Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia seorang jenderal, tepatnya purnawirawan jenderal. Dan di Thailand yang tengah menggapai demokrasi, sosok macam ini tidak teramat populer. Tapi Surayud Chulanont, 63 tahun, perdana menteri Thailand yang baru, mungkin bukan ganjalan dalam demokratisasi. Kelompok-kelompok prodemokrasi tidak menampiknya keras-keras. Juga, ia tidak korup—poin terpenting yang bisa melukiskan kontras dengan PM Thaksin Shinawatra yang oportunistis. Berikut wawancara Stepanus S. Kurniawan, Yanto Musthofa, dan fotografer Tommy Satria dari Tempo di Hotel Grand Hyatt Jakarta, saat ia berkunjung ke negeri ini, dua pekan lalu.
Apa langkah pertama Anda dalam memimpin pemerintah sementara ini?
Yang pertama, menyangkut proses politik di Thailand. Saya ingin mengembalikan jalan demokrasi yang utuh dengan partisipasi rakyat dan proses pemerintah. Juga mencoba menggali keseim-bangan di masyarakat. Selama setahun terakhir situasi politik di Thailand berbeda dengan masa lalu. Kami menghadapi perpecahan di masyarakat karena situasi politik yang memanas dan menciptakan bentrokan di antara dua kelompok masyarakat Thailand. Karena itu saya mencoba membangun hubungan di antara kelompok pro dan anti-Thaksin.
Yang kedua, menyangkut situasi kekerasan di Thailand selatan. Kami mesti membuat perubahan tertentu dalam strategi. Saya harus menekankan cara pemecahan yang damai, seperti yang dilakukan Indonesia di Aceh. Itu gagasan utama saya. Dan saya harus melakukan keduanya pada waktu yang bersamaan.
Caranya?
Saya pikir salah satu yang mesti saya lakukan adalah mencoba berbicara sebanyak mungkin dengan semua lapisan masyarakat Thailand. Mungkin berbicara dengan masyarakat di wilayah utara dan timur laut. Saya juga akan bertemu dengan para pemimpin politik di sana. Seusai Ramadan saya akan ke wilayah selatan untuk berbicara dengan pemimpin muslim di sana. Saya akan berusaha mengumpulkan semua perbedaan itu, baik jalan maupun cara berpikir masyarakat Thailand, dan menyatukan mereka. Saya akan bicara dengan pemimpin agama dan masyarakat muslim di sana, termasuk guru, pemilik sekolah, dan pelajar.
Sebetulnya apa yang menyebabkan banyak kekerasan di sana?
Banyak faktor, tapi yang terutama orang yang ingin memisahkan diri dari Thailand. Situasi politik di sana juga menjadi penyebab. Pasalnya, ada dua partai politik besar di sana, yaitu Demokrat dan Thai Rak Thai, yang mencoba meraih dukungan. Karena itulah kerap muncul gesekan. Tapi kami mencoba mengurangi semua masalah di sana.
Apakah orang-orang di selatan senang dengan Jenderal Sonthi?
Ya, karena dia juga muslim. Menteri saya juga ada yang beragama Islam.
Anda dikenal sebagai penentang pemerintah yang tidak demokratis. Mengapa Anda menerima tugas ini?
Saat pertama kali mendapat telepon dari Jenderal Sonthi Boonyaratkalin yang menawarkan jabatan ini, saya katakan saya tak ingin menduduki posisi ini. Ada banyak alasan, termasuk alasan pribadi yang membuat saya tidak mau terjun ke dunia politik. Ayah dan kakek saya dulu bergelut di panggung politik. Tapi kemudian Jenderal Sonthi datang menemui saya dan menjelaskan alasannya: dia menemukan seseorang yang bisa bekerja secara dekat dengan militer dan sipil. Akhirnya, saya sulit menolak. Apalagi ada pesan Yang Mulia Raja (Bhumibol Adulyadej): ”Anda orang yang tepat untuk mengambil tanggung jawab ini.”
Bagaimana nasib Thaksin Shinawatra kini?
Kami berteman baik, dulu saya menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dan Menteri Pertahanan dalam pemerintahan yang dipimpinnya. Saya sudah bicara dengannya, yang sekarang ada di London. Sebagai orang Thailand dia bisa kembali ke tanah airnya. Tapi dia mesti berdiskusi dulu dengan saya. Saya sudah bilang, dia belum bisa kembali sekarang. Itu bisa memanaskan situasi politik. Beri saya waktu dulu, berbicara dengan semua lapisan masyarakat, termasuk yang pro-Thaksin.
Apakah rakyat jelata yang kebanyakan masih pro-Thaksin bakal menjadi masalah bagi pemerintah Anda?
Ya, karena itu saya butuh waktu untuk berbicara dengan mereka. Saya mesti meyakinkan mereka. Saya sudah berbicara dengan beberapa orang selama dua pekan terakhir seperti pemimpin politik yang pro-Thaksin.
Apakah Anda akan maju dalam pemilu mendatang?
Tidak. Begitu pemerintah baru terbentuk, saya akan bilang, ”Selamat tinggal (politik).” Karena saya tidak ingin terlibat dalam politik lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo