RAJARATNAM mungkin benar. Menurut menteri luar negeri Singapura
itu, pelajaran dari kejadian Kamboja ialah: sebuah negara yang
tak memperoleh dukungan populer, akan cepat rontok. Hanya dalam
dua minggu semenjak serbuan pasukan Vietnam ditingkatkan
membantu pemberontak, pemerintah yang berkuasa di Kamboja
tergusur dari ibukota Phnom Penh. Sulit untuk meyakinkan bahwa
rezim yang dipimpin Pol Pot itu adalah penguasa yang disukai
rakyat.
Gejalanya mungkin dapat dilihat di perbatasan. Sampai awal pekan
ini, lebih seminggu setelah Kamboja berganti penguasa, para
penjaga perbatasan Muangthai heran belum melihat ada arus besar
pengungsi. Yang menerobos masuk hanya beberapa ratus laki-laki.
Mereka diduga sisa-sisa tentara pemerintah Pol Pot yang kalah.
Dibandingkan dengan banyaknya pengungsi setelah Pol Pot menang
hampir 4 tahun yang lalu, perbatasan itu kini nyaris sepi,
meskipun tetap tegang.
Hari-hari setelah 17 April empat tahun yang lalu memang sudah
menunjukkan sesuatu yang seram -- yang kemudian jadi semacam
ciri pemerintahan Pol Pot. Phnom Penh, yang sejak perang
berkecamuk di Kamboja berkembang jadi kota bengkak dengan hampir
tiga juta orang, ditaklukkan. Pemerintah sayap kanan Lon Nol,
yang bolong-bolong oleh korupsi, rontok. Pasukan komunis yang
dijuluki "Khmer Merah" diam-diam memasuki kota: berpakaian
hitam-hitam, berkalung sarung lusuh, bersandal jepit dari ban
rusak -- dan fanatik.
Hampir seluruh penduduk dikuras keluar kota, berjalan kaki.
Adegan pengosongan kota yang paling mencekam dalam sejarah
modern ini sudah berulang-ulang diceritakan. Tapi banyak saksi
mata yang tak akan bisa melupakan apa yang mereka lihat: para
pasien dipaksa keluar dari rumah sakit, tak peduli anak kecil,
ibu tua atau orang tak berkaki. Sesosok tubuh yang tanya lengan
dan tanpa kaki, misalnya, terpaksa merayap di tanah, seperti
seekor cacing besar yang berdarah.
Pemerintah Khmer Merah kemudian kasih alasan kenapa Phnom Penh
dikosongkan. Antara lain mereka takut terjadinya kekurangan
pangan: penguasa yang baru belum bisa memberi makan begitu
banyak penduduk. Agen-agen musuh dengan begitu akan bisa
mengacau. Dan mereka takut musuh akan meracuni pasukan
revolusioner dengan uang, alkohol dan wanita.
Namun alasan itu tak masuk akal seluruhnya. Sebab yang
dikosongkan bukan cuma kota sebesar Phnom Penh, tapi juga
kota-kota kecil di propinsi-propinsi. Alasan utamanya, mungkin
alasan ideologi: para pemimpin revolusi mengajarkan bahwa kota
adalah tempat yang jahat. Kota adalah tempat uang. Di kota orang
makan nasi tanpa berjerih payah menanam padi. Para penduduk kota
karenanya perlu diajar oleh pasukan petani miskin itu untuk
merasakan sendiri keringat dan kerja berat di sawah ladang. Ada
juga yang dianggap tak perlu diajar: para bekas tentara dan
pegawai pemerintahan Lon Nol. Sebagian besar mereka dibunuh.
Ada sesuatu yang benar dalam faham itu. Tapi Pol Pot dan
kawan-kawannya adalah orang ekstrim, yang yakin akan kebenaran
sendiri dan menghargai ide lebih dari apa pun. Ribuan orang
dikirim ke tempat kerja paksa. Mereka kerja praktis dengan
tangan telanjang, tanpa makanan cukup, apalagi pengobatan.
Jumlah yang sakit dan bunuh diri tak terhitung. Siapa yang
bertingkah, siapa yang dicurigai, diambil oleh pasukan
bersenjata yang menjaga mereka -- dan dibinasakan di antara
rumpun padi.
Dalam masa berkuasa yang belum lagi 4 tahun, Pol Pot dan
kawan-kawannya juga dengan cepat hendak menyingkirkan agama.
Termasuk agama Budha, yang dianut hampir semua rakyat. Atas nama
Angkar (organisasi)-sebutan untuk Partai Komunis Kamboja --
sejak akhir 1975 kampanye sudah dicanangkan: "Kalian harus
menyingkirkan agama ini dari dirimu. Kalau tidak, kalian musuh
Angkar! " Para pendeta dikirim ke tempat kerja paksa. Para
pemimpinnya ditembak.
Agama lain yang dicoba dihabisi ialah agama Islam, yang dianut
sekitar 250.000 orang, termasuk yang bersuku Melayu. Nopember
1975, kaum Muslimin di desa Trea (utara Kampong Cham) berontak.
Desa itu dihantam dengan B-40 dan mereka yang tertinggal
dihabisi. Sejumlah kepala dipasang seperti satai di sepanjang
sungai Mekong.
Tindakan terhadap umat beragama ini -- yang di negara komunis
lain dijalankan dengan lebih halus dan hati-hati -- menunjukkan
betapa doktrinernya Partai Komunis Kamboja di bawah Pol Pot. Tak
heran bila Dutabesar Swedia yang baru berkunjung ke Kamboja awal
Maret 1976 berkesimpulan: "Sebuah revolusi yang radikal, lebih
radikal dan dtakdirkan akan lebih jauh dari revolusi Cina
ataupun Uni Soviet."
Para pemimpin komunis Vietnam, dalam percakapan tak terbuka,
sering menyebut Pol Pot dkk sebagai "kaum fanatik". Di pihak
lain para pemimpin RRC juga tak semuanya dekat dengan
orang-orang Kamboja yang dibantunya itu. Zhou En-lai lebih
intim dengan Pangeran Sihanouk yang bukan komunis -- dan bantuan
Beijing kepada Phnom Penh mungkin banyak disebabkan oleh
hubungan pribadi itu. Pol Pot dan Ieng Sary diketahui banyak
mendapat ilham dari kaum radikal Cina. Kini gerombolan radikal
dikutuk di negerinya sendiri, jadi siapa kawan sefaham Pol
Pot-Ieng Sary?
Bahkan dalam pidato di Dewan Keamanan PBB pekan lalu Pangeran
Sihanouk -- sementara mewakili pemerintah Pol Pot -- mengakui
benarnya ucapan Presiden Carter: rezim Pol Pot melakukan
pelanggaran terburuk terhadap hak asasi manusia. Ia tak menyebut
berapa orang yang telah dibunuh, tapi lawan Sihanouk dalam debat
itu Duta besar Uni Soviet Oleg Troyanovsky menyebut angka yang
mengerikan: tiga juta. Mungkin tak benar. Tapi suara di belakang
Agkar yang garang memang pernah sesumbar untuk membangun
masyarakat Kamboja yang murni, 1,5 juta orang saja sudah cukup
--dari jumlah 6 juta.
Dalam suasana seperti itu, timbul gerombolan pemberontak,
meskipun tak efektif dan trrpencar di sana-sini. Para pengungsi
membanjir, bukan saja ke Thailand, tapi juga ke Vietnam.
Kemudian dari Vietnam pula datang bantuan kepada para
pemberontak -- dan Pol Pot kalah.
Tak ayal lagi bahwa kaum pemberontak yang kini menang, di bawah
pimpinan Heng Samrin, adalah orang komunis juga. Dan tak pelak
lagi mereka menyediakan diri diperalat oleh para pemimpin
Vietnam, yang menghendaki suatu pemerintahan di Phnom Penh yang
lebih cocok dengan kepentingan Hanoi. Latarbelakang Heng Samrin
dan ke-8 anggota kepemimpinannya masih sangat sedikit diketahui,
kecuali bahwa Samrin (kuranglebih 45 tahun) bekas tokoh partai
dan militer Khmer Merah di wilayah timur. Namun yang pasti para
pemimpin baru Kamboja ini menjanjikan halhal yang berlawanan
benar dengan "gaya" Pol Pot.
Di antaranya ialah menghapuskan sistim kerja kolektif,
mengeluarkan mata uang, mendirikan bank, dan menggerakkan
perekonomian berencana yang digabungkan dengan kekuatan pasar.
Sementara itu, kutukannya kepada pemerintahan Pol Pot nampak
jelas dan berapi-api: "Mereka telah menginjak-injak semua adat
dan tradisi yang bagus dari rakyat kita, melakukan tindakan
vandalisme terhadap kebudayaan bangsa kita yang telah bertahan
lama. Mereka telah melenyapkan kebebasan beragama mengatur
perkawinan paksa kolektif, mencerai-beraikan keluarga . . .
memporak-porandakan lembaga pendidikan sejak dari sekolah dasar
sampai dengan universitas ! ".
Akankah Heng Samrin memilih jalan yang lebih berperikemanusiaan
ketimbang mereka?
Beberapa hari setelah ia terbang melarikan diri ke Beijing,
Pangeran Sihanouk pernah mengatakan satu kemungkinan: bila para
pemenang baru di Phnom Penh itu berhasil mengemba likan
kehidupan yang disukai rakyat, maka rakyat akan berpihak pada
mereka. Kita lihat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini