Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Menoleh Ke Moskow

Keadaan politik di Ethiopia masih bergejolak. Pemerintah militer hasil KUP 1974, kini, menghadapi gerilyawan separatis di Eritrea. Nampaknya negara ini bakal jatuh dalam pelukan Rusia.

21 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEADAAN di Ethiopia sejak "kup tak berdarah" September 1974 yang lalu makin semrawut. Terutama dengan makin meluasnya kegiatan gerilyawan Eritrea di propinsi bekas jajahan Portugis yang ingin memisahkan diri. Pemerintah militer radikal kiri Ethiopia di bawah Letnan Kolonel Mangistu Haile-Mariam dewasa ini sedang mengadakan persiapan militer untuk mengadakan operasi umum ke Eritrea. Kesiap-siagaan militer ini diadakan antara lain dengan mendirikan suatu pusat latihan di suatu tempat dekat Addis Ababa yang dapat menampung 200.000 orang. Kantor-kantor konsulat asing di Asmara - kota utama di Eritrea - diperintahkan untuk tutup. Wartawan asing pun diinstruksikan untuk meninggalkan tempat itu. Dikatakan oleh Reuter tindakan ini diambil agar kerahasiaan persiapan militer itu tidak bocor. Boleh Dikatakan Kacau Keadaan di Eritrea sendiri dewasa ini boleh dikatakan kacau. Di kalangan gerilyawan yang menentang pemerintah pun terjadi perpecahan. Sejumlah orang bersenjata menamakan diri mereka EDU (Persekutuan Dernokrasi Ethiopia). EDU anti Marxist, mengaku dirinya "Liberal" dan "demokratis". Mereka berakar di kalangan para petani kecil di Utara (Negre, Toyam, Bagember) dan mendapat dukungan dari Sudan serta beberapa kalangan di Eropa. Kemudian ada pula ELF (Front Pembebasan Eritrea) yang punya pengikut besar api terpecah-pecah dalam beberapa kelompok. Di dalamnya ada ELF yang scbagian besar terdiri dari orangorang Islam yang sejak lama menguasai dataran rendah yang berbatasan dengan Laut Merah. Ada pula FPLE (Front Populer Pembebasan Eritrea) yang didominir orang-orang Kristen. Kelompok ini menguasai daerah pegunungan sekitar Asmara dan mengaku dirinya sebagai Marxis. Mereka menganggap ELF sebagai kelompok korup reaksioner yang didukung para kepala suku Islam. Ada lagi PLF (Front Pembebasan Rakyat) yang di bawah pimpinan Osman Saleh Sabbe. PLF muncul sebagai akibat perpecahan di barisan Kristen. Itu terjadi karena keinginan Osman Sabbe untuk bekerja sama dengan ELF, tapi sebagian besar pemberontak Kristen tak menyetujui kebijaksanaannya dan Osman terpaksa memisahkan diri. Surat kabar terkemuka Perancis, Le Monde mengabarkan bahwa kelompok-kelompok gerilya yang saling bertentangan ini "akan berusaha memperkecil perbedaan paham dengan cara mengadakan pertemuan puncak di Khartoum dalam bulan ini". Apabila mereka bisa bersatu, terang merupakan kesulitan besar bagi pemerintah pusat. Belum lagi masalah Eritrea teralasi, di bagian tenggara negara itu berkecamuk pula suatu perjuangan gerilya. Di sana, suatu kelompok pemberontak yang dibantu oleh Somalia sejak lama berjuang untuk pembebasan diri dari Asmara untuk kemudian bergabung dengan Somalia. Pertempuran dikabarkan sudah sering terjadi di bagian tenggara Ethiopia itu. Memang tidak separah keadaan di Eritrea, tapi kemungkinan kerja sama kaum gerilya itu bukan hal istimewa, mengingat Somalia dan Sudan, dua negara yang masing-masing memberi bantuan pada gerilya-gerilya itu, mempunyai hubungan yang mesra. Yang juga meminta banyak perhatian pemerintah pusat di Asmara adaIah keinginan mendesak Uni Soviet untuk mendapatkan pangkalan militer di negaa itu setelah Mesir mengusir armada Soviet dari Iskandaria. Pada saat yang sama, negara-negara Arab dengan Saudi Arabia sebagai negara minyak terkaya sebagai sponsornya, bertekad pula mengamankan pantai seputar Laut Merah dari kemungkinan jadi tempat bercokolnya pangkalan asing. Kehendak Saudi Arabia serta negara-negara Arab lainnya jelas akan sangat bertentangan dengan kehendak Uni Soviet maupun Israel. Soviet sendiri sudah mempunyai beberapa pangkalan di kawasan itu, yakni di Yaman Selatan dan Somalia. Jika saja Ethiopia bisa memberi tempat bagi Soviet pintu masuk laut Merah akan sempurna dikuasai Moskow. Kunjungan Mangistu Haile Mariam ke Moskow pekan silam memang menimbulkan kecurigaan negara-negara Arab dan Amerika Serikat akan kemungkinan berhasilnya usaha Soviet itu. Tapi sejauh yang bisa diketahui secara luas, cuma perjanjian persahabatan Moskow-Asmara (disertai bantuan senjata, tentu saja) yang dihasilkan kunjungan itu. Negara-negara Arab tidak tinggal diam. Dengan kekuatan minyak dan petro dollar, Yaman dan Somalia kabarnya sudah mendapat tekanan berat dari Saudi Arabia untuk menjauhkan diri dari Moskow. Keputusan Washington menghentikan bantuan militer kepada Ethiopia beberapa bulan silam jelas menempatkan negeri almarhum Kaisar Haile Selassi itu dalam posisi sulit untuk menolak permintaan Moskow. Sebelum Ethiopia, Somalia yang bertetangga dengan Ethiopia sudah terlebih dahulu jatuh ke tanngan Soviet. Karena tidak ada negara yang bersedia membantu keinginan Somalia mempersatukan bagian-bagian negaranya yang diduduki antara lain oleh Ethiopia, Uni Sovietlah yang dimintai bantuan. Angkatan Bersenjata Somalia dibangun dan dipersenjatai dengan hebat, sebagai imbalannya, Angkatan Laut Rusia mendapat pangkalan besar di pantai timur Afrika. Tapi sebelum berhasil mendapatkan pangkalan di Ethiopia, Soviet sudah terlebih dahulu mendapat sakit kepala di Somalia. Presiden Somalia, Ziad Barre, sudah dengan terbuka menyatakan kedongkolannya terhadap kehendak Moskow membantu Ethiopia, musuh utama Somalia. Uni Soviet yang tahu betul mengenai soal ini, bulan Maret yang lalu meminta jasa baik Presiden Fidel Castro untuk membujuk Ethiopia dan Somalia agar meninggalkan pertentangan mereka. Pertemuan yang dilangsungkan di Aden itu kemudian tidak menghasilkan persetujuan yang dikehendaki Moskow. Kegagalan Moskow itu kini sedang dimanfaatkan oleh negara-negara Arab yang terus membujuk Yaman dan Somalia agar menarik diri dari pelukan Soviet serta berusaha memperkecil pengaruh Israel di Ethiopia sembari mempertahankan laut Merah bebas dari pengaruh Soviet maupun Israel. Proses membujuk itu kini masih berlangsung, bersamaan waktunya dengan herkecamuknya pertempuran di berbagai wilayah Ethiopia. Akan halnya keinginan Moskow untuk mangkal di Ethiopia, proses pun sedang berjalan. Besar dugaan bahwa jika Adis Ababa terus menerus terpojok, kehendak Moskow itu akan menjadi hal yang tidak sulit untuk menjadi kenyataan. Paling tidak, laporan-laporan dari Adis Ababa sudah menyebut adanya sejumlah penasehat militer Kuba di negara itu. Moskow yang tidak suka terlalu memprovokasi Washington, sejak tahun silam memang bermain di bumi Afrika dengan mnggunakan pasukan Kuba sebagai pionnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus