LIMA hari itu hampir sia-sia. Presiden Carter terbang dari
Washington ke Timur Tengah -- dengan harapan perjalanannya
sebagai makelar perd Lmaian akan berhasil. Namun Senin malam itu
di Yerusalem ia sudah merasa capek dan nyaris menyerah. Esok, 13
Maret, begitulah keputusan yang hampir diambilnya, ia akan balik
ke Washington. Dua kali sudah pagi itu ia menyaksikan Kabinet
Israel menolak masalah yang masih menghambat suatu perjanjian
dengan Mesir. Tanda-tanda macet terasa di pelbagai sudut.
Tapi tiba-tiba keadaan berubah. Malam itu juga Menteri Luar
Negeri Israel Moshe Dayan menemui beberapa sejawatnya, para
menteri lain. Mereka cemas juga akan akibat kegagalan misi
Carter bagi hubungan AS-lsrael. Kebetulan Perdana Menteri Begin
tak ada di sana. Para menteri akhirnya sefakat harus ada usul
kompromi baru. Dayan cepat-cepat malam itu juga mendatangi
tempat menginap Menteri Luar Negeri AS Cyrus Vance. Sampai larut
malam, kedua orang itu menyusun dua usul kompromi.
ang pertama, Israel tak akan mendesak lagi supaya ada kontrak
yang pasti dalam membeli minyak Mesir. Walaupun 70% kebutuhannya
yang selama ini disuplai Iran sudah putus setelah Shah jatuh,
Israel nampaknya berhasil diyakinkan Vance bahwa AS akan
menjamin minyak akan mengalir juga entah dari mana. Yang kedua,
untuk mempercepat tukar-menukar duta besar, Israel memajukan
lagi tawarannya yang dulu pernah ditariknya mundurnya pasukan
Israel dari Sinai akan dipercepat.
Vance dengan segera mengontak presidennya. Selasa pagi, Carter
bertemu dengan Begin. Sampai beberapa jam, Begin tak menyatakan
kesefakatannya secara spesifik. Ia hanya menerima prinsip umum
kompromi itu, dan mengatakan ia akan menawarkannya kepada sidang
Kabinet, jika di Mesir Presiden Sadat setuju akan usul baru
tadi.
Dibangunkan Dari Tidur
Carter pun terbang ke Kairo. Di lapangan udara ia berbicara
dengan Sadat. Tak banyak ragu lagi, Sadat mengangguk. Dengan
segera berita disampaikan ke Begin. Kabinet Israel bersidang.
Rabu itu Radio Israel mengabarkan: 15 suara dalam kabinet
koalisi itu menyetujui usul kompromi baru. Tak ada yang
menentang, hanya satu suara menteri yang abstain. Di pesawatnya
dalam perjalanan pulang ke Washington, Carter dibangunkan dari
tidurnya. Berita gembira itu disampaikan kepadanya.
"Dalam memilih perdamaian," kata Carter dalam pernyataannya
setelah itu, "Presiden Sadat dan Perdana Menteri Begin
memberanikan diri memasuki wilayah yang belum diketahui." Namun,
kata Carter pula -- nadanya penuh harapan tapi tak menghilangkan
kesan kecemasan -- "mereka tahu bahwa Amerika akan bersama
mereka."
Hanya Amerika? Nampaknya tak jauh dari kemungkinan itu. Di New
York, Dutabesar Kuwait untuk PBB Abdullah Bishara, menyatakan ia
yakin Mesir akan dikeluarkan dari Liga Arab, bila menandatangani
perjanjian terpisah dengan Israel. Peringatan ini sudah
dikeluarkan Nopember 1978 dalam konferensi Liga itu di Baghdad.
Suara yang sama terdengar di Kuwait sendiri, dari mulut Menteri
Luar Negeri Syekh Sabah al-Ahmad.
Suara yang sama terdengar pula dari negeri Arab moderat yang
lain. Suratkabar Al Nadwah di Arab Saudi bahkan berseru agar
bangsa Arab melaksanakan resolusi anti-Sadat mereka, dan menilai
perjanjian perdamaian Israel-Mesir yang hampir diteken ini "tak
akan membawa damai yang sejati ke kawasan ini." Di Yordania,
harian setengah resmi Al Rai menulis: "Sadat telah memberikan
kepada Israel segalanya." Jika dari Kuwait, Arab Saudi dan
Yordania suara begitu sumbang, apalagi dari Iraq, Suriah, Libia,
dan tentu saja PLO. Pemimpin PLO Yasser Arafat di Beirut,
Lebanon, mengancam boikot minyak bagi Mesir. PLO akan
"menghadapi negara Arab mana saja" yang melanggar embargo ini.
Kemarahan tak cuma di mulut Arafat. Di daerah Tepi Barat sungai
Yordan di Halhul, 600 murid sekolah menengah dan orang dewasa
pekan lalu memenuhi jalan utama yang menghubungkan Halhul dengan
Yerussalem. Mereka menyatakan menentang persetujuan damai.
Mereka melempari batu 8 tentara Israel dan sebuah mobil sipil.
Kota kecil berpenduduk 10.000 itu dengan segera kacau. Tentara
melepaskan tembakan. Dua orang muda tewas. Itulah pertama
kalinya sejak Begin berkuasa sepasukan tentara Israel menembaki
demonstran.
Itu juga pertanda lebih serius bahwa dari daerah Arab yang
didudukinya itu Israel akan terus dapat ancaman. Sebagian besar
penduduk pendukung PLO. Mereka menghendaki pemerintahan sendiri.
Orang-orang Israel yang yakin kepada doktrin Zionisme,
menganggap itu tak bisa diberikan: Kitab Suci mereka nenyatakan
tanah itu milik Yahudi, bernama Judea dan Samaria. Orang Israel
lain yang bukan Zionis juga takut bila Tepi Barat itu jadi
negeri sendiri yang makin mengepung Israel.
Dengan semangat itulah Dutabesar Israel di PBB Yehuda Blom pekan
lalu di Dewan Keamanan menyebut hak Israel untuk mendirikan
pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan juga di daerah Gaza. Kota
suci Yerussalem yang sebagian dulu dikuasai Yordania juga ia
nyatakan tak akan dikembalikan. Raja Daud mendirikan kota itu
sebagai ibukota Israel 3000 tahun yang lalu, kata Blom.
Raja Daud
Orang seperti Blom, dan juga Begin, nampaknya memang lebih mudah
berbicara tentang hal 3000 tahun yang silam ketimbang 25 tahun
yang akan datang. Memasuki abad ke-21 nanti penduduk Arab di
wilayah yang dikuasai Israel akan menjadikan mereka kelompok
mayoritas di negeri Yahudi -- berkat angka kelahiran mereka yang
lebih tinggi. Negeri Israel yang akan lahir dari keadaan seperti
itu bukan saja akan berbeda dari negerinya Nabi Daud, tapi juga
dari Israel waktu ia didirikan di tahun 1948.
Maka bagi banyak pengamat, penyelesaian politik orang Palestina
di Tepi Barat pada akhirnya tak terelakkan. Namun buat sementara
ini, nampaknya Sadat lebih terdesak akan soal dalam negeri Mesir
sendiri. Suatu bantuan ekonomi dari AS dengan segera akan
dibicarakan. Juga bantuan militer. Sadat sendiri yang akan
terbang ke Washington, akan mendiskusikan perinciannya. Ia
memang masih berusaha menjaga perasaan penyumbangnya yang dulu,
Arab Saudi. Maka ia mngirim Wakil Presiden Husni Mubarak ke
Ryadh, meskipun harapan dari sana nampaknya tak cerah. Tapi
Anwar Sadat rupanya telah memutuskan: kalau perlu, Mesir adalah
Mesir Arab adalah Arab. Ia mungkin bisa berbuat lain, tapi
langkah sudah mustahil ditarik kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini