YANG seorang bekas Presiden. Yang satu lagi bekas Raja. Kedua
tokoh Kamboja ini, meskipun saling bermusuhan, kini bernasib
sama: mereka terbuncang dari tanah air mereka. Tak ayal lagi,
mereka adalah sisa yang menonjol dari tragedi Kamboja dalam masa
yang tak sampai 10 tahun ini.
Lon Nol, sekarang 65 tahun, tinggal di Waiamae, kota kecil di
pinggir Metropolitan Honolulu, Hawaii. Rumah bekas Presiden ini
jauh dari jalan raya, di sebuah jalan kecil tak beraspal. Dari
Honolulu perlu satu setengah jam berkendaraan. Rumahnya dari
papan, sederhana. Di garasi kelihatan tiga mobil. Tidak ada
penjaga.
Di situlah tinggal Lon Nol bersama isteri dan 8 anaknya -- lima
lelaki, tiga perempuan. Waktu ditemui pembantu TEMPO A. Dahana
dan Bill Sharp, dua pekan lalu, keluarga Lon sedang dalam proses
menjual rumah itu. Mereka merencanakan pindah ke Los Angeles, di
daratan Amerika, dalam tiga bulan mendatang. "Supaya anak-anak
mendapat pndidikan lebih baik," bekas presiden yarlg kalah
perang itu menjelaskan, "dan supaya lebih mudah mengurus
bisnis." Tapi ia menolak menjelaskan apa bisnisnya.
"Kerja saya cuma tinggal di rumah, dan menerima telon dari
kawan-kawan dekat -- dan dari simpatisan yang tersebar di
seluruh dunia." Hanya itu vang dijelaskannya. Dengan bahasa
Kamboja campur Perancis yang diterjemahkan oleh anaknya lelaki,
Rath, 16 tahun, Lon Nol kemudian menunjukkan catatan telepon
yang diterimanya dari Washington, Paris, Bangkok dan lain-lain.
Dengan cara itulah ia mengikuti kcadaan terakhir di negerinya.
Ia agak terkejut mendengar perkembangan di Kamboja yang hegitu
cepat. Tapi ia nampaknva sudah tahu kemenangan Vietnam tak
terelakkan tak akan ada yang bisa mengekang Vietnam, menurut
dia, walaupun Washington berbaikan dengan Hanoi. Lagi pula ia
pernah meramalkan tiga tahun yang lalu apa yang kini terjadi.
Tentu tak bisa dikatakan bahwa ia bersedih. Yang kini jatuh
adalah rezim Pol Pot, pemimpin gerakan komunis Khmer Merah yang
menggulingkannya April 1975. Namun Lon Nol seorang anti-komunis
dan anti Vietnam, dan jelas tak suka akan yang terjadi sekarang.
Lahir 13 Nopember 1913 di Prey Veng, 50 km sebelah timur Phnom
Penh, ia jadi seorang gubernur dalam pemerintahan kolonial
Perancis. Sehabis Perang Dunia II, ia sudah ikut memerangi
gerilyawan komunis Vietnam dan sukses. Ia naik pangkat jadi
jenderal berbintang tiga. Di masa pemerintahan Pangeran
Sihanouk, ia pernah pegang jabatan perdana menteri selama
setahun 1966-1967. Ketika Sihanouk dianggapnya gagal mengambil
sikap terhadap pasukan komunis Vietnam yang mempergunakan
wilayah lamboja, ia menggulingkan raja itu ketika baginda
sedang berada di luar negeri.
ltu terjadi di tahun 1970 -- masa bermulanya tragedi Kamboja.
Dua tahun kemudian, 10 Maret 1972, Lon Nol-lah kemudian yang
mengambil alih semua kekuasaan. Dua hari berikutnya dia jadi
presiden. Kamboja, tak terelakkan lagi, ikut terjun ke dalam
perang Vietnam. Dengan bantuan AS, tentu saja Lon Nol memihak
pemerintahan Vietnam Selatan, yang sedang menghadapi serbuan
pasukan komunis dari Utara dan gerilyawan komunis di Selatan.
Lon Nol sendiri menghadapi gerilyawan Khmer Merah yang ternyata
kian kuat.
Vietnam Selatan jatuh ke tangan komunis yang menyerbu dari
Utara, 1975. Tak lama lagi pemerintahan Lon Nol pun jatuh. Ia
melarikan diri ke AS-lewat Indonesia, awal April 1975.
Di ruang tamunya di Waianae itu kini tergantung sebuah foto
Presiden Soeharto dan Ny. Tien dengan pigura perak bakar. Juga
sebuah keris Bali dengan hulu emas yang dihiasi batu-batu
cincin. Itulah tandamata dari sahabatnya, Kepala Negara
Indonesia, yang mungkin diterimanya ketika ia meninggalkan
negaranya dan singgah di Jakarta serta Bali. Sebab, katanya, ia
tak membawa barang-barang pribadi dari Phnom Penh. Kepergiannya
waktu itu "sangat tiba-tiba".
Ia minum teh terus-menerus selama wawancara. Ia kemudian
menguraikan pendapatnya kenapa perang terjadi antara Kamboja
dan Vietnam, meskipun keduanya komunis. Katanya secara historis
kedua bangsa itu tak pernah akur sejak ribuan tahun yang lalu.
"Mereka 'kan bukan ras Melayu seperti kita," kata Lon Nol.
Di samping latar belakang sejarah lama itu Lon Nol juga percaya
akan adanya "surat wasiat Ho Chi Minh". Ho, bapak perjuangan
komunis Vietnam, ingin seluruh daerah Indochina jadi sebuah
federasi di bawah pengaruh Hanoi. Lon Nol menganggap bahwa
jatuhnya rezim Pol Pot merupakan "tindakan terakhir"
pelaksanaan missi sejarah itu.
Tapi sementara itu Lon Nol toh nenambahkan bahwa "ambisi
teritorial" Vietnam "tak akan berhenti di Kamboja."
Dalam hal itu ia terdengar seperti Pangeran Sihanouk, raja yang
dulu digulingkannya.
***
PANGERAN Norodom Sihanouk tampak gemuk. Beberapa jam sebelum
Phnom Penh jatuh, ia sempat terbang ke Beijing (Peking).
Bagaikan seorang yang baru tertidur seratus tahun, sang pangeran
berumur 56 tahun itu jelas merasa antusias bisa bertemu kembali
dengan dunia luar. Dan dunia luar itu akhirnya tahu: ternyata ia
masih hidup dan sehat. Dua tahun nasibnya tak ketahuan di kota
Phnom Penh yang tertutup.
Nampaknya, bahkan rezim Pol Pot yang komunis ekstrim pun tetap
tak bisa menyingkirkan dia. Dia terlalu lekat dengan sejarah
Kamboja dan kepercayaan rakyatnya. Mungkin salah satu kesalahan
Lon Nol 8 tahun yang lalu ialah menyingkirkannya -- hingga
menyebabkln hilangnya dukungan rakyat Kamboja kepada rezim Lon
Nol sendiri.
Waktu itu Sihanouk sedang bepergian ke luar negeri. Ia ingin
mendesak baik AS maupun Vietnam Utara agar tak lagi menggunakan
wilayah Kamboja sebagai salah satu medan pertempuran dalam
perang Vietnam. Sejak ia jadi kepala negara menggantikan ayahnya
Norodom Suramarit yang wafat April 1960, Sihanouk selalu
menjaga netralitas Kamboja. Tapi Lon Nol -- dan pemerintah AS
serta Vietnam Selatan - tak sabar. Waktu raja ada di Moskow
bertemu dengan para pemimpin Soviet kekuasaannya direbut. Segera
setelah itu pasukan AS dan Vietnam Selatan memasuki Kamboja,
menggempur tempat persembunyian pasukan Vietnam Utara di sana.
Sihanouk pun terbang ke Beijing. Di ibukota RRC ini dia dapat
perlindungan dari almarhum Perdana Menteri Zhou (Chou) En-lai.
Ia membentuk pemerintah kerajaan dalam pengasingan. Ia
menyatakan solidaritasnya dengan Vietnam komunis, Cina dan
memusuhi AS --antara lain dengan menulis buku Perangku Melawan
CIA. Gerilyawan komunis Khmer Merah, meskipun dulu musuhnya,
kini jadi sekutunya. Mereka bersama para penganut kerajaan yang
setia membentuk Front Persatuan. Potret-potret Sihanouk kemudian
beredar ke seluruh dunia, menunjukkan ia berada bersama para
pemimpin gerilyawan merah itu. April 1976, mereka menang.
Yang jadi tandatanya waktu itu: bisakah sang pangeran bersekutu
terus dengan kaum Khmer Merah? Sihanouk, dengan tubuhnya yang
montok pendek, wajahnya yang licin dan suaranya yang tinggi yang
cepat menghamburkan kata-kata, terkenal suka hidup enak dan
wanita molek. Khmer Merah sebaliknya keras dan puritan. Bukan
mengherankan bila ia pernah dikutip mengatakan, "Sehabis perang,
saya sendiri tak akan bisa terus dengan Khmer Merah." Tapi di
Beijing ia dengan gembira merayakan jatuhnya Phnom Penh --
dengan baju resmi-dasi-kupu-kupu dan sampanye. Ketika itu dari
Phnom Penh ratusan ribu orang dengan paksa digiring keluar, mati
atau menderita.
Sihanouk sendiri rupanya tak banyak tahu keadaan rakyatnya di
bawah pemerintahan Khmer Merah. Ia sendiri tak berharap bisa
kembali. Ia memang diangkat jadi Kepala Negara oleh Khmer Merah
menjelang akhir April 1975. Tapi baru awal September Sihanouk
pulang ke tanah airnya -- setelah ia mencipta lagu "Selamat
Tinggal, Kamboja".
Tak banyak diketahui apa perannya, setelah 66 bulan dalam
pengasingan itu. Malam pertama di istananya yang terletak di
tepi sungai Mekhong ia rayakan dcngan resepsi dan jamuan makan
besar.
Tapi seperti kemudian diceritakan para pembantu dekatnya, ia
segera dirundung sedih. Ibukotanya yang dulu meriah dengan
sekitar setengah juta penduduk kini sepi tinggal
bangunan-bangunan suram dan rakyat yang tak sampai 20.000. Sang
raja sering menangis.
Dari berita yang bisa didengar lewat Radio Phnom Penh, Sihanouk
memang kadang keluar berkunjung ke daerah. Tapi nampaknya ia,
oleh penguasa Khmer Merah, tak banyak diberi kesempatan
berbicara dengan rakyat. Yang ia lihat ialah, seperti kemudian
diceritakannya, "mereka bekerja sangat keras," tapi "bukannya
tak berbahagia." Rakyat itu senyum, rakyat itu menyanyi --
meskipun bukan lagu cinta yang disukai Sihanouk, melainkan lagu
perjuangan. Anak-anak bermain.
Jadi, yang dilihatnya cukup menggembirakan. Tapi rupanya
Sihanouk tak buta akan segi lain yang muram. Rakyat tak boleh
bebas bepergian. Mereka harus berada di tempat-tempat
kooperasinya. Dan rupanya benar yang dikisahkan para pengungsi
dari Kamboja selama ini: mereka tak punya hak memilih pasangan
hidup, tak berhak tinggal bersama anak sendiri. "Saya ingin
mereka (pemerintah Khmer Merah -- Red.) memberikan hak dasar itu
kepada bangsa saya," ujar Sihanouk, "sebab kami bukan hewan,
sapi atau pun kerbau."
Namun keinginan seperti itu, bagi pemerintahan komunis Pol Pot,
agaknya dianggap mengganggu. Mereka sudah terangkan kepada
Sihanouk bahwa itulah "komunisme sejati", bukan komunisme
seperti di negeri lain. Sihanouk sendiri, meskipun ia menganggap
politik mereka "mengerikan", rupanya tah bisa memilih lain. Ia
masih melihat ada kemajuan industrialisasi dan fasilitas
irigasi di bawah rezim Pol Pot. Tapi ia tetap tak faham.
"Mungkin saya terlalu Na buat memahami jenis baru revolusi itu,
yang disebut komunisme total," katanya.
Tak mengherankan awal April 1976 -- enambelas tahun semenjak ia
jadi raja - ia dikabarkan mengundurkan diri sebagai kepala
negara. Dalam pengumuman resmi ia menyatakan hasratnya untuk
"undur sama sekali dan selama-lamanya dari kehidupan politik".
Baru beberapa bulan sebelumnya, di Sidang Umum PBB awal Oktober
1975, ia menyatakan bahwa posisinva di Kamboja adalah seperti
Ratu Inggeris: kepala negara tanpa kekuasaan nyata. Tapi rupanya
kedudukan itu pun hendak dilepaskannya. "Saya sudah muak dengan
politik," katanya kemudian, dalam wawancara enam jam di Beijing
dua pekan lalu "Saya tak disukai pengikut Lon Nol tempo hari,
saya juga tak disukai Pol Pot dan kawan-kawannya."
Sejak ia mundur itu ia tak ketahuan lagi kabar beritanya. Hanya
pemimpin Kamboja Khieu Samphan sebelumnya menjelaskan bahwa
dewan menteri akan memberinya gelar "Patriot Agung". Sihanouk
juga akan dibayar kurang-lebih AS$8000 setahun. Gelar itu
mungkin menyenangkannya, tapi uang itu jelas cuma lelucon: di
Kamboja, mata uang apapun tidak berlaku.
Tapi sementara itu, seperti kemudian diakui Sihanouk, rezim Pol
Pot memperlakukannya dengan baik. Bersama isterinya, Monique,
dan dua anaknya, ia diberi tempat tinggal yang cukup nyaman,
dengan sebuah kebun dan kolam renang kecil. "Saya berterima
kasih kepada Poi Pot," katanya, "ia tak pernah kasar, selalu
sangat sopan, selalu sangat beradab." Tapi dua anak Sihanouk
dari isteri yang sebelumnya toh dikirim pemerintah ke tempat
kerja kooperasi -- dan tak terdengar lagi nasibnya. Sihanouk
sendiri hidup sebagai tahanan rumah.
Ia tak boleh berhubungan dengan dunia luar, tapi ia bisa
mendengarkan radio -- termasuk siaran BBC dan Suara Amerika.
Dari sini ia mendengar tentang kekerasan yang dikenakan Pol Pot
terhadap rakyat Kamboja -- juga tentang bunuh-diri massal yang
dipimpin oleh Pendeta Jim Jones di Guyana. Rezim Pol Pot,
menurut Sihanouk, mungkin tak lebih buruk dari Pendeta Jones.
Tapi ia toh menangis ketika menceritakan bagaimana ia tak diberi
izin oleh rezim Pol Pot untuk mengirim surat ke Ny. Mao
Tse-tung, ketika Ketua Mao wafat. "Ketua Mao lebih dari seorang
ayah buat saya," katanya terisak-isak. Tapi ia waktu itu rupanya
1ak berhak menyatakan apa pun dari hatinya. Ia kini merasa bahwa
para pemimpin Cina pernah menganggapnya sebagai orang yang tak
tahu berterima-kasih.
RRC sendiri tetap mmbantunya. Apalagi Sihanouk tinggal
satu-satunya tokoh Kamboja yang bisa didengar dunia bila ia
mengutuk serbuan pasukan Vietnam. "Setelah menelan Kamboja,"
kata Sihanouk, Vietnam "akan menelan Muang Thai. Setelah Muang
Thai, mereka akan menelan Singapura, lalu Malaysia."
Agak aneh juga: Norodom Sihanouk pun kini menganut teori domino.
Dua puluh tahunan yang lalu adalah Amerika Serikat dan sekutunya
yang menganut ini. Mereka lalu terjun dalam kancah perang
Vietnam. Mereka antara lain menyingkirkan Sihanouk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini