Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Wajah-wajah yang tersisa

Lon nol, bekas presiden kamboja kini tinggal di waiamae, hawaii bersama keluarganya. norodom sihanouk yang bekas raja, kini berada di beijing. (ln)

20 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG seorang bekas Presiden. Yang satu lagi bekas Raja. Kedua tokoh Kamboja ini, meskipun saling bermusuhan, kini bernasib sama: mereka terbuncang dari tanah air mereka. Tak ayal lagi, mereka adalah sisa yang menonjol dari tragedi Kamboja dalam masa yang tak sampai 10 tahun ini. Lon Nol, sekarang 65 tahun, tinggal di Waiamae, kota kecil di pinggir Metropolitan Honolulu, Hawaii. Rumah bekas Presiden ini jauh dari jalan raya, di sebuah jalan kecil tak beraspal. Dari Honolulu perlu satu setengah jam berkendaraan. Rumahnya dari papan, sederhana. Di garasi kelihatan tiga mobil. Tidak ada penjaga. Di situlah tinggal Lon Nol bersama isteri dan 8 anaknya -- lima lelaki, tiga perempuan. Waktu ditemui pembantu TEMPO A. Dahana dan Bill Sharp, dua pekan lalu, keluarga Lon sedang dalam proses menjual rumah itu. Mereka merencanakan pindah ke Los Angeles, di daratan Amerika, dalam tiga bulan mendatang. "Supaya anak-anak mendapat pndidikan lebih baik," bekas presiden yarlg kalah perang itu menjelaskan, "dan supaya lebih mudah mengurus bisnis." Tapi ia menolak menjelaskan apa bisnisnya. "Kerja saya cuma tinggal di rumah, dan menerima telon dari kawan-kawan dekat -- dan dari simpatisan yang tersebar di seluruh dunia." Hanya itu vang dijelaskannya. Dengan bahasa Kamboja campur Perancis yang diterjemahkan oleh anaknya lelaki, Rath, 16 tahun, Lon Nol kemudian menunjukkan catatan telepon yang diterimanya dari Washington, Paris, Bangkok dan lain-lain. Dengan cara itulah ia mengikuti kcadaan terakhir di negerinya. Ia agak terkejut mendengar perkembangan di Kamboja yang hegitu cepat. Tapi ia nampaknva sudah tahu kemenangan Vietnam tak terelakkan tak akan ada yang bisa mengekang Vietnam, menurut dia, walaupun Washington berbaikan dengan Hanoi. Lagi pula ia pernah meramalkan tiga tahun yang lalu apa yang kini terjadi. Tentu tak bisa dikatakan bahwa ia bersedih. Yang kini jatuh adalah rezim Pol Pot, pemimpin gerakan komunis Khmer Merah yang menggulingkannya April 1975. Namun Lon Nol seorang anti-komunis dan anti Vietnam, dan jelas tak suka akan yang terjadi sekarang. Lahir 13 Nopember 1913 di Prey Veng, 50 km sebelah timur Phnom Penh, ia jadi seorang gubernur dalam pemerintahan kolonial Perancis. Sehabis Perang Dunia II, ia sudah ikut memerangi gerilyawan komunis Vietnam dan sukses. Ia naik pangkat jadi jenderal berbintang tiga. Di masa pemerintahan Pangeran Sihanouk, ia pernah pegang jabatan perdana menteri selama setahun 1966-1967. Ketika Sihanouk dianggapnya gagal mengambil sikap terhadap pasukan komunis Vietnam yang mempergunakan wilayah lamboja, ia menggulingkan raja itu ketika baginda sedang berada di luar negeri. ltu terjadi di tahun 1970 -- masa bermulanya tragedi Kamboja. Dua tahun kemudian, 10 Maret 1972, Lon Nol-lah kemudian yang mengambil alih semua kekuasaan. Dua hari berikutnya dia jadi presiden. Kamboja, tak terelakkan lagi, ikut terjun ke dalam perang Vietnam. Dengan bantuan AS, tentu saja Lon Nol memihak pemerintahan Vietnam Selatan, yang sedang menghadapi serbuan pasukan komunis dari Utara dan gerilyawan komunis di Selatan. Lon Nol sendiri menghadapi gerilyawan Khmer Merah yang ternyata kian kuat. Vietnam Selatan jatuh ke tangan komunis yang menyerbu dari Utara, 1975. Tak lama lagi pemerintahan Lon Nol pun jatuh. Ia melarikan diri ke AS-lewat Indonesia, awal April 1975. Di ruang tamunya di Waianae itu kini tergantung sebuah foto Presiden Soeharto dan Ny. Tien dengan pigura perak bakar. Juga sebuah keris Bali dengan hulu emas yang dihiasi batu-batu cincin. Itulah tandamata dari sahabatnya, Kepala Negara Indonesia, yang mungkin diterimanya ketika ia meninggalkan negaranya dan singgah di Jakarta serta Bali. Sebab, katanya, ia tak membawa barang-barang pribadi dari Phnom Penh. Kepergiannya waktu itu "sangat tiba-tiba". Ia minum teh terus-menerus selama wawancara. Ia kemudian menguraikan pendapatnya kenapa perang terjadi antara Kamboja dan Vietnam, meskipun keduanya komunis. Katanya secara historis kedua bangsa itu tak pernah akur sejak ribuan tahun yang lalu. "Mereka 'kan bukan ras Melayu seperti kita," kata Lon Nol. Di samping latar belakang sejarah lama itu Lon Nol juga percaya akan adanya "surat wasiat Ho Chi Minh". Ho, bapak perjuangan komunis Vietnam, ingin seluruh daerah Indochina jadi sebuah federasi di bawah pengaruh Hanoi. Lon Nol menganggap bahwa jatuhnya rezim Pol Pot merupakan "tindakan terakhir" pelaksanaan missi sejarah itu. Tapi sementara itu Lon Nol toh nenambahkan bahwa "ambisi teritorial" Vietnam "tak akan berhenti di Kamboja." Dalam hal itu ia terdengar seperti Pangeran Sihanouk, raja yang dulu digulingkannya. *** PANGERAN Norodom Sihanouk tampak gemuk. Beberapa jam sebelum Phnom Penh jatuh, ia sempat terbang ke Beijing (Peking). Bagaikan seorang yang baru tertidur seratus tahun, sang pangeran berumur 56 tahun itu jelas merasa antusias bisa bertemu kembali dengan dunia luar. Dan dunia luar itu akhirnya tahu: ternyata ia masih hidup dan sehat. Dua tahun nasibnya tak ketahuan di kota Phnom Penh yang tertutup. Nampaknya, bahkan rezim Pol Pot yang komunis ekstrim pun tetap tak bisa menyingkirkan dia. Dia terlalu lekat dengan sejarah Kamboja dan kepercayaan rakyatnya. Mungkin salah satu kesalahan Lon Nol 8 tahun yang lalu ialah menyingkirkannya -- hingga menyebabkln hilangnya dukungan rakyat Kamboja kepada rezim Lon Nol sendiri. Waktu itu Sihanouk sedang bepergian ke luar negeri. Ia ingin mendesak baik AS maupun Vietnam Utara agar tak lagi menggunakan wilayah Kamboja sebagai salah satu medan pertempuran dalam perang Vietnam. Sejak ia jadi kepala negara menggantikan ayahnya Norodom Suramarit yang wafat April 1960, Sihanouk selalu menjaga netralitas Kamboja. Tapi Lon Nol -- dan pemerintah AS serta Vietnam Selatan - tak sabar. Waktu raja ada di Moskow bertemu dengan para pemimpin Soviet kekuasaannya direbut. Segera setelah itu pasukan AS dan Vietnam Selatan memasuki Kamboja, menggempur tempat persembunyian pasukan Vietnam Utara di sana. Sihanouk pun terbang ke Beijing. Di ibukota RRC ini dia dapat perlindungan dari almarhum Perdana Menteri Zhou (Chou) En-lai. Ia membentuk pemerintah kerajaan dalam pengasingan. Ia menyatakan solidaritasnya dengan Vietnam komunis, Cina dan memusuhi AS --antara lain dengan menulis buku Perangku Melawan CIA. Gerilyawan komunis Khmer Merah, meskipun dulu musuhnya, kini jadi sekutunya. Mereka bersama para penganut kerajaan yang setia membentuk Front Persatuan. Potret-potret Sihanouk kemudian beredar ke seluruh dunia, menunjukkan ia berada bersama para pemimpin gerilyawan merah itu. April 1976, mereka menang. Yang jadi tandatanya waktu itu: bisakah sang pangeran bersekutu terus dengan kaum Khmer Merah? Sihanouk, dengan tubuhnya yang montok pendek, wajahnya yang licin dan suaranya yang tinggi yang cepat menghamburkan kata-kata, terkenal suka hidup enak dan wanita molek. Khmer Merah sebaliknya keras dan puritan. Bukan mengherankan bila ia pernah dikutip mengatakan, "Sehabis perang, saya sendiri tak akan bisa terus dengan Khmer Merah." Tapi di Beijing ia dengan gembira merayakan jatuhnya Phnom Penh -- dengan baju resmi-dasi-kupu-kupu dan sampanye. Ketika itu dari Phnom Penh ratusan ribu orang dengan paksa digiring keluar, mati atau menderita. Sihanouk sendiri rupanya tak banyak tahu keadaan rakyatnya di bawah pemerintahan Khmer Merah. Ia sendiri tak berharap bisa kembali. Ia memang diangkat jadi Kepala Negara oleh Khmer Merah menjelang akhir April 1975. Tapi baru awal September Sihanouk pulang ke tanah airnya -- setelah ia mencipta lagu "Selamat Tinggal, Kamboja". Tak banyak diketahui apa perannya, setelah 66 bulan dalam pengasingan itu. Malam pertama di istananya yang terletak di tepi sungai Mekhong ia rayakan dcngan resepsi dan jamuan makan besar. Tapi seperti kemudian diceritakan para pembantu dekatnya, ia segera dirundung sedih. Ibukotanya yang dulu meriah dengan sekitar setengah juta penduduk kini sepi tinggal bangunan-bangunan suram dan rakyat yang tak sampai 20.000. Sang raja sering menangis. Dari berita yang bisa didengar lewat Radio Phnom Penh, Sihanouk memang kadang keluar berkunjung ke daerah. Tapi nampaknya ia, oleh penguasa Khmer Merah, tak banyak diberi kesempatan berbicara dengan rakyat. Yang ia lihat ialah, seperti kemudian diceritakannya, "mereka bekerja sangat keras," tapi "bukannya tak berbahagia." Rakyat itu senyum, rakyat itu menyanyi -- meskipun bukan lagu cinta yang disukai Sihanouk, melainkan lagu perjuangan. Anak-anak bermain. Jadi, yang dilihatnya cukup menggembirakan. Tapi rupanya Sihanouk tak buta akan segi lain yang muram. Rakyat tak boleh bebas bepergian. Mereka harus berada di tempat-tempat kooperasinya. Dan rupanya benar yang dikisahkan para pengungsi dari Kamboja selama ini: mereka tak punya hak memilih pasangan hidup, tak berhak tinggal bersama anak sendiri. "Saya ingin mereka (pemerintah Khmer Merah -- Red.) memberikan hak dasar itu kepada bangsa saya," ujar Sihanouk, "sebab kami bukan hewan, sapi atau pun kerbau." Namun keinginan seperti itu, bagi pemerintahan komunis Pol Pot, agaknya dianggap mengganggu. Mereka sudah terangkan kepada Sihanouk bahwa itulah "komunisme sejati", bukan komunisme seperti di negeri lain. Sihanouk sendiri, meskipun ia menganggap politik mereka "mengerikan", rupanya tah bisa memilih lain. Ia masih melihat ada kemajuan industrialisasi dan fasilitas irigasi di bawah rezim Pol Pot. Tapi ia tetap tak faham. "Mungkin saya terlalu Na buat memahami jenis baru revolusi itu, yang disebut komunisme total," katanya. Tak mengherankan awal April 1976 -- enambelas tahun semenjak ia jadi raja - ia dikabarkan mengundurkan diri sebagai kepala negara. Dalam pengumuman resmi ia menyatakan hasratnya untuk "undur sama sekali dan selama-lamanya dari kehidupan politik". Baru beberapa bulan sebelumnya, di Sidang Umum PBB awal Oktober 1975, ia menyatakan bahwa posisinva di Kamboja adalah seperti Ratu Inggeris: kepala negara tanpa kekuasaan nyata. Tapi rupanya kedudukan itu pun hendak dilepaskannya. "Saya sudah muak dengan politik," katanya kemudian, dalam wawancara enam jam di Beijing dua pekan lalu "Saya tak disukai pengikut Lon Nol tempo hari, saya juga tak disukai Pol Pot dan kawan-kawannya." Sejak ia mundur itu ia tak ketahuan lagi kabar beritanya. Hanya pemimpin Kamboja Khieu Samphan sebelumnya menjelaskan bahwa dewan menteri akan memberinya gelar "Patriot Agung". Sihanouk juga akan dibayar kurang-lebih AS$8000 setahun. Gelar itu mungkin menyenangkannya, tapi uang itu jelas cuma lelucon: di Kamboja, mata uang apapun tidak berlaku. Tapi sementara itu, seperti kemudian diakui Sihanouk, rezim Pol Pot memperlakukannya dengan baik. Bersama isterinya, Monique, dan dua anaknya, ia diberi tempat tinggal yang cukup nyaman, dengan sebuah kebun dan kolam renang kecil. "Saya berterima kasih kepada Poi Pot," katanya, "ia tak pernah kasar, selalu sangat sopan, selalu sangat beradab." Tapi dua anak Sihanouk dari isteri yang sebelumnya toh dikirim pemerintah ke tempat kerja kooperasi -- dan tak terdengar lagi nasibnya. Sihanouk sendiri hidup sebagai tahanan rumah. Ia tak boleh berhubungan dengan dunia luar, tapi ia bisa mendengarkan radio -- termasuk siaran BBC dan Suara Amerika. Dari sini ia mendengar tentang kekerasan yang dikenakan Pol Pot terhadap rakyat Kamboja -- juga tentang bunuh-diri massal yang dipimpin oleh Pendeta Jim Jones di Guyana. Rezim Pol Pot, menurut Sihanouk, mungkin tak lebih buruk dari Pendeta Jones. Tapi ia toh menangis ketika menceritakan bagaimana ia tak diberi izin oleh rezim Pol Pot untuk mengirim surat ke Ny. Mao Tse-tung, ketika Ketua Mao wafat. "Ketua Mao lebih dari seorang ayah buat saya," katanya terisak-isak. Tapi ia waktu itu rupanya 1ak berhak menyatakan apa pun dari hatinya. Ia kini merasa bahwa para pemimpin Cina pernah menganggapnya sebagai orang yang tak tahu berterima-kasih. RRC sendiri tetap mmbantunya. Apalagi Sihanouk tinggal satu-satunya tokoh Kamboja yang bisa didengar dunia bila ia mengutuk serbuan pasukan Vietnam. "Setelah menelan Kamboja," kata Sihanouk, Vietnam "akan menelan Muang Thai. Setelah Muang Thai, mereka akan menelan Singapura, lalu Malaysia." Agak aneh juga: Norodom Sihanouk pun kini menganut teori domino. Dua puluh tahunan yang lalu adalah Amerika Serikat dan sekutunya yang menganut ini. Mereka lalu terjun dalam kancah perang Vietnam. Mereka antara lain menyingkirkan Sihanouk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus