Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Momen

5 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amerika Serikat
Keluar dari Kesepakatan Paris

Presiden Donald Trump mengumumkan pada Kamis pekan lalu bahwa Amerika Serikat mundur dari Kesepakatan Paris--perjanjian sejumlah negara untuk mengatasi pemanasan global. "Kami keluar dari kesepakatan itu. Tapi akan kami lihat nanti jika kami dapat membuat kesepakatan yang adil," ujar Trump dalam pidatonya di Gedung Putih, seperti dikutip New York Times.

Trump menyatakan pengumuman ini sekaligus mengakhiri target pengurangan emisi karbon negaranya sebesar 26-28 persen dalam satu dekade, yang sebelumnya telah disetujui oleh Barack Obama. Dia juga mengumumkan bahwa negaranya akan menghentikan semua sumbangan ke Dana Iklim Hijau Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dinilainya "menghabiskan banyak uang Amerika Serikat".

Sejumlah kepala negara, pengusaha besar, dan bahkan Ivanka, putri Trump, telah mencoba membujuk agar Trump tidak keluar dari perjanjian itu. Tapi mereka rupanya kalah pengaruh dibanding kalangan konservatif, yang mengklaim perjanjian itu berdampak buruk bagi Negeri Abang Sam.

Para kepala negara mengecam mundurnya Trump dari kesepakatan itu. Christiana Figueres, mantan pejabat PBB yang memimpin perundingan untuk kesepakatan itu, menilai pernyataan Trump menunjukkan kekurangpahaman sang Presiden dalam cara kerja perjanjian internasional. Menurut kesepakatan itu, Amerika Serikat bahkan tak dapat mundur dari perjanjian hingga November 2019. "Anda tak dapat berunding kembali secara perseorangan," katanya. "Ini perjanjian multilateral. Tak satu pun negara dapat mengubah syaratnya secara sepihak."

Afganistan
Bom Kabul Picu Kerusuhan

Setidaknya seorang demonstran terbunuh dan beberapa orang terluka setelah polisi melepas tembakan untuk menghentikan unjuk rasa yang rusuh di Kabul, Jumat pekan lalu. BBC melaporkan bahwa demonstran yang tewas itu adalah putra politikus terkenal, tapi belum jelas identitasnya.

Ratusan orang berpawai di depan Istana Kepresidenan untuk menuntut Presiden Ashraf Ghani Ahmadzai dan Kepala Eksekutif Abdullah Abdullah mundur karena dinilai gagal melindungi rakyat. Mereka meneriakkan seruan anti-pemerintah dan anti-Taliban.

Demonstrasi ini sebagai reaksi atas ledakan bom truk di kawasan diplomatik Kabul, dua hari sebelumnya. Ledakan itu menyebabkan 90 orang tewas dan ratusan luka-luka. Polisi menyebut ledakan ini sebagai salah satu serangan terbesar yang menghantam kota itu.

Belum ada yang mengaku bertanggung jawab atas serangan ini. Zabihullah Mujahid, juru bicara Taliban, menyatakan bahwa kelompoknya tak terlibat dalam serangan ini.

Badan intelijen Afganistan menuding jaringan Haqqani, sekutu Taliban, dan negara tetangganya, Pakistan, bertanggung jawab atas serangan ini. "Rencana untuk serangan hari (Rabu) ini dilakukan oleh jaringan Haqqani dengan koordinasi dan kerja sama langsung dari badan intelijen Pakistan," kata Direktorat Keamanan Nasional dalam pernyataannya. Afganistan sudah lama menuduh Pakistan sebagai pendukung serta pelindung para komandan-pejuang Haqqani dan Taliban.

India
Jalan Raya untuk Jet Tempur

Pemerintah India akan membangun sejumlah jalan bebas hambatan di lokasi-lokasi tertentu sehingga dapat didarati pesawat tempur untuk "operasi cadangan" dan pemulihan bencana. "Rakyat yang tinggal di daerah-daerah perbatasan butuh jaringan jalan raya dan infrastruktur yang baik. Kami akan membangun 17 jalan raya semacam itu, yang dapat diubah menjadi landasan terbang," kata Menteri Transportasi Nitin Gadkari kepada kantor berita Press Trust of India, Rabu pekan lalu.

Jalan-jalan itu akan dilengkapi dengan gudang senjata, lampu pendaratan, bahan bakar, dan peralatan pemadam kebakaran. Jalan itu rencananya dibangun di 10 negara bagian, termasuk Jammu & Kashmir dan Assam, yang berbatasan dengan Cina.

Pemerintah India memang sedang membangun jalan dan jalur kereta api sepanjang perbatasan dengan Cina agar dapat meningkatkan pertahanan di daerah itu. Cina meminta India berhati-hati dalam pembangunan infrastruktur di daerah-daerah "sengketa", yang belum tercapai konsensus penyelesaiannya oleh kedua negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus