Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mereka Enggan Kembali

Pemerintah Myanmar dan Bangladesh menyepakati mekanisme pemulangan pengungsi Rohingya. Tak menyelesaikan akar krisis pengungsi.

9 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANWAR Begum kini tak lagi mempercayai pemerintah Myanmar. Sudah tiga kali perempuan Rohingya itu melarikan diri dari kampung halamannya di Rakhine, negara bagian Myanmar yang berbatasan dengan Bangladesh. Dia memilih tinggal di sebuah kamp pengungsi di Bangladesh, yang ditempatinya lebih dari satu bulan terakhir. "Saya tidak ingin kembali," katanya.

Perempuan 55 tahun itu ikut dalam gelombang eksodus terbaru warga Rohingya ke Bangladesh. Sejak akhir Agustus lalu, sedikitnya 501 ribu orang Rohingya terpaksa kabur dari desa-desa mereka di Rakhine. Mereka menyelamatkan diri dari serbuan pasukan Tatmadaw atau militer Myanmar. Di negeri jiran, mereka menyesaki kamp-kamp penampungan, hidup berimpitan dengan 400 ribu pengungsi yang lebih dulu ada di sana.

Begum menanggapi dingin kabar dari Dhaka, ibu kota Bangladesh, Senin pekan lalu. Saat itu, pejabat Myanmar dan Bangladesh bersepakat untuk memulangkan para pengungsi. Kesepakatan itu dicapai dalam pertemuan antara Menteri Luar Negeri Myanmar Kyaw Tint Swe dan Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hassan Mahmud Ali. "Myanmar mengusulkan untuk mengembalikan orang-orang Rohingya dari Bangladesh," ujar Ali.

Para diplomat Myanmar itu meneruskan instruksi Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto negeri tersebut, yang menyinggung ihwal potensi pemulangan pengungsi Rohingya dalam pidatonya pada 19 September lalu. "Ada seruan untuk memulangkan kembali pengungsi yang telah melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh," kata Suu Kyi, tanpa menyebutkan nama Rohingya. "Kami kapan pun siap memulai proses verifikasi (status pengungsi)."

Bagi Begum, iming-iming dari Suu Kyi tak lagi menarik. Pada 1978, ia melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari persekusi Tatmadaw terhadap kaum Rohingya. Ia kembali ke Rakhine pada tahun berikutnya. Kaum Rohingya lagi-lagi mengalami tindak kekerasan, membuat Begum terpaksa kabur ke Bangladesh pada 1991. Tiga tahun berselang, ia masih belum kapok untuk pulang kampung. Begum baru jera saat tentara menyerbu desanya pada Agustus lalu. "Setiap kali mengizinkan kami pulang, mereka melanggar janji," ujarnya.

Amina Katu, pengungsi Rohingya lainnya, bahkan menertawakan upaya pemulangan pengungsi ke Rakhine. "Jika kami ke sana, kami kelak harus kembali lagi ke sini (Bangladesh)," kata Katu, seperti dikutip Reuters.

Perempuan 60 tahun itu menyoroti proses verifikasi yang dimaksud Suu Kyi. Katu dan ribuan pengungsi Rohingya tidak lagi mengantongi dokumen identitas diri. Mereka kabur ke Bangladesh hanya membawa badan. "Semuanya terbakar. Bahkan orang-orang juga dibakar," ujar seorang pengungsi yang menyebut dirinya Abdullah.

Pada 1993, Naypyidaw pernah menerapkan prosedur repatriasi. Lewat verifikasi dokumen, orang-orang Rohingya di Bangladesh akan mendapat status pengungsi. Berbekal status itu, mereka bisa dipulangkan ke Rakhine. Namun, Katu mengatakan, verifikasi status pengungsi akan mubazir tanpa jaminan status kewarganegaraan. Sebab, tanpa berstatus warga negara Myanmar, penduduk Rohingya bakal terus waswas terhadap penganiayaan.

Di Bangladesh, rombongan terbaru pengungsi Rohingya umumnya tinggal di dua kamp yang terdaftar di Kutupalong dan Nayapara di Distrik Cox’s Bazar. Sebagian lainnya menghuni berbagai kamp darurat di tenggara negeri itu. Di dua kamp tadi, "Kami membuka sekolah pengungsi, pusat komunitas, dan madrasah untuk menampung pendatang baru," kata Yante Ismail, juru bicara Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) di Cox’s Bazar, saat dihubungi Tempo lewat surat elektronik.

Menurut Yante, kebanyakan pengungsi Rohingya yang baru tiba adalah perempuan dan anak-anak. Sebagian lainnya orang tua. Mereka terpaksa berjalan kaki berhari-hari untuk mencari selamat di Bangladesh. "Mereka kelelahan, mengalami trauma, lapar, dan haus," ujarnya.

Ada pengungsi yang mengaku belum makan sejak melarikan diri dari desa mereka di Rakhine. Untuk bertahan hidup, mereka hanya minum air hujan atau air tanah. "Banyak dari mereka datang dengan tangan hampa. Kondisi mereka sangat mengenaskan," kata Yante.

Krisis kemanusiaan Rohingya jadi sorotan dunia. Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi, Filippo Grandi, mengatakan bahwa jalan keluar krisis Rohingya ada di Myanmar. Menurut dia, kekerasan terhadap kaum Rohingya wajib disetop dan, yang paling krusial, pemberian status warga negara bagi mereka. "Penolakan kewarganegaraan merupakan aspek kunci dari diskriminasi dan pengucilan yang telah membentuk nasib mereka," ujar Grandi.

Pendapat Grandi sejalan dengan laporan Kofi Annan, Ketua Komisi Penasihat untuk Rakhine, yang dibentuk oleh Aung San Suu Kyi pada September 2016. Dalam laporannya pada Agustus lalu, Annan merekomendasikan pemerintah Myanmar agar meninjau kembali Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Kewarganegaraan Burma. Aturan yang mengaitkan status warga negara dengan etnisitas itu hanya mengakui suku Kachin, Kayah, Karen, Chin, Burma, Mon, dan Rakhine atau Shan sebagai warga Myanmar. Tidak ada nama Rohingya.

Di Naypyidaw, solusi untuk krisis Rohingya tak disambut hangat. Pemerintah Myanmar, terutama junta militer, berkukuh tidak mengakui Rohingya sebagai kelompok etnis. Junta masih melabeli Rohingya sebagai "orang Bengali".

Masalahnya, "Anda tidak bisa membiarkan orang-orang tak bersalah dibunuh hanya karena mereka berasal dari etnis atau agama tertentu," kata Harn Yawnghwe, Direktur Eksekutif Euro-Burma Office. "Itu benar-benar salah. Tidak ada pembenaran atas hal tersebut."

Harn Yawnghwe, 69 tahun, adalah putra bungsu presiden pertama Myanmar, Sao Shwe Thaike. Keluarga Shwe Thaike selama ratusan tahun memerintah Yawnghwe, wilayah yang kini dikenal sebagai Negara Bagian Shan. Bersama Jenderal Aung San, ayah Aung San Suu Kyi, Shwe Thaike terlibat dalam perumusan Perjanjian Panglong 1947. "Dokumen itu menjadi dasar bagi Republik Serikat Burma atau kini Myanmar setelah merdeka dari Inggris pada 1948," ujar Harn kepada kontributor Tempo di Brussels, Asmayani Kusrini.

Harn menganggap Suu Kyi seharusnya bisa berperan lebih banyak dalam krisis Rohingya. Meskipun junta militer masih perkasa, Suu Kyi tidak punya alasan untuk tak membela nasib kaum Rohingya. "Dia jelas bukan tidak berdaya. Itu hanya mitos," kata Harn.

Menurut Harn, posisi sebagai penasihat negara memberi Suu Kyi kekuatan di balik takhta, kendati ia tak memegang kursi kepresidenan. "Dia mengambil jabatan itu karena dia yakin bisa membuat perbedaan. Namun dia tak berbuat apa pun terhadap Rohingya karena dia tidak mau."

Untuk membela Rohingya, menurut Harn, Suu Kyi tak melulu harus mengandalkan jalur konstitusional. Di Myanmar, yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, dia bisa meredam penindasan terhadap etnis Rohingya yang muslim minoritas. "Buddha mengajarkan welas asih dan toleransi. Dia bisa menggunakan nilai-nilai itu untuk mengendalikan kebencian rasial dan fanatisme agama," ujar Harn. "Rakyat akan mendengarnya dan melunakkan sikap mereka."

Mahardika Satria Hadi,asmayani Kusrini (BRUSSELS) (FRONTIER MYANMAR, REUTERS, MYANMAR TIMES)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus