ROKET menggelegar, api berpijar-pijar. Belum pernah Beirut tercemplung dalam gejolak perang segawat dua pekan silam. Garis hijau, yang memisahkan wilayah barat dan timur kota, kembali jadi tapal batas antara pihak-pihak yang saling menghancurkan. Peta pertempuran mirip peta tahun 1982, ketika Israel dari arah Beirut Timur siap menerkam PLO di Beirut Barat. Tapi perang saudara Libanon yang ketiga ini (pertama, 1958 kedua, 1976) menggambarkan situasi yang berlawanan. Justru pasukan Druze dan milisi Syiah Amal yang menambil ancang-ancang dari Beirut Barat untuk melalap tentara Libanon dan Falangis di Beirut Timur. Laporan terakhir menyebutkan, gabungan Druze dan Amal sudah merebut Damour dan Khalde, 20 km di selatan Beirut. Dengan kemenangan di Damour dan Khalde, berarti Druze dan Syiah menguasai tiga posisi strategis: pegunungan Shouf, Beirut Barat, dan aris pantai selatan yang menggunting hubungan Israel ke ibu kota Libanon. Radio Beirut memberitahukan para milisi itu, sejak Sabtu berselang, siap menyerbu Souk al-Gharb, benteng terakhir tentara Libanon di tengara Beirut. Di sini bertahan Brigade VIII, kesatuan terkuat dari tentara Libanon yang akhir-akhir ini terancam berantakan. Istana Baabda, kediaman Presiden Amin Gemayel, juga tidak luput dari gempuran. Pecahan roket sudah sejak lama menyambar-nyambar ke sana, apalagi kini. Dalam keadaan terjepit, Amin Gemayel akhirnya menandatangani persetuiuan damai delapan pasal yang, antara lain, mencantumkan pelaksanaan persetujuan 17 Mei antara Libanon dan Israel. Persetujuan 17 Mei mengenai penarikan pasukan-pasukan asing dari Libanon, termasuk tentara Suriah. Yerusalem rupanya tidak menerima pembatalan sepihak itu. Segera, Ahad lalu, pesawat tempur Israel mengebom posisi tentara Druze, Amal, juga sekutu mereka, pasukan Syria. Langkah Amin Gemayel menandatangani perjanjian delapan pasal ternyata tidak menolong posisinya yang semakin goyah ataupun menyelamatkan persatuan Libanon. Slasia usaha juru penengah Arab Saudi Rafik Hariri bolak-balik Riyadh-Beirut membujuk pihak yang bersengketa, dan kerja Menlu Arab Saudi Pangeran Saud al'Faisal melunakkan Damaskus. Bahkan Presiden Hafez Assad menuduh rencana delapan pasal yang dibawa Saud itu sebagai tipu muslihat terbuka, dan ia menolaknya mentah-mentah. Ditandaskan Assad, Syria tidak akan menghiraukan prakarsa damai mana pun, kecuali jika Amin Gemayel secara tidak bersyarat menerima: pembatalan persetujuan Mei 1983 mengenai penarikan mundur tentara Israel dan penjaga perdamaian dari Libanon, dan melanjutkan kembali perundingan antara pihak-pihak yang bermusuhan di Libanon. Bila inl dilakukan, masyarakat Muslim di negeri itu akan mempunyai peran lebih besar dibanding sebelumnya. Tapi keadaan tampak sudah telanjur runyam bagi Amin Gemayel. Sementara kemelut masih menegangkan, marinir AS sudah mulai diungsikan ke kapal-kapal perang di lepas pantai Beirut, kemudian disusul oleh tentara Italia yang secara bertahap meninggalkan Libanon. Presiden Francois Mitterrand belum memanggil tentaranya pulang. Tapi di sidang Dewan Keamanan PBB, Prancis dengan serius menganjurkan pembentukan tentara PBB untuk menggantikan tugas pasukan penjaga perdamaian. Tanpa dukungan militer yang bisa diandalkan, dengan para sekutu yang diam-diam menjauh, kedudukan Amin Gemayel sulit dipertahankan. Bahkan tidak sedikit yang meramalkan saat-saat kejatuhannya. Denan Reagan yang berlibur ke Santa Barbara dan menlu George Shultz bertamasya ke Bermuda, terkilas syarat bahwa Washington sudah mulai "mengambil jarak Usaha Amin Gemayel terakhir, penyelamatan lewat persetujuan delapan pasal itu, bahkan dicemoohkan pemimpin Druze Walid Jumblatt. Ia menyindir, "Terlalu sedikit, terlalu lambat." Ucapan Jumblatt itu bukan tidak berdasar. Dalam tiga bulan terakhir masa pemerintahannya, Amin Gemayel banyak menunda-nunda pengambilan langkah yang diperlukan. Sesudah Konperensi Jenewa I, ia tidak segera mendesak Washington melunakkan Israel sehubungan dengan persetujuan Mei 1983. Sementara itu, ia juga tidak berusaha mendekati Presiden Syria Hafez Assad. Akibatnya, konsensus Jenewa I, yang terkatung-katung, jadi makin tidak keruan karena Konperensi Jenewa II juga tidak kunjung diselenggarakan. KEMUDIAN Amin Gemayel ragu-ragu pula mengambil sikap: apakah memisahkan pihak-pihak yang bermusuhan di Libanon harus dilakukan mendahului pembaharuan politik atau sebaliknya. Arab Saudi saat itu mulai mengulurkan bantuan, tapi Druze dan Syria lebih cepat memanfaatkan keadaan. Apalagi Amin Gemayel sebagai presiden tidak pernah berhasil membuktikan dirinya berada di atas semua golongan. Komitmennya pada Partai Falangis tidak sedikit pun berkurang. Maka, pada 1 Februari, lewat Suara Gunung, radio kelompok Druze, Jumblat menuntut Amin Gemayel segera mundur. Seruan itu kemudian diperkuar Nabih Berri, pemimpin Syiah Amal, yang belakangan tampil sebagai tokoh penting dalam kecamuk di Beirut. Andai kata ia tidak memerintahkan penghentian tembak-menembak, pekan silam, milisi Amal yang dimabuk kemenangan pastilah lebih gila melampiaskan dendam mereka. Walau sekitar 10.000 milisi mematuhi Berri, lingkungan penduduk sipil telanjur mereka porakporandakan. Bahkan, sampai minggu lampau, masih ada saja remaja-remaja yang main-main peluru, melempari mobil, dan merampok toko. Sederet botol minuman keras hancur ditembaki di Hotel Commodore. Tapi itu tidak ada artinya dibandingkan korban yang bertumpuk-tumpuk di beberapa rumah sakit, sehingga para dokter kewalahan dibuatnya. Di samping itu, ada pemandangan lain di Burj al-Brajneh, yang terletak di selatan Beirut. Di sini sebuah sekolah lanjutan telah disulap jadi markas penampungan desersi. Diperkirakan, 12.000 dari 22.000 tentara Libanon telah meninggalkan induk pasukan mereka. Sebagian datang ke tempat-tempat penampungan seperti di atas, menyerahkan senjata, dan menandatangani formulir penyerahan diri secara sukarela. Alasan mereka: pemerintahan Amin Gemayel memberlakukan diskriminasi terhadap tentara Muslim. Kelemahan tentara Libanon, yang semula amat diandalkan Amin Gemayel, bukanlah pada diskriminasi itu. Tapi pada komposisinya: mayoritas Muslim prajurit, mayoritas Kristen perwira. Hal lain yang kurang diperhitungkan ialah kemahiran mereka berperang dan menggunakan senjata. Amin Gemayel percaya pada mutu tentaranya yang konon dilatih oleh penasihat militer AS. Tapi tidak pernah diketahui seberapa hebat dan seberapa unggul mereka itu. Para pelatih AS tidak punya dokumentasi tentang ini. Tidak mengherankan jika akhirnya Pentagon sampai pada kesimpulan yang keliru mengenai kehebatan tentara Libanon. Apa yang bisa disaksikan di Libanon kini ialah tentara yang berantakan tidak berdaya, presiden yang menjalankan roda pemerintahan seorang diri. Terkurung dalam Istana Baabda, Amin Gemayel praktis tidak berkuasa lagi. Seluruh menteri kabinet yang dipimpin PM Shafik Wazzan sudah mengundurkan diri, sesuai dengan saran Nabih Berri. Israel, sekutu Amin Gemayel di selatan, tampak bersikap setengah-setengah. Ekonomi negeri itu yang morat marit tidak mungkin menunjang suatu "petualangan militer" baru di Libanon. Lagi pula, rakyat Israel makin tidak bersimpati pada aksi militer yang berlarut-larut. Adakah tindakan penyelamatan darurat yang segera bisa diterima semua pihak? Kelihatannya tidak. Lalu mengapa tidak dibiarkan saja golongan Kristen Maronit menelan kekalahan mereka, seperti yang diutarakan Adeed Dawisha, profesor tamu di Universitas Hopkins, AS. Bukan hanya Maronit, tapi Suni kalau perlu juga menyingkir, guna memberi tempat bagi "raksasa" Syiah mayoritas penduduk Libanon, berkuasa. Paling tidak, kursi PM yang sebelumnya hak orang Suni pantas diserahkan ke Syilh, dengan calon kuatnya, Nabih Berri. Tapi krisis Libanon tidaklah semata-mata bersumber pada pola pemberian kekuasaan model lama yang mesti diganti dengan pola baru. Krisis itu tidak terlepas dari krisis Timur Tengah dengan banyak pihak terlibat di dalamnya. Juga tidak terlepas dari perjuangan PLO dan negara Palestina merdeka yang mereka cita-citakan. Pihak luar yang tampak berhadap-hadapan di Libanon tak lain dari Israel dan Syria. Keduanya menunjukkan gelagat menghindari perang, karena Hafez Assad tahu persis pasukan Israel jauh lebih unggul dari tentara Syria. Di pihak lain, Yitzak Shamir juga tidak akan gegabah. Keduanya, dengan cara masing-masing, kehhatan berusaha menciptakan perimbangan kekuatan yang aman dan luwes, yang menguntungkan bagi Israel dan Syria. Apakah semua itu mungkin? Barangkali harus ditunggu munculnya satu orang kuat di negeri itu. Ia bukan saJa disegani oleh Israel dan Syria, tapi juga harus sanggup menjinakkan kelompok yang saling bermusuhan: Druze, Falangis, Syiah Amal, Suni, dan lain-lainnya, yang seluruhnya kurang lebih 20 kelompok. Tapi tokoh pemersatu itu, yang sampai saat ini belum kelihatan orangnya, pun baru bisa berperan jika tentara Syria dan Israel ditarik dari Libanon, suatu hal yang selama ini tak dapat dilakukan, baik oleh Shultz, Rumsfeld, maupun Saud al-Faisal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini