan dari Adis Ababa sudah menyebut adanya sejumlah
penasehat militer Kuba di negara itu. Moskow yang tidak suka
terlalu memprovokasi Washington, sejak tahun silam memang
bermain di bumi Afrika dengan mnggunakan pasukan Kuba sebagai
pionnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini