Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jika Tetangga Berbeda Aliran

Jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia mencatat mayoritas muslim di Indonesia mampu menerima konsep pluralisme dalam Pancasila, dengan berbagai syarat.

30 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nun di Asrama Transito Mataram, Sarim Ahmadi berurai air mata. Bersama 250 muslim pemeluk Ahmadiyah, Sarim bersalat Ied dan merayakan Idul Fitri di Asrama Transito Mataram dalam kesedihan. ”Apa dosa saya, kok jadi begini?” dia berbisik kepada kerabat yang duduk di sebelahnya. Seisi ruangan ikut meneteskan air mata. Mereka terkenang kembali peristiwa pahit sembilan bulan lalu. Saat itu, Sarim dan keluarganya diusir dari rumah dan kampung halamannya di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat.

Mereka disingkirkan karena mengikuti Ahmadiyah, sebuah aliran yang diajarkan Mirza Ghulam Ahmad. Mirza Ghulam Ahmad, asal India, dipercaya sebagai Imam Mahdi, rasul terakhir. ”Hari raya ini adalah buah dari kesabaran. Kita diusir dari kampung halaman bukan karena berbuat keburukan dan maksiat,” demikian tutur Syamsir Ali, anggota Majelis Amilah Nasional (pengurus besar) Ahmadiyah, berkhotbah di hadapan jemaahnya.

Jauh dari Mataram, tepatnya di Kuningan, Jawa Barat, warga Ahmadiyah mendapat perlakuan pahit seusai Idul Fitri lalu. Petasan menyalak di depan Masjid An-Nur milik jemaah itu di Desa Manis Lor, Kecamatan Jalaksana. Sebagian warga Ahmadiyah yang bersiap salat zuhur tentu saja berlari mengejar para pelaku. Langkah mereka terhenti di ujung jalan karena dihadang belasan teman pelempar petasan. Maka terjadilah perang batu. Polisi baru bisa mengendalikan suasana ketika Musala At-taqwa dan Musala Al-Hidayah milik jemaah Ahmadiyah dirusak massa.

Suasana Lebaran di Mataram dan Kuningan hanya dua contoh kecil terpinggirnya kaum minoritas dalam urusan agama dan ibadah. Masih banyak ketegangan yang berlatar agama dalam dua tahun terakhir. Tahun lalu, misalnya, belasan tempat ibadah umat Kristen di Jawa Barat dipaksa tutup. Kemudian, ada pula pengusiran Komunitas Eden pimpinan Lia Aminudin.

Pertanyaan timbul: apakah masyarakat sudah menolak hidup dalam kebhinekaan? Atau, seberapa besar kelompok penentang ini disokong masyarakat? Penelitian terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada awal Oktober lalu berupaya memotret perihal pluralisme politik umat Islam di Indonesia. Lembaga ini mewawancarai 1.092 muslim Indonesia yang diambil dari semua provinsi dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Umat Islam dipilih karena sebagai mayoritas sikap mereka berpengaruh pada kehidupan kaum minoritas di Indonesia.

Hasil survei LSI mencatat, muslim Indonesia bersepakat dengan kebhinekaan dalam Pancasila. Sekitar 80 persen umat Islam menganggap Pancasila dan UUD 1945 sejalan dengan Islam. Mereka juga menilai demokrasi sudah searah dengan Islam, dan demokrasi senapas dengan Pancasila. ”Tetapi sikap mereka berubah saat penerapan di lapangan,” kata Direktur Eksekutif LSI, Saiful Mujani. Data LSI menguatkan penjelasan Saiful: 21 persen narasumber menolak jika harus bertetangga dengan penganut Hindu atau berdampingan dengan penganut Buddha. Lalu, ada 20 persen muslim yang menolak bertetangga dengan umat Kristen. Hampir separuh responden menolak ada gereja di sekitar tempat tinggalnya. Bahkan 21,6 persen responden keberatan jika ada umat Kristen menjadi guru di sekolah negeri.

Lantas berapa jumlah responden yang mempertentangkan Pancasila dan Islam? Ada 5 persen responden yang mempertentangkannya.

Penelitian itu juga mencatat dukungan terhadap organisasi kemasyarakatan yang menyokong penerapan syariat Islam di Indonesia. Dukungan terhadap kelompok Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) mencapai 16,1 persen. Lalu, ini dia yang menarik: 17,4 persen responden setuju dengan gerakan kelompok Ja-maah Islamiyah yang selama ini disebut-sebut terlibat aksi teror bom di berbagai wilayah Indonesia. Jumlah ini naik empat persen dibanding survei LSI dua tahun lalu.

Percaya atau tidak, hasil survei mencatat ada 9 persen responden yang mendukung bom Bali. Mari kita berhitung. Jumlah muslim Indonesia kini 177 juta. Jika persentase tersebut kita hitung dari jumlah muslim dewasa di Indonesia, menurut Saiful Mujani, itu ”sama dengan 10 juta orang”. Angka ini memang tidak signifikan untuk kepentingan pemilu, misalnya. ”Tetapi cukup besar untuk sebuah gerakan sosial,” Saiful menambahkan.

Dalam survei lainnya, Januari lalu, LSI mendapat gambaran bahwa Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan yang paling diterima di kalangan muslim Indonesia, yakni 71,1 persen. Popularitas ini disusul Muhammadiyah (59,1 persen), Front Pembela Islam (16,9 persen), MMI (11 persen), dan Ahmadiyah (3,9 persen). Beberapa organisasi lainnya memperoleh suara 3 persen atau kurang.

Bagaimana dengan penerapan syariat Islam? Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Indonesia (UIN) melakukan survei terhadap penerapan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Menurut survei itu, dukungan kaum muslim Indonesia (terhadap ide itu) adalah 61,4 persen pada 2001. Tahun berikutnya naik hampir sepuluh persen. Dalam survei 2004, dukungan membesar menjadi 75,5 persen.

Dalam wawancara dengan Tempo pekan silam, pemimpin tertinggi MMI, Abu Bakar Ba’asyir, mengaku gembira dengan hasil survei tersebut. Menurut dia, logis jika syariat Islam berlaku di Indonesia, karena umat Islam adalah penduduk mayoritas. ”Umat Islam yang menolak syariat Islam berada dalam kebodohan,” kata Ba’asyir. Ba’asyir mengaku tidak berkeberatan dengan UUD 1945, dengan catatan, negara memberlakukan undang-undang yang berkaitan dengan syariat Islam. Misalnya, soal salat dan puasa Ramadan berikut sanksinya. ”Lebih baik lagi kalau dasar negara diganti dengan kalimat tauhid La Ilaha Illa Allah, karena itu lebih tegas,” kata Ba’asyir.

Pengamat politik Islam Bachtiar Effendy menilai kehadiran kelompok radikal berlabel Islam tidak perlu disikapi dengan rasa takut yang berlebihan. Kelompok itu berkembang pesat jika situasi politik ekonomi nasional memburuk. Sebaliknya, kelompok itu akan hilang jika Indonesia berhasil menjadi negeri yang makmur. ”Seperti Singapura dan Malaysia, orang tidak lagi berpikir membuat bom atau mendirikan negara Islam,” kata Bachtiar.

Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur Ali Maschan Moesa malah prihatin terhadap besarnya dukungan pada gerakan Jamaah Islamiyah dan MMI serta keinginan penerapan syariat Islam di Indonesia. Menurut dia, NU menganut mazhab Imam Syafii, yang amat menghargai budaya lokal. Mengutip Ali Maschan, ”NU tidak berjuang untuk memberlakukan syariat Islam dalam konteks bernegara. Tapi mendorong pelaksanaannya secara individu.” Ali khawatir sebagian masyarakat kini telah terjerumus dalam penggunaan bahasa agama dalam kekerasan. Dengan risau dia bilang begini: ”Mereka ngebom, mereka menghancurkan masjid Ahmadiyah sembari mengucap takbir Allahu Akbar.”

Takbir serupa dikumandangkan para pengikut Ahmadiyah di Mataram pada Idul Fitri lalu dalam suasana penuh kesedihan. Seusai salat Ied, mereka melepas rasa haru dan bertukar salam. Acara ditutup dengan menyantap hidangan sederhana, ketupat khas Lebaran. Menu yang sama mereka nikmati pada Lebaran tahun yang lewat, tapi dalam suasana yang jauh berbeda.

Dulu, mereka berbahagia di tengah keluarga. Kini, mereka berdesakan dalam penampungan sempit.

Agung Rulianto, Imron Rosyid (Solo), Sunudyantoro (Surabaya), Deffan Purnama (Bogor), Supriyanto Khafid (Mataram)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus