Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Nuklir pyongyang masih mengancam

Kamera pemantau reaktor nuklir itu kehabisan film. dan korea utara tetap menolak inspeksi lapangan dari badan atom PBB. ada bantuan keuangan dari warganya di jepang?

13 November 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH kamera video kehabisan film, dan para ahli nuklir Barat pun cemas. Soalnya, itu adalah kamera video untuk memonitor reaktor nuklir Korea Utara di Yongbyon. Itu ada pertemuan rahasia di New York antara pihak AS dan Korea Utara. Untuk kesekian kalinya Washington mendesak rezim Pyongyang agar mengizinkan pemeriksaan lapangan di tempat yang dicurigai memproduksi bahan nuklir untuk peluru kendali. Kabarnya, Korea Utara baru mau menerima usul AS bila secara diplomatik AS mengakui Korea Utara, dan AS membatalkan kerja sama militernya dengan Korea Selatan. Juga, pekan lalu ada pertemuan antara wakil Seoul dan Pyongyang, yang diduga lebih langsung membicarakan soal kamera video. Perundingan dua Korea ini, dibandingkan dengan perundingan ASKorea Utara, tampaknya lebih memungkinkan terjadinya kompromi. Mungkin Korea Utara membolehkan kamera video direparasi, dan Korea Selatan membatalkan kerja sama latihan perang dengan AS, latihan tiap tahun yang dikenal dengan nama Team Spirit. Begitu pentingkah kamera itu? Sikap keras kepala Korea Utara menolak pemeriksaan langsung oleh International Atomic Energy Agency badan pengawas penggunaan nuklir yang berada di bawah naung an PBB selama ini membuat dunia bergantung pada kamera itu. Hanya kamera itulah satu-satunya yang bisa menyampaikan info tentang apa yang terjadi di reaktor atom Yongbyon. Tanpa kamera itu, diduga rezim pemerintah Pyongyang akan meningkatkan produksi bahan bakar nuklir, sekaligus mengembangkan nuklir untuk persenjataan, karena tak ada pengawasan apa pun dari dunia internasional. Setidaknya, seberapa besar kekuatan persenjataan nuklir Pyongyang menjadi gelap, tak terduga. Dan itu dianggap membahayakan dunia pascaperang dingin ini. Sebab, sejauh ini Korea Utara selalu bersikap seperti menyembunyikan sesuatu. Permintaan PBB agar Pyongyang mengizinkan International Atomic Energy Agency melakukan pemeriksaan di reaktor nuklir Korea Utara selalu ditolak. Bahkan ancaman PBB melalui sebuah resolusi, Senin pekan lalu, yang akan menjatuhkan sanksi bila rezim Pyongyang tetap menolak pemeriksaan badan atom PBB tersebut, dibalas dengan jawaban tegas. ''Tak ada alasan kuat bagi mereka untuk meneliti negeri kami,'' ujar duta besar Korea Utara di PBB. Kecurigaan dunia internasional bermula dari peristiwa April 1992. Selama enam kali pemeriksaan, badan atom internasional menemukan kejanggalan pada contoh limbah nuklir yang diserahkan pihak Korea Utara. Dari limbah itu ditemukan tiga bahan neptunium yang tingkat peluruhannya berbeda. Artinya, limbah itu bukan berasal dari satu tempat. Karena itu, dicurigai Korea Utara masih memiliki dua reaktor nuklir yang lain, dan bukannya hanya dua sebagaimana ditunjukkan ke badan atom internasional itu. Dugaan pun akhirnya berkembang bahwa Korea Utara tengah membangun persenjataan nuklir. Apalagi, Mei silam, Korea Utara melakukan uji coba peluru kendali Rodong-1 berdaya jangkau seribu kilometer dan jatuh di Semenanjung Noto, di Laut Jepang. Bahkan, dari Seoul dikabarkan bahwa Kim Il Sung sedang mengembangkan rudal berjarak tempuh sampai 2.000 km, bernama Rodong-2. ''Kalau diluncurkan dengan kekuatan penuh, rudal itu bisa sampai ke sini,'' ujar seorang pejabat senior Jepang. Kini, mungkinkah Korea Utara akan dijatuhi sanksi ekonomi seperti Irak atau Libya? Kemungkinan itu memang ada. Kalau itu terjadi, Kim Il Sung bisa sakit kepala. Coba saja hitung. Akibat konsentrasi pada militer, pertumbuhan ekonomi negara yang mempunyai hampir sejuta tentara ini surut lebih dari 7,5% tahun lalu. Lalu impor gandum dan padi-padian, yang dalam 10 bulan terakhir ini bernilai US$ 200 juta, diduga bakal macet karena devisanya tak cukup. Ini akan mengancam hidup 22 juta penduduknya. Setidaknya negara yang masih menerapkan subsidi ini akan mengurangi besarnya jatah bahan pokok untuk tiap keluarga. Ko Chong Song, 32 tahun, seorang pelarian, dalam konferensi persnya di Seoul, Juni lalu, menjelaskan bahwa sejak musim gugur tahun lalu, jatah padi-padian merosot dari 700 gram menjadi 550 gram. ''Karena terlambat penjatahannya, tak jarang rakyat Korea mencari rumput-rumputan di gunung,'' ujar Ko Chong Song. Pembagian daging pun hanya satu atau dua kali dalam setahun, antara lain ketika Kim Il Sung berulang tahun. Malah, menurut Im Yong Son, seorang letnan Korea Utara yang melakukan desersi ke Seoul, ''Dua atau tiga dari 100 serdadu kekurangan gizi.'' Aliran listrik pun dibatasi, sehingga para pekerja diminta bekerja begitu hari mulai terang. Kebanyakan penduduk berangkat kerja dengan jalan kaki karena angkutan umum tak lagi berfungsi. Kereta api bawah tanah, yang dijalankan untuk mengesankan dunia bahwa perekonomian negeri itu masih bertahan, hanya beroperasi beberapa jam. Itu pun bagi kalangan elite tertentu. Sejumlah kader senior kini terpaksa naik sepeda meskipun ada larangan dari Partai Pekerja. Soalnya, jatah bahan bakar untuk kendaraan bermotor milik Partai pun diku rangi. Melihat kondisi ekonomi seperti itu, mestinya sulit bagi Kim Il Sung untuk menolak resolusi PBB agar mau bekerja sama dengan badan atom internasional. Sumbangan dana segar senilai US$ 700 juta setahun dari 800 ribu warganya yang kini bermukim di Jepang (lihat Uang Pachinko dari Osaka) memang bisa membantu, tapi sampai kapan? Ada dugaan, sikap keras kepala Korea Utara selama ini sekadar cara menyelamatkan muka. Setelah tak ada subsidi dari Soviet karena uni ini pecah sebenarnya ekonomi Korea Utara dalam kesulitan. Beberapa laporan dari Korea Selatan mengatakan, kelaparan mengancam sejumlah kota. Siapa tahu, soal nuklir hanyalah gertak, agar Korea Utara ditawari kerja sama dengan Barat. Dengan cara itu, muka memang bisa diselamatkan.Didi Prambadi (Jakarta) dan Seiichi Okawa (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus