Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perdana Menteri Irak, Nouri al-Maliki, seperti tak sanggup menangkap apa yang sedang menimpa tanah tumpah darahnya. Tiba-tiba saja politisi dari kalangan Syiah ini menunda konferensi rekonsiliasi yang sedianya akan berlangsung pada Sabtu 14 Oktober lalu.
Tak ada penjelasan Maliki soal penundaan. Sedangkan Kementerian Negara untuk Dialog Nasional, yang bertugas menggelar hajat ini, hanya menyatakan ”alasan darurat yang di luar kontrol kementerian”. Padahal Maliki yang berkuasa empat bulan lalu sudah menyiapkan 24 butir pelaksanaan rekonsiliasi nasional untuk menanggulangi kekacauan politik dan pertumpahan darah di Irak.
Maliki malah memohon kepada rakyat Irak agar menyetujui penerapan konstitusi sementara yang dihasilkan pemerintah Irak pasca-Saddam Hussein untuk menghadapi maraknya terorisme. ”Suara Andalah yang mengesahkan konstitusi untuk melenyapkan teroris yang membantai penduduk sipil tak berdosa, menodai tempat suci, menghancurkan infrastruktur, menghalangi rekonstruksi dan pelayanan untuk rakyat,” katanya.
Tapi bukan dukungan yang muncul. Esoknya, televisi satelit Al-Jazeera menayangkan rekaman video sepanjang 8 menit 32 detik yang menampilkan seorang laki-laki berjubah putih tak bernama. Ia duduk di depan selembar bendera dan spanduk bertuliskan ”Tak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad rasul Allah”.
Wajahnya tak begitu jelas. Yang jelas, ia menyampaikan pernyataan organisasi kelompok perlawanan umat Sunni Irak, Dewan Shura Mujahidin, yang memproklamasikan Negara Islam Irak. ”Saudaramu mengumumkan pendirian negara Islam di Bagdad, Anbar, Diyala, Kirkuk, Salah al-Din, Ninawa, untuk melindungi agama dan rakyat kita,” ujar laki-laki yang mengaku juru bicara Negara Islam Irak dan Kementerian Informasi itu.
Dewan Shura Mujahidin adalah organisasi yang memelopori berdirinya aliansi kelompok perlawanan Sunni, Hilf al-Mutayibeen. Selain Dewan Shura Mujahidin, bergabung juga dalam aliansi ini Jaish al-Fatiheen, Jund al-Sahaba, Kataeb Ansar al-Tawheed wal-Sunnah, dan banyak kepala suku Sunni Arab. Hilf al-Mutayibeen berjanji membebaskan kelompok Sunni muslim Irak dari penindasan Amerika Serikat dan pemerintah Irak, yang mereka anggap sebagai pemerintah boneka.
Dalam rekaman itu dijelaskan negara Islam telah diciptakan untuk melindungi rakyat Sunni dan membela agama, dan akan diperintah berdasarkan hukum Islam. ”Kami sampaikan pesan khusus kepada ketua suku dan semua umat muslim Sunni di Irak agar loyal kepada Kepala Negara Islam Irak, Abu Omar al-Baghdadi, dengan ketaatan dan kepatuhan,” ujar sang juru bicara.
Pernyataan proklamasi ini segera disambar dengan penuh kemarahan oleh ketua parlemen Irak, Mahmud al-Mashhedani. Ia mencemooh pemimpin Hilf al-Mutayibeen sebagai ”kelompok vulgar dan tak beragama yang membunuh rakyat Irak dengan dalih jihad”. ”Mereka yang percaya terhadap dewan ini adalah dungu, dan mereka yang mengikutinya adalah tolol,” ujar Mahmud al-Mashhedani. Bagi Mahmud, proklamasi negara Islam itu hanya bertujuan membakar konflik sektarian.
Jika rekaman itu asli, proklamasi itu menunjukkan perubahan strategi perjuangan kelompok Sunni Arab di Irak menghadapi pesaingnya, kelompok Syiah dan Kurdi yang kini menguasai pemerintah Irak. Sebab, selama ini kelompok minoritas Sunni, yang pernah berkuasa hingga Presiden Saddam Hussein disingkirkan Amerika Serikat, menentang konsep negara federal yang telah disahkan undang-undangnya oleh parlemen Irak.
Bagi partai politik Sunni, sistem negara federal hanya akan membelah Irak menjadi tiga bagian wilayah otonom. Wilayah selatan Irak yang kaya minyak akan dikuasai mayoritas Syiah, dan wilayah utara yang juga kaya minyak akan dikuasai mayoritas Kurdi. Sisanya, wilayah tengah Irak yang merupakan permukiman penduduk Sunni Arab, miskin sumber daya alam.
Sebaliknya, mayoritas Syiah dan Kurdi mendukung sistem federal yang membagi wilayah Irak. Meski sebagian kelompok Syiah lainnya tunduk pada karisma Imam Muqtada al-Sadr yang anti-Amerika, menentang konsep pengkaplingan wilayah Irak berdasarkan Syiah-Sunni-Kurdi.
Tapi, sejumlah analis Barat menilai pengumuman kelompok Sunni itu tak lebih dari sepak terjang kelompok perlawanan Irak yang cenderung hanya mampu menggelar aksi simbolik. Memang maut seperti tak akan pernah lelah mencari sasaran di setiap jengkal tanah Irak. Di dua kota kawasan utara Irak, Mosul dan Kirkuk, bom bunuh diri menewaskan 24 orang dan melukai 72 orang, Selasa pekan lalu. Bahkan menurut juru bicara militer Amerika, serangan pejuang Irak meningkat 22 persen selama Ramadan ini.
Tapi, toh tak ada kelompok perlawanan Sunni Irak yang betul-betul tangguh dan punya otoritas bertindak sebagai pesaing kuat pemerintah yang dikuasai kelompok Syiah dan Kurdi. Apalagi tak satu pun kelompok perlawanan dalam aliansi Hilf Al-Mutayibeen itu benar-benar menguasai satu dari enam wilayah yang mereka klaim mendukung Negara Islam Irak.
Di Ramadi, ibu kota Provinsi Anbar, sekelompok orang bersenjata dengan kepala ditutup menggelar parade militer mengusung spanduk yang bertuliskan ajakan agar mendukung Negara Islam Irak. Anbar adalah provinsi yang berpenduduk mayoritas Sunni. Dari pengeras suara sejumlah masjid juga terdengar ajakan yang sama.
Tapi proklamasi kelompok Sunni ini dan kekerasan sektarian yang kini marak jelas menunjukkan kelemahan Perdana Menteri Nouri al-Maliki mengatasi kerusuhan di Irak, yang ia warisi dari pemerintahan sebelumnya. Penelitian Universitas John Hopkins, Baltimore, Amerika Serikat, menunjukkan kematian penduduk Irak mencapai 942.636 orang.
Menurut Departemen Imigrasi Irak, ratusan paspor distempel setiap hari untuk penduduk yang sedang berusaha memperoleh tiket pesawat terbang atau hanya menggunakan taksi untuk hengkang dari Irak. Kekerasan telah memaksa 1,5 juta rakyat Irak kabur dari tanah airnya. Selain itu, sekitar 300 ribu orang meninggalkan rumah mereka mengungsi ke kawasan lain di Irak.
Tak mengherankan bila ada analis yang menilai Irak kini terjebak dalam kubangan perang sipil. ”Irak sudah menjadi satu negara dengan perang sipil yang parah,” ujar Anthony H. Cordesman, analis Amerika dari Pusat Studi Strategis Internasional. Konflik sipil, kata Cordesman, cenderung akan menjadi konflik utama dalam beberapa bulan mendatang.
Yang menarik, kekerasan yang menggelegak di Irak dan proklamasi berdirinya Negara Islam Irak terjadi menjelang pemilihan anggota Kongres di Amerika Serikat pada 7 November mendatang. Tidak mustahil Partai Republik, yang menjadi tulang punggung kebijakan perang Presiden George W. Bush di Irak, akan kehilangan dukungan.
Bahkan Bush menganggap situasi Irak saat ini mirip situasi yang dihadapi Presiden Lyndon Johnson ketika tentara Amerika di Vietnam menghadapi ”Serbuan Tet” pasukan Vietcong. Meski Vietcong gagal, serbuan itu menyebabkan titik balik campur tangan Amerika di Vietnam yang pada gilirannya mendepak Amerika keluar dari Vietnam Selatan.
Akibatnya, popularitas Presiden Johnson jatuh dan dia membatalkan pencalonannya sebagai kandidat presiden pada pemilu berikutnya, Maret 1968. Presiden Bush menduga, serangan martir kelompok perlawanan Irak sama dengan ”Serbuan Tet”. ”Ada peningkatan kekerasan yang akan bermuara pada pemilu mendatang,” ujar Presiden Bush. Sejak Amerika menginvasi Irak pada Maret 2003, sudah 2.750 personel militer Amerika yang diisap ”rawa-rawa” kekerasan di Irak.
Tapi, bagi Bush, ini hanya angka statistik yang tak berarti dibandingkan dengan jumlah anggota pasukan Amerika di Irak yang kini mencapai 140 ribu orang.
Raihul Fadjri (Washington Post, AP, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo