Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Menyingkirkan biang perpecahan

Presiden hafez assad menyingkirkan tiga jenderal termasuk adiknya dalam memperkuat kekuasaannya serta ingin meyakinkan bahwa kedudukan kaum alawi hanya sebagai minoritas di tengah penduduk syria. (ln)

14 Juli 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAMASKUS kini bersih dari perwira berambisi yang suatu ketika di khawatirkan bakal menyeret Syria ke dalam perang saudara. Dalam mempertahankan kekuasaan minoritas Alawi-Syiah, Presiden Hafez al Assad menyingkirkan mereka yang mengincar kursi kepresidenan negeri itu, sembari memperkukuh kepemimpinannya sendiri. Dalam kelompok perwira yang terkucil ini terdapat adik kandung sang Presiden, Jenderal Rifaat El Assad, 46, pimpinan Saraya al Difa (Brigade Pertahanan) berbaret oranye, pemegang iaringan sekuriti paling ditakuti di Syria. Bersama Rifaat, juga tersingkir Jenderal Ali Haydar dan kelompok Aliyine yang menjabat komandan Pasukan Khusus, dan Jenderal Shafiq Fayyahd, komandan Divisi III. Rifaat kini di Jenewa, Swiss. Haydar dan Fayyadh di Sofia, Bulgaria. Mereka berada di sana sepulangnya dari kunjungan lima hari ke Moskow bersama 60 pejabat militer lainnya. Perjalanan ke Rusia itu konon untuk merundingkan masalah ekonomi dan perkembanan politik Timur Tengah dengan Uni Soviet. Tidak kembalinya ketiga perwira tinggi itu ke Damaskus, seusai perundingan di Moskow, menyadarkan orang bahwa kunjungan itu dirancang Hafez Assad sebagai taktik menyingkirkan tokoh-tokoh militer yang mengincar kursi kepresidenan Syria selama ini. Menteri Luar Negeri Faruq al-Sharaa, tokoh sipil yang juga ikut dalam rombongan ke Moskow itu, sudah pulang ke Damaskus awal Juni silam. Masalah suksesi di Syria mulai menghangat sejak musim rontok tahun lampau. Ambisi para perwira itu untuk menggantikan Hafez Assad jadi kentara ketika presiden Syria ini menderita serangan jantung, pertengahan November silam. Pada saat kesehatannya merosot itulah (Hafez harus diopname dua bulan) Rifaat membangkitkan kecemasan kakaknya. Sang adik menempatkan 25.000 tentaranya di sekitar Damaskus seakan-akan siap mengambil alih kekuasaan. Namun, gerakaan pasukan Rifaat ini memperlihatkan pertentangan yang menajam dengan tentara reguler, terutama Divisi III. Akibat tindakannya itu Rifaat dimarahi Hafez Assad. Tapi dia berdalih bahwa tujuannya adalah melindungi sang kakak. Hingga kini tak terungkap latar belakang peristiwa akhir Februari itu. Yang Jelas, rencana Hafez Assad melakukan mutasi dalam tubuh pimpinan angkatan bersenjata tak terlaksana karena ditentang adiknya itu. Rifaat, sejak pertengahan Maret, didudukkan sebagai salah seorang wakil presiden di samping Abdul Halim Khaddam dan Zuheir Masharqa. Kedudukan wakil presiden ini, menurut pengamat, membuat Rifaat kian lemah. Dia harus menyerahkan jabatan pimpinan Saraya al-Difa kepada iparnya, Moyin Nassif. Selain itu, Rifaat - tokoh yang dipandang sebagai ahli strategi ulung - menjalin hubunan baik dengan Raja Fahd dari Arab Saudi. Juga dengan blok Barat. Walaupun pernah belajar di Universitas Patrice Lumumba, Moskow, Rifaat belakangan berani berbicara tentang bahaya persekutuan dengan Uni Soviet. Padahal, selama ini Syria dipandang Rusia sebagai sahabat terkuat diTimur Tengah. Tindakan Hafez Assad mengucilkan adiknya ini konon direstui Moskow. Soviet ingin kepemimpinan Hafez Assad tak sampai tergoyahkan sekarang ini. Mengingat Hafez juga berhadapan dengan kelompok Aliyines (Juga kaum Alawi) pimpinan Haydar, yang membawahkan 200.000 Pasukan Khusus berbaret merah. Dengan menguasai posisi penting di markas besar tentara, kelompok Aliyines juga menguasai lapangan terbang militer dan stasiun radio. Pasukan Khusus pimpinan Haydar unggul dalam posisi dan jumlah anggota dibanding Saraya al-Difa, yang pernah menumpas pernberontak Islam fanatik Ikhwanul Muslimin di Hama, Februari lewat. Tentara pimpinan Rifaat ini memang memiliki unit lapis baia dengan tank T-72, serta satuan infanteri dan artileri yang kuat, tapi dalam 100.000 anggotanya terdapat kaum Alawi (80%), Druze Kristen (18%), dan Bedouin Sunnah (2%). Dengan "mengasingkan" beberapa perwiranya ke luar negeri, Hafez Assad tampak ingin meyakinkan kaum Alawi bahwa kedudukan mereka sebagai minoritas - di tengah penduduk Syria, yang 80% adalah golongan Suni - tak boleh terganggu perpecahan. Sebagai lanjutannya, diduga, dalam waktu dekat ini dari Damaskus bakal terdengar kabar tentang pergeseran jabatan pemerintahan, dan kepemimpinan Partai Ba'ath yang tengah memerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus