Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cesar Gonzalez, 60 tahun, rambutnya memutih perak. Lebih dari 30 tahun silam, ia naik gunung, mengangkat senjata melawan tentara, kaki tangan pemerintah, dan tuan tanah. Sekarang, ia harus pulang. Para kapitalis masih berjaya, tapi lewat tengah malam Rabu dua pekan lalu, gencatan senjata dengan pemerintah Kolombia ditandatangani.
”Dunia sudah begitu berubah, teknologi misalnya,” kata Gonzalez, yang takjub melihat perubahan dunia yang dahsyat. Ia tak tahu soal telepon pintar, Internet, bahkan mesin cuci. ”Yang saya tahu hanyalah telepon yang diputar,” tuturnya, terbahak, kepada Reuters dua pekan lalu. Hati Gonzalez berdebar keras, tapi ia juga kalut. Ia membayangkan bagaimana rupa istri dan empat anak kecil yang ditinggalkannya pada 1980-an.
Kesepakatan damai antara pemerintah Kolombia dan gerilyawan Marxis, Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia atau FARC, pada Rabu itu mengakhiri perang saudara selama 52 tahun—ya, salah satu perang gerilya terlama di dunia, terlama dalam sejarah Amerika Latin. Kesepakatan bersejarah ini akan membuka pintu bagi gerilyawan tua semacam Gonzalez untuk menjadi politikus yang memperjuangkan kepentingan para petani, campesinos. Ia harus menyingkirkan senjata, merebut kekuasaan secara damai, melalui kotak-kotak suara.
Rakyat Kolombia pun bersukacita. Di Ibu Kota Bogota, ribuan orang, sebagian besar mengenakan pakaian putih, berkumpul di beberapa lokasi seraya mengibarkan bendera merah-kuning-biru Kolombia dan bersorak-sorai. ”Saya bisa meninggal dengan damai karena akhirnya dapat menyaksikan masa depan tanpa kekerasan bagi anak-anak saya,” ujar Orlando Guevara, 57 tahun, di antara ingar-bingar kegembiraan ini.
Namun mengembalikan dan mengintegrasikan 7.000 milisi FARC yang telah menghabiskan sebagian besar umurnya dalam perang gerilya sungguh tak mudah. Konflik sudah menjadi bagian tak terpisah dari diri mereka. Bahkan Gissella Mendoza, yang baru berusia 33 tahun, pun ikut merasa gamang kembali ke masyarakat. Dilatih sebagai tenaga medis selama 20 tahun, perempuan ini bergabung dengan FARC dan menyelamatkan nyawa rekannya dengan mengamputasi tangan dan kaki serta menghentikan perdarahan dari luka-luka peluru dan pecahan bom.
Kini ia ragu apakah dapat menggunakan kemampuannya dalam keadaan damai. Mendoza, kini 29 tahun, yang belajar sampai kelas V sekolah dasar, memiliki sedikit uang dan pengetahuan terbatas tentang dunia di luar pegunungan terpencil Kolombia—lokasi markas FARC. ”Jika Tuhan berkehendak, saya akan bertahan. Apa lagi yang bisa saya lakukan?” ucapnya pasrah memandang pistol 9 milimeter di pinggangnya.
Kekhawatiran mereka tak melulu soal integrasi. Para gerilyawan juga takut menghadapi pembalasan kelompok paramiliter sayap kanan yang dibiayai kartel narkotik dan para tuan tanah—musuh ideologi FARC. Berdasarkan kesepakatan yang diteken kedua pihak di Havana, Kuba, itu, FARC setuju menyerahkan senjata kepada tim pengawas Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengakhiri perdagangan narkotik yang selama ini menjadi sumber dana perang gerilyanya, dan memberikan kompensasi kepada korban.
Menyerahkan senjata tentu merupakan salah satu kendala. Sebab, pembantaian terhadap gerilyawan FARC selama masa damai memang pernah terjadi. Dalam gencatan senjata pada 1985, sebanyak 3.000 pemberontak FARC yang kemudian menjadi kader partai komunis dibantai milisi sayap kanan.
Kesepakatan perdamaian final pun masih menanti hasil referendum pada 2 Oktober mendatang. Hasil referendum akan memperlihatkan seberapa besar harapan dan toleransi para pemilih. Kedua pihak masih saling curiga, terutama karena keterlibatan FARC dalam perdagangan kokain dan penculikan demi memperoleh uang tebusan.
Sejumlah poin kesepakatan dinilai menguntungkan gerilyawan FARC. Mereka akan dibebaskan dari penjara jika mau mengakui kejahatan yang telah dilakukan. Pemerintah akan memberikan modal usaha dan upah minimum bagi mantan kombatan itu. Bahkan, selama beberapa tahun, FARC akan memiliki perwakilan politik di senat hingga mampu berjuang di kotak suara pada 2026.
Adam Isacson, pakar Kolombia dari Washington Office on Latin America, menganggap soal keadilan dan kembalinya FARC dalam dunia politik sebagai dua poin yang bakal berakibat buruk bagi Presiden Kolombia Juan Manuel Santos. ”Kendati FARC juga telah mengorbankan banyak tuntutannya, seperti reformasi lahan, amnesti sepenuhnya, dan penghapusan larangan tanaman koka (bahan baku kokain, yang menjadi sumber pendapatan utama mereka),” katanya.
Tanpa pengampunan, perdamaian, dan rekonsiliasi, Kolombia akan terseret kembali ke dalam perang berkepanjangan ini. ”Kami terlahir dari warga sipil. Memanggul senjata kami lakukan karena terpaksa. Jika negara abai terhadap perdamaian ini, dengan sedih kami akan kembali berjuang,” ujar Mendoza.
Perang saudara di Kolombia berawal pada 1948, ketika pembunuhan terhadap pemimpin kaum kiri, Jorge Eliecer Gaitan, memicu konflik berdarah. Lebih dari 200 ribu orang tewas selama sepuluh tahun. Ketika militer pemerintah mulai menyerang fraksi komunis di seluruh negeri pada 1964-an, kelompok-kelompok kiri lantas bersatu, membentuk FARC, yang dikomandani Manuel ”Sureshot” Marulanda.
Meski berhaluan komunis, FARC tidak memiliki ideologi politik yang baku. Awalnya, mereka ingin melucuti kekuasaan pemerintah yang didominasi konservatif-liberal. Lalu pasukan pemberontak itu menuntut reformasi tanah bagi para petani miskin. FARC pun menghadapi musuh dari berbagai sisi: militer dan milisi sayap kanan yang dibentuk bandar narkotik serta pemilik lahan, seperti United Self-Defense Force atau AUC.
FARC mulai kehilangan dukungan penduduk setelah banyak melakukan penculikan untuk memanen uang tebusan. Kelompok yang pernah berkekuatan hingga 18 ribu tentara itu juga dituding banyak melatih serdadu anak, menyebarkan ranjau darat yang membunuh warga sipil, menindas suku lokal, dan aktif dalam perdagangan narkotik.
Perang melawan separatisme di Kolombia pun berubah menjadi perang narkotik pada 1990-an. Pergeseran konflik mengundang campur tangan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, yang berkepentingan mencegah penyelundupan narkotik dari Amerika Selatan. Washington lalu meluncurkan program bantuan bernama Plan Colombia, yang menjamin kucuran US$ 10 miliar untuk membantu militer Kolombia memerangi FARC dan kartel narkotik.
Selama setengah abad, konflik dengan FARC telah mengakibatkan 260 ribu nyawa terenggut, 45 ribu orang hilang, dan 6,8 juta penduduk mengungsi dari kampung halamannya. Korban ranjau terbanyak di dunia setelah Afganistan ada di Kolombia. Laporan PBB pada 2007 menunjukkan 12 persen pembunuhan terhadap warga sipil dilakukan gerilyawan FARC. Adapun sisanya dilakukan pasukan pemerintah dan milisi sayap kanan.
Al Jazeera melaporkan, proses perundingan terakhir telah terendus sejak 2010, ketika FARC berada di bawah kepemimpinan Alfonso Cano. Pendekatan opresif militer di bawah komando Presiden Álvaro Uribe Vélez—ayahnya tewas dibunuh FARC—berhasil menewaskan sejumlah pemimpin penting FARC dan memaksa ribuan gerilyawan melakukan desersi. Dari berkekuatan 18 ribu orang, kini FARC hanya diperkuat 7.000 kombatan.
Situasi politik regional mulai berubah. Kubu sosialis komunis yang dulu proletar kini menguasai peta politik di sejumlah negara tetangga, seperti Brasil, Argentina, dan Venezuela. Perjuangan FARC telah menjadi agenda resmi negara tetangga. Dukungan pun terus menyusut hingga mereka terdesak ke pelosok negeri.
”FARC telah lelah dan memilih jalan damai. Apalagi setelah pemerintah Kolombia menewaskan banyak petingginya,” kata Nadia Bilbassy, Kepala Biro Al Arabiya di Washington, dalam program televisi The Diane Rehm Show di Amerika Serikat dua pekan lalu.
Sita Planasari Aquadini (Reuters, Telesurtv, The Washington Post, Deutsche Welle)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo