Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mesir Adalah Mesir, Arab Adalah Arab

Kunjungan Presiden Carter ke Israel & Mesir yang berhasil mencapai kesepakatan. Negara-negara Arab akan melaksanakan resolusi anti Sadat & boikot minyak. Bantuan ekonomi dari AS segera dibicarakan. (ln)

24 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA hari itu hampir sia-sia. Presiden Carter terbang dari Washington ke Timur Tengah -- dengan harapan perjalanannya sebagai makelar perd Lmaian akan berhasil. Namun Senin malam itu di Yerusalem ia sudah merasa capek dan nyaris menyerah. Esok, 13 Maret, begitulah keputusan yang hampir diambilnya, ia akan balik ke Washington. Dua kali sudah pagi itu ia menyaksikan Kabinet Israel menolak masalah yang masih menghambat suatu perjanjian dengan Mesir. Tanda-tanda macet terasa di pelbagai sudut. Tapi tiba-tiba keadaan berubah. Malam itu juga Menteri Luar Negeri Israel Moshe Dayan menemui beberapa sejawatnya, para menteri lain. Mereka cemas juga akan akibat kegagalan misi Carter bagi hubungan AS-lsrael. Kebetulan Perdana Menteri Begin tak ada di sana. Para menteri akhirnya sefakat harus ada usul kompromi baru. Dayan cepat-cepat malam itu juga mendatangi tempat menginap Menteri Luar Negeri AS Cyrus Vance. Sampai larut malam, kedua orang itu menyusun dua usul kompromi. ang pertama, Israel tak akan mendesak lagi supaya ada kontrak yang pasti dalam membeli minyak Mesir. Walaupun 70% kebutuhannya yang selama ini disuplai Iran sudah putus setelah Shah jatuh, Israel nampaknya berhasil diyakinkan Vance bahwa AS akan menjamin minyak akan mengalir juga entah dari mana. Yang kedua, untuk mempercepat tukar-menukar duta besar, Israel memajukan lagi tawarannya yang dulu pernah ditariknya mundurnya pasukan Israel dari Sinai akan dipercepat. Vance dengan segera mengontak presidennya. Selasa pagi, Carter bertemu dengan Begin. Sampai beberapa jam, Begin tak menyatakan kesefakatannya secara spesifik. Ia hanya menerima prinsip umum kompromi itu, dan mengatakan ia akan menawarkannya kepada sidang Kabinet, jika di Mesir Presiden Sadat setuju akan usul baru tadi. Dibangunkan Dari Tidur Carter pun terbang ke Kairo. Di lapangan udara ia berbicara dengan Sadat. Tak banyak ragu lagi, Sadat mengangguk. Dengan segera berita disampaikan ke Begin. Kabinet Israel bersidang. Rabu itu Radio Israel mengabarkan: 15 suara dalam kabinet koalisi itu menyetujui usul kompromi baru. Tak ada yang menentang, hanya satu suara menteri yang abstain. Di pesawatnya dalam perjalanan pulang ke Washington, Carter dibangunkan dari tidurnya. Berita gembira itu disampaikan kepadanya. "Dalam memilih perdamaian," kata Carter dalam pernyataannya setelah itu, "Presiden Sadat dan Perdana Menteri Begin memberanikan diri memasuki wilayah yang belum diketahui." Namun, kata Carter pula -- nadanya penuh harapan tapi tak menghilangkan kesan kecemasan -- "mereka tahu bahwa Amerika akan bersama mereka." Hanya Amerika? Nampaknya tak jauh dari kemungkinan itu. Di New York, Dutabesar Kuwait untuk PBB Abdullah Bishara, menyatakan ia yakin Mesir akan dikeluarkan dari Liga Arab, bila menandatangani perjanjian terpisah dengan Israel. Peringatan ini sudah dikeluarkan Nopember 1978 dalam konferensi Liga itu di Baghdad. Suara yang sama terdengar di Kuwait sendiri, dari mulut Menteri Luar Negeri Syekh Sabah al-Ahmad. Suara yang sama terdengar pula dari negeri Arab moderat yang lain. Suratkabar Al Nadwah di Arab Saudi bahkan berseru agar bangsa Arab melaksanakan resolusi anti-Sadat mereka, dan menilai perjanjian perdamaian Israel-Mesir yang hampir diteken ini "tak akan membawa damai yang sejati ke kawasan ini." Di Yordania, harian setengah resmi Al Rai menulis: "Sadat telah memberikan kepada Israel segalanya." Jika dari Kuwait, Arab Saudi dan Yordania suara begitu sumbang, apalagi dari Iraq, Suriah, Libia, dan tentu saja PLO. Pemimpin PLO Yasser Arafat di Beirut, Lebanon, mengancam boikot minyak bagi Mesir. PLO akan "menghadapi negara Arab mana saja" yang melanggar embargo ini. Kemarahan tak cuma di mulut Arafat. Di daerah Tepi Barat sungai Yordan di Halhul, 600 murid sekolah menengah dan orang dewasa pekan lalu memenuhi jalan utama yang menghubungkan Halhul dengan Yerussalem. Mereka menyatakan menentang persetujuan damai. Mereka melempari batu 8 tentara Israel dan sebuah mobil sipil. Kota kecil berpenduduk 10.000 itu dengan segera kacau. Tentara melepaskan tembakan. Dua orang muda tewas. Itulah pertama kalinya sejak Begin berkuasa sepasukan tentara Israel menembaki demonstran. Itu juga pertanda lebih serius bahwa dari daerah Arab yang didudukinya itu Israel akan terus dapat ancaman. Sebagian besar penduduk pendukung PLO. Mereka menghendaki pemerintahan sendiri. Orang-orang Israel yang yakin kepada doktrin Zionisme, menganggap itu tak bisa diberikan: Kitab Suci mereka nenyatakan tanah itu milik Yahudi, bernama Judea dan Samaria. Orang Israel lain yang bukan Zionis juga takut bila Tepi Barat itu jadi negeri sendiri yang makin mengepung Israel. Dengan semangat itulah Dutabesar Israel di PBB Yehuda Blom pekan lalu di Dewan Keamanan menyebut hak Israel untuk mendirikan pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan juga di daerah Gaza. Kota suci Yerussalem yang sebagian dulu dikuasai Yordania juga ia nyatakan tak akan dikembalikan. Raja Daud mendirikan kota itu sebagai ibukota Israel 3000 tahun yang lalu, kata Blom. Raja Daud Orang seperti Blom, dan juga Begin, nampaknya memang lebih mudah berbicara tentang hal 3000 tahun yang silam ketimbang 25 tahun yang akan datang. Memasuki abad ke-21 nanti penduduk Arab di wilayah yang dikuasai Israel akan menjadikan mereka kelompok mayoritas di negeri Yahudi -- berkat angka kelahiran mereka yang lebih tinggi. Negeri Israel yang akan lahir dari keadaan seperti itu bukan saja akan berbeda dari negerinya Nabi Daud, tapi juga dari Israel waktu ia didirikan di tahun 1948. Maka bagi banyak pengamat, penyelesaian politik orang Palestina di Tepi Barat pada akhirnya tak terelakkan. Namun buat sementara ini, nampaknya Sadat lebih terdesak akan soal dalam negeri Mesir sendiri. Suatu bantuan ekonomi dari AS dengan segera akan dibicarakan. Juga bantuan militer. Sadat sendiri yang akan terbang ke Washington, akan mendiskusikan perinciannya. Ia memang masih berusaha menjaga perasaan penyumbangnya yang dulu, Arab Saudi. Maka ia mngirim Wakil Presiden Husni Mubarak ke Ryadh, meskipun harapan dari sana nampaknya tak cerah. Tapi Anwar Sadat rupanya telah memutuskan: kalau perlu, Mesir adalah Mesir Arab adalah Arab. Ia mungkin bisa berbuat lain, tapi langkah sudah mustahil ditarik kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus