HAJI Muhammad Askari, 52 tahun, jatuh malu. Minggu lalu namanya
disebut di koran sebagai "pemeras rakyat." Askari, pensiunan
Peltu Pol 1976 adalah lurah Desa Angsana, Kecamatan Munjul,
Pandeglang, Banten. Jabatan ini didudukinya sejak 13 tahun lalu.
"Saya malu. Lalu apa artinya ibadah haji saya kalau saya
kerjakan dari hasil yang menghebohkan itu?" ujarnya.
Yang dimaksud Askari ialah berita pengaduan 6 penduduk desanya
ke DPR-RI di Senayan, Jakarta, 7 Maret lalu. Diterima FKP,
mereka berharap agar Askari segera diganti.
Dipimpin Achmad Djaja, pensiunan guru, mereka membeberkan 7
macam penyelewengan pak lurah. Mulai dari perampasan tanah,
menyelewengkan uang SD Inpres, "kerja paksa" di tanah pertanian
pribadi, pungutan sumbangan untuk yang akan menunaikan ibadah
haji, kenaikan pajak tanah milik sebesar 100% sampai dengan
tuduhan melindungi 3 oknum bekas BTI/PKI. "Kalau laporan ini
tidak benar," kata Achmad Djaja' "saya berani ditembak."
Kalau Omong Saja
Askari menolak disebut menyelewengkan uang SD Inpres dan memeras
rakyat dengan mewajibkan membangunnya secara gotong-royong.
Selain rakyat yang bekerja diberi upah, menurut Askari, bahan
bangunan yang dibelinya sebagai Pelaksana Proyek juga dengan
harga umum. Tentang pembelian tanah penduduk, katanya juga
dilakukan secara sah. Dan tidak dengan dalih untuk pembangunan
SD Inpres.
Tentang dana haji, Askari menilainya wajar. "Sebagai tanda
kegembiraan, biasanya rakyat memberi sumbangan kepada yang mau
berangkat ke Mekah," katanya kepada DS Karma dari TEMPO "Semua
itu saya lakukan berdasarkan keputusan musyawarah desa,"
tambahnya. Tentang penampungan bekas BTI/PKI? Askari yang
sebelum jadi Lurah Angsana adalah Kasi Intel Kepolisian Labuan
itu membantah adanya bekas PKI yang jadi pamong desa.
Tak kurang dari Sumantri, 50 tahun, Ketua DPRD Pandeglang,
tersengat pula. Ia bahkan merasa perlu mengirim surat kepada
Sarwono Kusumaatmadja, sekretaris FKP yang tempo hari menerima
rombongan Achmad Djaja. Menjelaskan usaha "peremajaan" Kepala
Desa Angsana, Letkol Sumantri yang bekas Kastaf Kodim
Pandeglang itu berkesimpulan bahwa rombongan Achmad Djaja
"bermaksud negatif, menurunkan wibawa pimpinan daerah, termasuk
pimpinan DPRD. "
Menurut Sumantri, tuntutan warga desa itu sudah dibicarakannya
dengan Dandim 0601/Maulana Yusuf karen. kasus ini pernah
dilaporkan kepada instansi itu di tahun 1978. Kemudian mereka
membicarakannya pula dengan Bupati Pandeglang, H. Karna Suwanda
Dan bupati lalu mengirim surat kepada Gubernur Jawa Barat. Maka
dengan SK 26 Pebruari 1979, 21 kepala desa di kabupaten
Pandeglang diganti.
Tapi pemberhentian Askari bukanlah lantaran tindakannya yang
menghebohkan itu. Sebab, seperti kata M. Randil. sekretaris
Kabupaten Pandeglang, "soal itu harus diselidiki dulu." Dan
tentu saja penduduk belum mendengar keputusan ini sebab menurut
Sumantri, "peremajaan" itu dilaksanakan secara diam-diam "jangan
sampai meresahkan masyarakat." Askari sendiri, sampai 17 Maret
belum mendengar ia diberhentikan.
Kejadian ini hanyalah satu bukti betapa benih krisis kepercayaan
terhadap pejabat daerah mulai menghinggapi rakyat -- seperti
dikatakan Albert Hasibuan anggota DPR Komisi III (Hukum) pekan
lalu. Itu menurut Albert karena rakyat merasa pejabat daerah
tidak mampu mengatasi persoalan secara adil dan tidak mampu
melindungi hak rakyat.
Akibatnya rakyat langsung mengadu ke DPR di Senayan. Lebih dari
itu, menurut Albert, para pejabat daerah secara langsung atau
tidak ikut serta mengambil bagian dalam proses merugikan rakyat.
"Atau minimal rakyat merasaka adanya solidaritas antara sesama
pejabat yang sulit ditembus," katanya. Kesan seperti itu
tampaknya juga ada pada pimpinan DPR.
Dan 10 Maret lalu, dipimpin ketua DPR-MPR Daryatmo, mereka
bertemu Presiden Soeharto di Bina Graha. "Kalau omong saja
mungkin rakyat sudah muak," kata Daryatmo. "Yang penting rakyat
tidak menemui jalan buntu menyampaikan unek-uneknya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini