Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Bajingan, Bazingun!

Bazingun, konon, berasal dari bahasa Turki. Dalam naskah resmi kuno, kata itu berarti "pedagang".

25 Februari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG teman mengemukakan sebuah teori bahwa kata bajingan sebenarnya bermula dari kata bazingun, dan ketika saya terkekeh-kekeh mendengarnya, ia meneruskan dengan serius: sejarah kata itu adalah sejarah dunia swasta. Bazingun, katanya, berasal dari bahasa Turki. Dalam naskah resmi kuno, kata itu berarti "pedagang". Tapi kemudian bazingun secara perlahan-lahan mengandung pengertian yang jelek.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kata itu, kurang lebih, berarti "pencari untung yang licik". Mungkin dulu orang Turki (yang pernah datang ke Aceh) memaki, "Bazingun, lu!" - lalu kita pun mengopernya, memprosesnya, dan mengedarkannya kembali sebagai kata yang cukup kotor. Bazingun, bazingan, bajingun, bajingan .... Tapi itulah, kata teman tadi, contoh evolusi sebuah pandangan tentang dunia swasta: orang-orang yang, dalam bentuk awalnya, berupa kaim saudagar yang hidup dari laba jual beli.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dulu, perdagangan adalah pekerjaan yang sah dan cukup terpandang. Nabi sendiri di masa muda adalah peserta kafilah yang berjalan jauh untuk berniaga. Di Turki setelah Islam, teladan itu diperkukuh: kepentingan ekonomi memang membuka tangan lebar bagi orang yang berdagang. Pada tahun 1288 (sebelum di Indonesia mengenal kejayaan Majapahit), pemerintahan Mamluk bahkan mencoba menarik bisnis Syria dan Mesir dari India dan Cina, dengan sebuah maklumat: "Kami menyampaikan undangan ini kepada . . . saudagar-saudagar besar yang menginginkan laba .... Sesungguhnyalah negeri ini sebuah Firdaus bagi yang tinggal . . . " Ringkasnya: modal asing, selamat datang!

Tapi jika demikian halnya, kenapa bazingun jadi sebuah kata makian? Jawabnya bisa banyak. Mungkin karena di Turki pedagang boleh kaya, tapi mereka tetap tak punya kekuasaan ataupun prestise. Sultan dan familinya tetap mencengkeram. Tiap ada tanda bahwa para saudagar itu menggeliat mau tegak, sang wazir akan membentak, "Bazingun!" - dan para pedagang itu pun terdiam.

Mungkin juga karena sesuatu hal lain, yang biasanya dijelaskan oleh seorang murid Keynes. Turki, seperti umumnya negeri di zaman itu, adalah wilayah dengan ekonomi agraris, dengan corak praindustri. Ia sebuah pasar yang terbatas. Teknologinya mandek. Banyak hal dikerumuni risiko - dan tak disertai prestise. Karena itulah penanaman modal akhirnya berputar-putar pada usaha yang aman dan nyaman.

Orang mencari keuntungan yang mapan dan mudah. Investasi harus gampang dicairkan kembali. la harus Iekas jadi uang bila keperluan memaksa. Dan likuiditas semacam itu, tentu saja, hanya mungkin pada pemilikan tanah. Kalau tidak, pada peminjaman uang, dengan bunga yang memadai. Maka, tak heran bila bazingun kian lama kian dekat dengan bajingan dalam pandangan banyak orang.

Memiliki dan menyewakan tanah, sekalipun prestisus, terasa bagai usaha penghisapan bagi petani. Menyediakan kredit dengan rente - sekalipun tak terelakkan dalam ekonomi pertanian yang panennya lama dan bencananya banyak - terasa benalu bagi si kepepet. Agama pun mengetuk riba. Dan bukan cuma Islam. Aristoteles beberapa abad Sebelum Masehi mendukung kebencian kepada riba itu dengan menatakan bahwa "uang dimaksudkan untuk alat penukarbukan untuk bertambah dengan bunga."

Uang tak boleh punya anak. Gereja pun, di Konsili di Trente pada tahun 156, menegaskan itu. Bahkan deposito pada bank, depositi a discrezione, juga diharamkan. Walhasil, seorang businessman Genoa yang tinggal di Spanyol, Lazaro Doria, memutuskan berhenti berdagang. Dari nuraninya terusik.

Tak semua orang, tentu, seperti Lazaro Doria. Bahkan keramaian utang-piutang dengan rente itu akhirnya tak terbendung lagi. Seorang pemimpim Ordo Jesult, pada abad ke-16, Pater Lainez, akhirnya hanya mengeluh: "Para pedagang itu begitu banyak punya muslihat ...."

Ah, memang bazingun. Begitu banyak muslihat. Hanya kita tak tahu bagaimana sejarah tanpa mereka, dan adakah kita lebih bersih dan berbahagia. Goenawan Mohamad

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus