NURULLAJI Nur Misuari ternyata tak sanggup menembus OKI (Organisasi Konperensi Islam). Berdirinya pemerintahan sementara Republik Bangsa Moro (RBM), yang diumumkan oleh pemimpin gerakan separatis Moro itu Senin dua pekan lalu, tak membuat negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI lalu mengakuinya. Langsung di hari pertama pertemuan OKI di Amman, Yordania, Senin pekan lalu, lamaran RBM untuk menjadi anggota penuh OKI ditolak. Menteri Luar Negeri Yordania Taher Al Masri, yang memimpin sidang OKI, menganggap RBM belum memenuhi syarat sebuah negara. Tampaknya Cory Aquino - lewat Juan Saez, Duta Besar Filipina di Yordania sukses melobi Raja Yordania untuk menggunakan pengaruhnya mementahkan permohonan RBM. Kata Saez, wilayah Moro termasuk dalam kedaulatan Filipina. Itu berbeda misalnya dengan perjuangan bangsa Palestina, yang memang dijajah. Maka, Saez memahami seruan OKI yang mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk memerdekakan Jalur Gaza dan wilayah Tepi Barat Sungai Yordan. Ini memang urusan diplomasi. Di Manila, kemudian, Menteri Luar Negeri Filipina Manglapus memberikan gong: "OKI menganggap masalah Moro masalah dalam negeri Filipina." Tapi negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI, tampaknya, tak hanya karena lobi Saez lalu menolak RBM. Bisa jadi mereka khawatir, menerima Moro sama saja dengan memicu kemelut di negeri sendiri. Sebab, negara-negara itu pun punya hubungan rawan dengan kelompok minoritas. Antara lain Irak dengan suku Kurdi, atau Mesir dengan kelompok masyarakat berkulit hitam dekat perbatasan dengan Sudan. Toh, tak sepenuhnya Organisasi Konperensi Islam melupakan saudara-saudara mereka di Filipina. OKI juga mengeluarkan pernyataan menyesalkan pemerintah Filipina yang gagal memberi hak otonomi Moro sesuai dengan perjanjian Tripoli, 1976. Dalam perjanjian itu sudah disepakati bahwa 13 provinsi di Filipina Selatan menjadi daerah otonomi bagi Moro. Jawab Juan Saez, itu tidak benar. Kegagalan di situ hanyalah kegagalan perundingan. Jika Sabtu pekan lalu Cory lalu membentuk yang disebut Regional Consultative Committee (RCC) dengan tugas menyusun RUU Otonomi Moro di Filipina Selatan, agaknya ini membuktikan kesungguhan pemerintah Filipina untuk menyelesaikan masalah Moro secara damai. Tapi bisakah MNLF, Front Kemerdekaan Nasional Moro, yang secara defacto memang berkuasa di sebagian besar wilayah Filipina Selatan, bisa menerima RCC yang 23 dari 44 anggotanya mewakili muslim Moro ? Belum ada suara. Yang jelas, sekitar 200 orang Moro melakukan demonstrasi, menolak RCC, ketika komite itu dilantik oleh Presiden Cory di Cotabato, Filipina Selatan. Nur Misuari, orang pertama di MNLF, selama ini memang bersikap bersedia bekerja sama dengan pemerintah Fiipina. Tapi gagalnya perundingan tahun lalu membuat Misuari berubah. "Apa boleh buat, tak ada pilihan lain. Kami cuma minta wilayah otonomi, itu pun gagal," tuturnya ketika diwawancarai TEMPO, sehabis perundingan yang buntu tahun lalu itu. Sebelum perundingan, tahun itu juga ada yang disebut Jeddah Accord. Selain 13 provinsi yang disebut akan memperoleh otonomi dalam perjanjian Tripoli, dalam Jeddah Accord ditambah 10 provinsi. Tapi tiba-tiba pemerintah Manila minta diadakan plebisit sebelum hak otonomi diberikan kepada Moro. Jelas itu akan merugikan bagi Moro yang minoritas. Tipisnya kepercayaan Misuari kepada Cory itulah yang mendorong dia mengumumkan berdirinya pemerintahan sementara RBM yang berdaulat. Apalagi kebijaksanaan pemerintahan Cory tampaknya bagaikan pedang bermata dua. Perubahan organisasi angkatan bersenjata Filipina pekan lalu mengesankan konsentrasi tentara dititikberatkan di selatan, di wilayah Moro. Prg.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini