AKHIRNYA pemerintah Libanon mengumumkan -- untuk pertama
kalinya-deklarasi yang menuntut penarikan mundur semua pasukan
Israel, Suriah dan Palestina. Pasukan multinasional dimintanya
pula mengawasi penarikan gerilyawan PLO dari Beirut Barat.
Deklarasi itu, walaupun tidak akan mengatasi krisis, setidaknya
membuktikan bahwa pemerintah Libanon masih ada dan patut diajak
bicara. Presiden Ronald Reagan memang tidak alpa akan kehadiran
Elias Sarkis dkk. terbukti dari pernyataannya pekan silam bahwa
ia menyetujui pengiriman marinir Amerika "jika diminta"
pemerintah Libanon.
Masalahnya yang pokok bukan marinir atau pasukan multinasional.
Masih belum ada cara bagaimana mencabut gerilyawan PLO dari
bunker-bunker mereka. Sementara Israel berkenan pekan lalu
memberlakukan gencatan senjata ke-6, tapi sejak Selasa ada-ada
saja yang terjadi. Di pusat kota Beirut terjadi ledakan hebat,
misalnya. Akibatnya seorang tewas dan 40 cedera. Sebelumnya
wilayah sekitar Istana Baabda digempur keras, kemudian sebuah
rumahsakit di dekatnya kena giliran.
Jet tempur Israel sering terbang rendah "untuk mengintai atau
menciptakan jenis kerusakan mana saja yang mereka bisa lakukan,"
demikian komentar jubir militernya. Dan memang Kamis pagi
manuver itu meningkat dalam duel artileri. Pelabuhan udara
Beirut kali ini sebagai gelanggangnya. Maka berakhirlah gencatan
senjata ke-6 yang cuma berusia 3 hari.
DARI Tel Aviv satu siaran radio memberitakan PM Menachem Begin
memberi waktu tak terbatas pada utusan Presiden AS Philip Habib
sebagai penengah yang dipercayakan mengurus evakuasi PLO secara
damai. Tapi upaya diplomasi Habib tampaknya menunggu hasil
pertemuan di Washington antara Reagan, Menlu tertunjuk George P.
Shultz, Menlu Arab Saudi Pangeran Saud al-Faisal dan Menlu
Suriah Abdel Halim Khaddam sebagai wakil Liga Arab. Sebelum
pertemuan ini berlangsung, berbagai sumber di Beirut meragukan
akan adanya kemajuan berarti di Libanon.
Pertemuan itu sendiri belum tentu dapat segera terjadi. Karena
situasi menggawat di front Iran-Irak, bisa dimaklumi kalau Menlu
Saud al-Faisal dan Menlu Khaddam menunda kunjungan ke
Washington. Tapi alasan mereka ialah menunggu konfirmasi Senat
untuk pengangkatan Shultz sebagai Menlu.
Konfirmasi Senat sudah diperolehnya. Dan Shultz sudah bersuara
bahwa untuk sebuah otonomi Palestina harus ada perundingan.
"Dalam perundingan itu nanti, wakil-wakil Palestina harus ikut
serta," satu point baru yang tidak disebut-sebut dalam
persetujuan Camp David.
Shultz, bekas orang penting Bechtel Inc., sejak lama bersahabat
baik dengan negara-negara Arab moderat. Ada spekulasi bahwa
Shultz mencoba meniti tali rapuh diplomasi demi menjaga
keseimbangan antara sekutunya, Israel, dan sahabatnya para Arab
moderat.
Ketika ditanya tentang PLO, Shultz menjawab luwes, "Organisasi
itu mungkin sekali menjadi salah satu wakil rakyat Palestina
nanti dengan syarat PLO harus lebih dulu mengakui Israel dan
menghentikan terorisme."
Sementara itu tuntutan Israel agar PLO keluar dari Beirut Barat
dan hengkang selama-lamanya dari Libanon, sampai kini disetujui
semua pihak yang bersangkutan, kecuali (sekutu PLO) Uni Soviet.
Yang belum diketahui ialah negara Arab mana yang bersedia
menampung gerilyawan Palestina.
"Pemimpin PLO bermain amat dingin," demikian Daniel Dishon dari
Pusat Studi Timur Tengah di Tel Aviv. 'Mereka memainkan
kartu-kartu yang tersisa sedemikian rupa untuk menciptakan
kondisi tertentu sebelum persenjataan mereka dilucuti." Bahwa
pemimpin PLO Yasser Arafat bertahan dalam perjuangan hidup mati
di Beirut, jelas membangkitkan kekaguman rakyat Palestina di
Tepi Barat dan Gaza. Sekarang ini dukungan mereka pada PLO tidak
terguncangkan lagi, apa pun intimidasi yang dilancarkan Menteri
Pertahanan Israel Ariel Sharon terhadap mereka (lihat Ke Mana
Akan Pergi?).
Tidak ada jadwal pasti untuk pengunduran PLO. Dalam keadaan
terkepung, dijepit oleh 300 tank dan 35.000 tentara Israel, plus
blokade makanan, PLO mungkin saja memilih mati syahid. "Mereka
menyadari tidak ada orang yang mau mencungkil mereka dari
bunker-bunker di Beirut Barat: tidak Israel, dan pasti tidak
Amerika. " Begitu tulis analis Ronald Steel dalam koran Los
Angeles Times. Seorang pejabat penting Israel mengungkapkan
bahwa meski ada syarat pengunduran 11 pasal dari Arafat,
Pemerintah Begin tidak yakin bahwa PLO akan bersedia pergi.
"Saya sendiri sama sekali tidak percaya bahwa mereka punya
rencana untuk pergi," ia menambahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini