SARAJEVO, ibu kota Bosnia-Herzegovina, gawat. Satu per satu pertahanan terakhirnya jatuh. Rabu pekan lalu, ratusan pasukan muslim Bosnia di Bukit Igman dipukul mundur oleh pasukan Serbia. Mereka tak sanggup menghadapi bom, mortir, dan altileri musuh yang dibantu helikopter. Esoknya, pasukan Serbia pun berhasil menguasai Bukit Bjelasnica yang strategis di selatan, tak jauh dari Bukit Igman. Semua serangan ini terjadi setelah para pemimpin di Jenewa sepakat menekan gencatan senjata dan merundingkan rincian pembagian uni tiga negara yang diusulkan. Apa kata Jenewa, di medan perang senjatalah yang berbicara. Maka, Jenderal Ratco Mladic, yang membawahkan pasukan Serbia, ingkar janji, tak mau menyerahkan kedua bukit itu kepada PBB. Padahal, di situlah terletak ''jalan Allah'', yaitu rute kereta yang membawa suplai bahan makanan masuk ke Sarajevo. Setelah menguasai kedua bukit itu, pasukan Serbia terus merangsak maju. Pekan ini situasinya amat kritis. Toh, dalam situasi yang begitu, NATO belum juga bertindak. Sekali lagi, Pakta Pertahanan Atlantik Utara beranggotakan 16 negara itu hanya mengancam akan menyerang bila Serbia tak segera mundur dan mengendurkan jepitannya atas kota tersebut. ''Masyarakat internasional tak bisa menerima pengeboman Serbia atas kota dan rakyat yang terkepung itu,'' kata Menteri Luar Negeri AS, Warren Christoper. Bagi muslim Bosnia selama ini, Sarajevo adalah roh, yang mesti dipertahankan seperti menjaga nyawa sendiri. Ibu kota ini bukan sekadar simbol sebuah republik Bosnia-Herzegovina yang merdeka lebih dari setahun lalu. Kota ini memang sarat dengan sejarah dan budaya, termasuk sejarah Islam. Sedikitnya, di ibu kota yang dulu dihuni oleh 400 ribu orang dari tiga etnis ini ada ratusan mesjid, dan beberapa di antaranya bersejarah. Lalu ada tiga buah perpustakaan yang amat berharga. Perpustakaan Nasional, misalnya, mendokumentasikan sejarah Bosnia dalam wujud koran dan terbitan berkala, sekitar 1,5 juta buku, di antaranya sangat langka dan bersejarah, serta sekitar 155.000 manuskrip. Kekayaan itu sebagian milik Universitas Sarajevo. Begitu juga dengan Institut Oriental, yang disebut sebagai institut terbaik di wilayah Eropa barat daya. Sementara itu, Perpustakaan Gazi Husrev Beg, yang didirikan tahun 1537, menyimpan fakta sejarah Islam dan Yahudi dari abad ke-12. Boleh dibilang, Sarajevolah inti sebenarnya dari masyarakat Bosnia- Herzegonia. Inilah sebenarnya yang ingin dipertahankan oleh Presiden Alija Izetbegovich. Di segi lain,, Sarajevo adalah kunci bagi etnis muslim Bosnia. Dari ibu kota inilah mereka mengendalikan peperangannya. Tapi semua itu sudah berlalu. Bangunan dan dokumen bersejarah sebagian sudah jadi puing dan abu. Dunia internasional, dengan berbagai alasan, menolak mencampuri secara militer konflik di Balkan ini. Bagi Serbia, tentu saja, menghancurkan kota ini dan mendudukinya adalah suatu kemenangan total. Selama 16 bulan berperang, pihak Serbia tampaknya memang berusaha menghancurkan kota ini secara terencana. Dalam serangan mortir atau bom, pihak Serbia juga meledakkan tempat-tempat penting di sana. Kini, tak ada satu pun mesjid dan lembaga yang selamat dari bom dan granat api Serbia. Sebagian bangunan itu tinggal puing, dan banyak arsip berharga yang jadi abu. ''Tiap ada yang terbakar, saya merasa dihancurkan,'' sesal Kemal Bubic, 29 tahun, yang mengungsi ke timur dengan berjalan kaki meninggalkan Sarajevo bersama ribuan orang lainnya. Setelah menghancurkan kekayaan sejarah dan budaya, pihak Serbia melumpuhkan sekitar 380 ribu penduduk Sarajevo yang tersisa di sana, dengan mengepung dan mengisolasi mereka selama hampir enam bulan terakhir ini. Makanan, minuman, obat-obatan, bahan bakar, dan senjata menjadi barang langka. Semua jalan darat masuk ke Sarajevo dijaga. PBB pun tak mampu melewatinya karena jalan itu amat rawan perampokan dan penembakan. Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh untuk mengirimkan bantuan adalah lewat udara. Tapi, jalan ini terbatas karena penerbangan amat dibatasi oleh pihak Serbia. Setiap hari, ratusan warga sipil mati karena berbagai sebab. Sarajevo menjelang menjadi kota hantu. Sialnya, posisi kota tuan rumah Olimpiade Musim Dingin 1984 ini memang cocok jadi kota terkepung karena letaknya di dataran rendah yang dikelilingi perbukitan. Itu sebabnya, pihak Serbia berupaya merebut empat posisi strategis yang mengelilingi Sarajevo, yaitu Perbukitan Zuc dan Kota Brcko di utara Sarajevo, Bukit Igman di barat daya, dan Bukit Bjelasnica di selatan. Tinggal sebuah lagi, yaitu Bukit Zuc, di utara, yang masih diperebutkan. Moril pasukan Bosnia pun sudah melorot. Kabarnya, sekitar 2.000 pasukan yang mengawasi Bukit Igman selama sebulan terakhir ini mundur tanpa perlawanan berarti, dan ratusan di antara mereka kemudian desersi menjadi sipil. Walhasil, sejauh ini, kepungan atas Sarajevo telah berhasil melumpuhkan penghuni kota itu. Hampir semua penduduk sipil ingin keluar dan mengungsi, tapi, konon, pemerintah Bosnia tak memberikan izin. Ini tentu agar masyarakat internasional tak lalu melupakan Sarajevo. Tampaknya, kejatuhan kota tua ini tinggal hitungan hari. Secara militer, tak ada masalah bagi Serbia untuk menguasainya. Pihak Bosnia, yang berkekuatan 40.000 orang dan hanya 12.000 di antaranya bersenjata, tak bakal mampu menghadapi tentara Serbia, yang jumlahnya tiga kali lipat, ditambah tank, meriam, mortir, dan ribuan ton amunisi. Memang, sekitar 3.000 tentara PBB asal Perancis, Inggris, dan Spanyol menempati beberapa posisi di tengah kota. Tapi mereka tak bakal mampu mencegah pertempuran, mengingat senjata tentara perdamaian PBB itu semata untuk menjaga diri. Karena itu, mereka malah bisa terancam. Ini terbukti dengan serangan bom ke barak pasukan Perancis dan Spanyol belum lama ini. Tapi, menurut The Economist, pihak Serbia tak ingin menduduki Sarajevo secara fisik. Menguasainya sama sekali tak menguntungkan Serbia, baik dari segi politis maupun segi militer. Serbuan ke Sarajevo akan mengundang pihak PBB dan NATO turun tangan, yang akan menyudutkan Serbia sendiri. Di dalam Sarajevo, bisa-bisa warga Bosnia yang beretnis Serbia dan Kroasia akan menjadi sasaran pembunuhan balas dendam etnis muslim, seperti terjadi beberapa waktu lalu. Membiarkan Sarajevo terjepit seperti ini lebih menguntungkan Serbia dan Kroasia. Sebab, mereka dengan mudah menawarkan pembebasan kota itu dengan imbalan perundingan damai dan konsesi lahan yang strategis dan lebih luas dalam uni tiga negara itu. Bagi Serbia, menguasai Sarajevo toh tidak akan berarti menambah jumlah perolehan wilayahnya karena masyarakat internasional tak akan tega membiarkan pihak yang kalah, yakni Bosnia, mendapat sejumput saja dari wilayah republiknya. Minimal, seperti yang diminta oleh Alija Izetbegovich, Bosnia akan mendapat sekitar 30% wilayahnya. Strategi Serbia yang paling ''sadistis'' adalah membiarkan Sarajevo mati pelan-pelan karena kepungan itu. Sering menyerang selama sepekan lalu saja tercatat ada 2.000 pengeboman tanpa perlu mendudukinya. Itu pasti akan terjadi bila NATO tak segera bertindak. Bila NATO ternyata hanya ngomong, dan ini jelas melanggar hak asasi manusia, siapa bertanggung jawab? Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini