Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Krisis, Setelah 13 tahun

Pengaduan 6 penduduk Desa Angsana, kecamatan muncul Pandeglang, Banten ke DPR tentang penyelewengan Lurah Askari. Rombongan dianggap bermaksud negatif. Adanya krisis kepercayaan terhadap pejabat daerah. (nas)

24 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAJI Muhammad Askari, 52 tahun, jatuh malu. Minggu lalu namanya disebut di koran sebagai "pemeras rakyat." Askari, pensiunan Peltu Pol 1976 adalah lurah Desa Angsana, Kecamatan Munjul, Pandeglang, Banten. Jabatan ini didudukinya sejak 13 tahun lalu. "Saya malu. Lalu apa artinya ibadah haji saya kalau saya kerjakan dari hasil yang menghebohkan itu?" ujarnya. Yang dimaksud Askari ialah berita pengaduan 6 penduduk desanya ke DPR-RI di Senayan, Jakarta, 7 Maret lalu. Diterima FKP, mereka berharap agar Askari segera diganti. Dipimpin Achmad Djaja, pensiunan guru, mereka membeberkan 7 macam penyelewengan pak lurah. Mulai dari perampasan tanah, menyelewengkan uang SD Inpres, "kerja paksa" di tanah pertanian pribadi, pungutan sumbangan untuk yang akan menunaikan ibadah haji, kenaikan pajak tanah milik sebesar 100% sampai dengan tuduhan melindungi 3 oknum bekas BTI/PKI. "Kalau laporan ini tidak benar," kata Achmad Djaja' "saya berani ditembak." Kalau Omong Saja Askari menolak disebut menyelewengkan uang SD Inpres dan memeras rakyat dengan mewajibkan membangunnya secara gotong-royong. Selain rakyat yang bekerja diberi upah, menurut Askari, bahan bangunan yang dibelinya sebagai Pelaksana Proyek juga dengan harga umum. Tentang pembelian tanah penduduk, katanya juga dilakukan secara sah. Dan tidak dengan dalih untuk pembangunan SD Inpres. Tentang dana haji, Askari menilainya wajar. "Sebagai tanda kegembiraan, biasanya rakyat memberi sumbangan kepada yang mau berangkat ke Mekah," katanya kepada DS Karma dari TEMPO "Semua itu saya lakukan berdasarkan keputusan musyawarah desa," tambahnya. Tentang penampungan bekas BTI/PKI? Askari yang sebelum jadi Lurah Angsana adalah Kasi Intel Kepolisian Labuan itu membantah adanya bekas PKI yang jadi pamong desa. Tak kurang dari Sumantri, 50 tahun, Ketua DPRD Pandeglang, tersengat pula. Ia bahkan merasa perlu mengirim surat kepada Sarwono Kusumaatmadja, sekretaris FKP yang tempo hari menerima rombongan Achmad Djaja. Menjelaskan usaha "peremajaan" Kepala Desa Angsana, Letkol Sumantri yang bekas Kastaf Kodim Pandeglang itu berkesimpulan bahwa rombongan Achmad Djaja "bermaksud negatif, menurunkan wibawa pimpinan daerah, termasuk pimpinan DPRD. " Menurut Sumantri, tuntutan warga desa itu sudah dibicarakannya dengan Dandim 0601/Maulana Yusuf karen. kasus ini pernah dilaporkan kepada instansi itu di tahun 1978. Kemudian mereka membicarakannya pula dengan Bupati Pandeglang, H. Karna Suwanda Dan bupati lalu mengirim surat kepada Gubernur Jawa Barat. Maka dengan SK 26 Pebruari 1979, 21 kepala desa di kabupaten Pandeglang diganti. Tapi pemberhentian Askari bukanlah lantaran tindakannya yang menghebohkan itu. Sebab, seperti kata M. Randil. sekretaris Kabupaten Pandeglang, "soal itu harus diselidiki dulu." Dan tentu saja penduduk belum mendengar keputusan ini sebab menurut Sumantri, "peremajaan" itu dilaksanakan secara diam-diam "jangan sampai meresahkan masyarakat." Askari sendiri, sampai 17 Maret belum mendengar ia diberhentikan. Kejadian ini hanyalah satu bukti betapa benih krisis kepercayaan terhadap pejabat daerah mulai menghinggapi rakyat -- seperti dikatakan Albert Hasibuan anggota DPR Komisi III (Hukum) pekan lalu. Itu menurut Albert karena rakyat merasa pejabat daerah tidak mampu mengatasi persoalan secara adil dan tidak mampu melindungi hak rakyat. Akibatnya rakyat langsung mengadu ke DPR di Senayan. Lebih dari itu, menurut Albert, para pejabat daerah secara langsung atau tidak ikut serta mengambil bagian dalam proses merugikan rakyat. "Atau minimal rakyat merasaka adanya solidaritas antara sesama pejabat yang sulit ditembus," katanya. Kesan seperti itu tampaknya juga ada pada pimpinan DPR. Dan 10 Maret lalu, dipimpin ketua DPR-MPR Daryatmo, mereka bertemu Presiden Soeharto di Bina Graha. "Kalau omong saja mungkin rakyat sudah muak," kata Daryatmo. "Yang penting rakyat tidak menemui jalan buntu menyampaikan unek-uneknya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus