Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Merahnya merah, dengan darah

Heng Samrin yang bekas tokoh partai & militer Khmer Merah di wilayah timur berjanji akan mengakhiri ke kejaman pemerintahan Pol Pot.(ln)

20 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAJARATNAM mungkin benar. Menurut menteri luar negeri Singapura itu, pelajaran dari kejadian Kamboja ialah: sebuah negara yang tak memperoleh dukungan populer, akan cepat rontok. Hanya dalam dua minggu semenjak serbuan pasukan Vietnam ditingkatkan membantu pemberontak, pemerintah yang berkuasa di Kamboja tergusur dari ibukota Phnom Penh. Sulit untuk meyakinkan bahwa rezim yang dipimpin Pol Pot itu adalah penguasa yang disukai rakyat. Gejalanya mungkin dapat dilihat di perbatasan. Sampai awal pekan ini, lebih seminggu setelah Kamboja berganti penguasa, para penjaga perbatasan Muangthai heran belum melihat ada arus besar pengungsi. Yang menerobos masuk hanya beberapa ratus laki-laki. Mereka diduga sisa-sisa tentara pemerintah Pol Pot yang kalah. Dibandingkan dengan banyaknya pengungsi setelah Pol Pot menang hampir 4 tahun yang lalu, perbatasan itu kini nyaris sepi, meskipun tetap tegang. Hari-hari setelah 17 April empat tahun yang lalu memang sudah menunjukkan sesuatu yang seram -- yang kemudian jadi semacam ciri pemerintahan Pol Pot. Phnom Penh, yang sejak perang berkecamuk di Kamboja berkembang jadi kota bengkak dengan hampir tiga juta orang, ditaklukkan. Pemerintah sayap kanan Lon Nol, yang bolong-bolong oleh korupsi, rontok. Pasukan komunis yang dijuluki "Khmer Merah" diam-diam memasuki kota: berpakaian hitam-hitam, berkalung sarung lusuh, bersandal jepit dari ban rusak -- dan fanatik. Hampir seluruh penduduk dikuras keluar kota, berjalan kaki. Adegan pengosongan kota yang paling mencekam dalam sejarah modern ini sudah berulang-ulang diceritakan. Tapi banyak saksi mata yang tak akan bisa melupakan apa yang mereka lihat: para pasien dipaksa keluar dari rumah sakit, tak peduli anak kecil, ibu tua atau orang tak berkaki. Sesosok tubuh yang tanya lengan dan tanpa kaki, misalnya, terpaksa merayap di tanah, seperti seekor cacing besar yang berdarah. Pemerintah Khmer Merah kemudian kasih alasan kenapa Phnom Penh dikosongkan. Antara lain mereka takut terjadinya kekurangan pangan: penguasa yang baru belum bisa memberi makan begitu banyak penduduk. Agen-agen musuh dengan begitu akan bisa mengacau. Dan mereka takut musuh akan meracuni pasukan revolusioner dengan uang, alkohol dan wanita. Namun alasan itu tak masuk akal seluruhnya. Sebab yang dikosongkan bukan cuma kota sebesar Phnom Penh, tapi juga kota-kota kecil di propinsi-propinsi. Alasan utamanya, mungkin alasan ideologi: para pemimpin revolusi mengajarkan bahwa kota adalah tempat yang jahat. Kota adalah tempat uang. Di kota orang makan nasi tanpa berjerih payah menanam padi. Para penduduk kota karenanya perlu diajar oleh pasukan petani miskin itu untuk merasakan sendiri keringat dan kerja berat di sawah ladang. Ada juga yang dianggap tak perlu diajar: para bekas tentara dan pegawai pemerintahan Lon Nol. Sebagian besar mereka dibunuh. Ada sesuatu yang benar dalam faham itu. Tapi Pol Pot dan kawan-kawannya adalah orang ekstrim, yang yakin akan kebenaran sendiri dan menghargai ide lebih dari apa pun. Ribuan orang dikirim ke tempat kerja paksa. Mereka kerja praktis dengan tangan telanjang, tanpa makanan cukup, apalagi pengobatan. Jumlah yang sakit dan bunuh diri tak terhitung. Siapa yang bertingkah, siapa yang dicurigai, diambil oleh pasukan bersenjata yang menjaga mereka -- dan dibinasakan di antara rumpun padi. Dalam masa berkuasa yang belum lagi 4 tahun, Pol Pot dan kawan-kawannya juga dengan cepat hendak menyingkirkan agama. Termasuk agama Budha, yang dianut hampir semua rakyat. Atas nama Angkar (organisasi)-sebutan untuk Partai Komunis Kamboja -- sejak akhir 1975 kampanye sudah dicanangkan: "Kalian harus menyingkirkan agama ini dari dirimu. Kalau tidak, kalian musuh Angkar! " Para pendeta dikirim ke tempat kerja paksa. Para pemimpinnya ditembak. Agama lain yang dicoba dihabisi ialah agama Islam, yang dianut sekitar 250.000 orang, termasuk yang bersuku Melayu. Nopember 1975, kaum Muslimin di desa Trea (utara Kampong Cham) berontak. Desa itu dihantam dengan B-40 dan mereka yang tertinggal dihabisi. Sejumlah kepala dipasang seperti satai di sepanjang sungai Mekong. Tindakan terhadap umat beragama ini -- yang di negara komunis lain dijalankan dengan lebih halus dan hati-hati -- menunjukkan betapa doktrinernya Partai Komunis Kamboja di bawah Pol Pot. Tak heran bila Dutabesar Swedia yang baru berkunjung ke Kamboja awal Maret 1976 berkesimpulan: "Sebuah revolusi yang radikal, lebih radikal dan dtakdirkan akan lebih jauh dari revolusi Cina ataupun Uni Soviet." Para pemimpin komunis Vietnam, dalam percakapan tak terbuka, sering menyebut Pol Pot dkk sebagai "kaum fanatik". Di pihak lain para pemimpin RRC juga tak semuanya dekat dengan orang-orang Kamboja yang dibantunya itu. Zhou En-lai lebih intim dengan Pangeran Sihanouk yang bukan komunis -- dan bantuan Beijing kepada Phnom Penh mungkin banyak disebabkan oleh hubungan pribadi itu. Pol Pot dan Ieng Sary diketahui banyak mendapat ilham dari kaum radikal Cina. Kini gerombolan radikal dikutuk di negerinya sendiri, jadi siapa kawan sefaham Pol Pot-Ieng Sary? Bahkan dalam pidato di Dewan Keamanan PBB pekan lalu Pangeran Sihanouk -- sementara mewakili pemerintah Pol Pot -- mengakui benarnya ucapan Presiden Carter: rezim Pol Pot melakukan pelanggaran terburuk terhadap hak asasi manusia. Ia tak menyebut berapa orang yang telah dibunuh, tapi lawan Sihanouk dalam debat itu Duta besar Uni Soviet Oleg Troyanovsky menyebut angka yang mengerikan: tiga juta. Mungkin tak benar. Tapi suara di belakang Agkar yang garang memang pernah sesumbar untuk membangun masyarakat Kamboja yang murni, 1,5 juta orang saja sudah cukup --dari jumlah 6 juta. Dalam suasana seperti itu, timbul gerombolan pemberontak, meskipun tak efektif dan trrpencar di sana-sini. Para pengungsi membanjir, bukan saja ke Thailand, tapi juga ke Vietnam. Kemudian dari Vietnam pula datang bantuan kepada para pemberontak -- dan Pol Pot kalah. Tak ayal lagi bahwa kaum pemberontak yang kini menang, di bawah pimpinan Heng Samrin, adalah orang komunis juga. Dan tak pelak lagi mereka menyediakan diri diperalat oleh para pemimpin Vietnam, yang menghendaki suatu pemerintahan di Phnom Penh yang lebih cocok dengan kepentingan Hanoi. Latarbelakang Heng Samrin dan ke-8 anggota kepemimpinannya masih sangat sedikit diketahui, kecuali bahwa Samrin (kuranglebih 45 tahun) bekas tokoh partai dan militer Khmer Merah di wilayah timur. Namun yang pasti para pemimpin baru Kamboja ini menjanjikan halhal yang berlawanan benar dengan "gaya" Pol Pot. Di antaranya ialah menghapuskan sistim kerja kolektif, mengeluarkan mata uang, mendirikan bank, dan menggerakkan perekonomian berencana yang digabungkan dengan kekuatan pasar. Sementara itu, kutukannya kepada pemerintahan Pol Pot nampak jelas dan berapi-api: "Mereka telah menginjak-injak semua adat dan tradisi yang bagus dari rakyat kita, melakukan tindakan vandalisme terhadap kebudayaan bangsa kita yang telah bertahan lama. Mereka telah melenyapkan kebebasan beragama mengatur perkawinan paksa kolektif, mencerai-beraikan keluarga . . . memporak-porandakan lembaga pendidikan sejak dari sekolah dasar sampai dengan universitas ! ". Akankah Heng Samrin memilih jalan yang lebih berperikemanusiaan ketimbang mereka? Beberapa hari setelah ia terbang melarikan diri ke Beijing, Pangeran Sihanouk pernah mengatakan satu kemungkinan: bila para pemenang baru di Phnom Penh itu berhasil mengemba likan kehidupan yang disukai rakyat, maka rakyat akan berpihak pada mereka. Kita lihat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus